jump to navigation

Akhir April 2, 2007

Posted by anick in Amerika, Demokrasi, Perang, Politik.
trackback

“Kita tahu di mana kita mulai. Kita tak pernah tahu di mana kita akan mengakhiri.”.

Itu ucapan George F. Kennan, sambil duduk dengan tubuh lemah di sebuah panti perawatan. Usia diplomat Amerika termashur itu waktu itu 92 tahun. Ia kemudian meninggal ketika mencapai 101 – umur yang panjang, dengan pikiran yang masih tajam.

Hari itu, 26 September 2002, Kennan berbicara tentang niat Pemerintah Bush melancarkan perang yang kini disebut “Perang Irak” Meramalkah dia? Atau mengomel, seperti layaknya orang tua?

Kedua-duanya tidak. Dalam usianya yang lanjut, pak tua ini hanya mengingat sejarah, sebab ia – dibandingkan dengan Presiden Bush yang ingin tampak tegas dan gagah perkasa – telah menyaksikan sendiri berbahayanya keperkasaan dan produktifnya kesabaran.

Kennan, lahiran tahun 1904, jadi diplomat sejak umur 20-an. Ia dikirim ke Moskow sebagai salah satu staf kedutaan di tahun 1933, ketika Amerika Serikat membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet.

Itulah masa ketika Stalin duduk di tahta Kremlin. Uni Soviet jadi negeri di mana ketakutan adalah politik. Stalin menghukum mati tokoh-tokoh Partai Komunis yang dianggapnya berkhianat dan memenjarakan ribuan orang ke kamp-kamp tahanan dan melihat dunia luar dengan curiga berat. Kennan menyaksikan semua itu. Baginya, Uni Soviet – apalagi setelah berhasil membuat bom atom – sebuah kekuatan berbahaya yang memandang dunia dengan tatapan “neurotik”..

Tapi diplomat itu tak menganjurkan sebuah invasi. Di akhir masa tugasnya di tahun 1946, Kennan mengirim sebuah telegram sebanyak 5300 patah kata kepada atasannya di Washington DC dengan pesan yang tegas tapi tak galak: strategi yang tepat bukan mengempur, tapi “mengurung” – dan pengurungan atau containment itu harus siap berjangka panjang, “sabar tapi kukuh dan waspada”.

Beberapa tahun setelah itu Kennan malah makin lunak memandang Uni Soviet. Dalam Memoirs: 1925-1950 ia mengecam orang yang memencongkan containment jadi pemicu perlombaan senjata nuklir. Di sebuah wawancara ia bahkan menegaskan: Uni Soviet bukan seperti negeri Hitler. Tak tampak ada niat Kremlin untuk berperang lagi, kata Kennan, ketika harus bangkit kembali dari kelelahan Perang Dunia II.

“Sabar tapi kukuh dan waspada” — dan. ternyata itulah yang benar. Tanpa ada sebutir peluru pun yang ditembakkan ke tubuhnya, Uni Soviet runtuh. Perang tak selalu perlu, perang penuh dengan kelokan yang mendadak. “Kita tahu di mana kita mulai. Kita tak pernah tahu di mana kita akan mengakhiri.”

Tapi kata-kata itu tenggelam dalam suara serak patriotisme Amerika yang menggila setelah “11/9”..Syahdan, 20 Maret 2003, dengan restu para wakil rakyat, pasukan Amerika menyerbu Irak. Suara serak segera bercampur dengan tepuk meriah. Hanya dalam waktu tiga bulan perang itu selesai, Saddam Hussein lari, dan kemudian tertangkap.

1 Mei tahun itu, sebuah potret gilang gemilang beredar di seluruh dunia: di atas USS Abraham Lincoln, ketika kapal induk itu berada di dekat San Diego, Presiden Bush turun dari kokpit Navy One, sebuah pesawat tempur Lockheed S-3 Viking yang dipakai panglima tertinggi. Ia mengenakan seragam perang seorang pilot, bak komandan yang baru saja pulang bertempur. Ia melambai. Dengan latar belakang matahari tenggelam, sebuah spanduk digelar: “Mission Accomplished“…

Tapi tugas apa yang terlaksana? Kerja apa yang selesai? Hari itu pun orang sudah mengomel kenapa spanduk macam itu yang dipasang. Empat tahun kemudian, 20 Maret 2007 – setelah lebih 3000 prajurit Amerika terbunuh oleh gerilyawan yang tak selamanya jelas identitasnya — orang kian tak tahu apa artinya “tugas” dan apa artinya “selesai”.

Desember 2006: sebuah laporan dari sebuah tim studi yang dipimpin mantan menteri luar negeri James Baker diumumkan. Kesimpulannya: “situasi di Irak gawat dan memburuk”, dan “pasukan AS tampaknya terperangkap dalam sebuah misi yang tak kelihatan akhirnya”.

“Akhir” – betapa sukarnya kata ini dijabarkan dalam perang kali ini!. Dan betapa aneh. Sebuah perang modern menghendaki perencanaan yang seksama. Perencanaan ditentukan oleh “akhir”, (kata lain dari “tujuan”), yang dirumuskan persis. Tapi Perang Irak rupanya sebuah perang yang pelaksanaanya lebih cepat selesai ketimbang usaha merumuskan apa arti “selesai”.

20 Maret 2003 itu, tentara AS menyerbu Irak untuk menghabisi senjata pemusnah massal yang dikabarkan diproduksi rezim Saddam Hussein. Ketika ternyata senjata itu tak ada – sebuah kisah kekonyolan yang brutal, sebenarnya — perang itu pun memaklumkan tujuan yang berbeda. Atau Amerika berada dalam keadaan ketika sebuah dalih yang lain harus dikatakan. Di geladak USS Abraham Lincoln Presiden Bush menyebut dua kalimat yang tak ada hubungannya dengan senjata pemusnah massal: “Kita tengah membantu membangun kembali Irak”, dan “transisi dari kediktaturan ke demokrasi”..

Tapi “membangun kembali Irak” dan menjaga “transisi ke demokrasi” bukanlah tujuan yang secara rapi dirumuskan dalam sebuah perencanaan. Sebab jika yang hendak dicapai adalah sebuah Irak yang “bangun kembali dan demokratis” apa artinya “bangun”? Apa artinya “demokratis”?. .

Tak ada jawaban – tapi untuk kekosongan itu balatentara Amerika harus ditambah, harus lebih lama bertempur, sementara orang Irak tewas berpuluh-puluh tiap hari. Amerika yang “menang” akhirnya hanya berarti Amerika yang “tak mundur”.

Walhasil Kennan benar: “Kita tahu di mana kita mulai. Kita tak pernah tahu di mana kita akan mengakhiri.”

Ia bukan meramal, ia bukan mengomel. Ia hanya melihat analogi. Seandainya Bush menghadapi Saddam Hussein sebagaimana AS dulu menghadapi Uni Soviet, seandainya bukan invasi melainkan containment yang jadi cara berkonfrontasi…

Tapi apa boleh buat. Orang Amerika telah memilih sepasang pemimpin, Bush dan Cheney, yang tak tahu berbahayanya keperkasaan dan produktifnya kesabaran.

~Majalah Tempo Edisi. 03/XXXIIIIII/02 – 08 April 2007~

Komentar»

1. adi wirasta - April 12, 2007

luar biasa blog ini. baru pertama kali baca tulisannya ini saja, sudah acung jempol. saya kan belajar menulis lebih giat lagi melalui blog ini.

2. swanvri - April 12, 2007

Walhasil Kennan benar: “Kita tahu di mana kita mulai. Kita tak pernah tahu di mana kita akan mengakhiri.”

Atau jangan2 dunia tidak mau ngaku, sebenarnya yang dicari Bush bukanlah Saddam dan Senjata Pemusnahnya, yang dibangun bukanlah demokrasi dan lain sebagainya……. 😕

3. W.N.Padjar - April 12, 2007

Waktu jaman purba dulu, spesies predator yang kekar dan ganas lebih cepat punah ketimbang spesies yang kecil tapi waspada (dan sabar) dengan situasi lingkungan.

Pemerintah AS dengan keganasannya tinggal menuggu waktu kembrukan.

4. zaki - April 12, 2007

Bilang aja bahwa cerita tentang kiprah AS di Irak dan tempat lain yang berhubungan dengan perang adalah cerita tentang kekonyolan atau ironi.
Dan kalau mau mengungkit2 ironi dan cerita tentang rapuhnya keperkasaan dan produktifnya kesabaran, kenapa jauh2, di Indonesia bertabuaran ironi dan kekonyolan yang lebih aktual, relevan dan fresh.
Indonesia adalah negeri penuh ironi dan konyol: IPDN; DPR mesum; Mis informasi Adam Air; Banjir Jakarta; Lapindo; Aceh yang masih terbengkalai; DPR yang mau laptop dgn uang rakyat tapi tak ngerti komputer; Polisi yang gampang main tembak; BULOG; MUNIR; dan lain sebagainya.
Apakah ini belum cukup sebagai cermin sehingga masih perlu mencari jauh2 ke AS dan menggali sejarah dalam2 ke zaman Stallin?

5. mochtar han - April 13, 2007

tapi bukan salah kan, bung zaki. kalau perumpamaan gm tidak selalu dekat dengan dimanakah kita ? dan tentunya segala permasalahan bukan tanggung jawab caping-gm saja. bukan ? ya kalau anda lebih bisa mendekatkan perumpamaan pada kita, kita tunggu catatan-catatan anda di koran. dimana tulisan anda bisa dibaca oleh orang-orang yang dekat. salam

6. posmetro - April 13, 2007

ya, bung zaki jngan cuman bisa ngomel aja dong…

7. zaki - April 13, 2007

Saya tidak punya kapasitas sebesar GM untuk mewarnai kultur bangsa ini.

8. han - April 18, 2007

makanya…

9. Kang Moko - April 18, 2007

O..o… Sekarang, banyak Bush di sini. Kennan-nya menghilang ke mana ya… 😦 😦

10. Zaki - April 19, 2007

Indonesia adalah type bangsa yang lebih butuh figur untuk panutan daripada setumpuk system atau teori dan nasehat. Itulah garis nasibnya. Kalau kita dengar pembicaraan para tokoh2 Indonesia di TV dan kita baca tulisannya di Media, rasanya tak mungkin Indonesia mengalami krisis seperti sekarang. Semua omongan dan tulisan itu sangat mengena dan menunjukkan bahwa kita tahu persis secara mendasar permasalahan bagsa ini dan juga konsep pemecahannya. Tapi kita sudah kebanjiran nasehat dan petuah, sedangkan pelaksanaannnya nihil. Ketika bergelut dengan konsep, semuanya rapi dan sistematis menuju perbaikan, tapi begitu sampai pada pelaksanaannya, semua seperti sepakat untuk oportunis.

11. Candra - April 20, 2007

@ Zaki: Ibarat sebuah gagasan yang tak kunjung dituliskan, sebesar apapun gagasan itu tak akan pernah terbaca oleh yang lainnya. Begitupun sebuah gagasan dalam tulisan yang tak kunjung terlaksanakan, sebesar apapaun gagasan dalam tulisan itu tak akan pernah terasai oleh yang lainnya. Mungkin begitu maksud dari Mas Zaki ya? Sebab soalnya sedari dulu semenjak manusia berkebudayaan, gagasan-gagasan besar bisa kita baca melalui tulisan-tulisan yang terdokumentasikan, dan kita musti mengakui pada dasarnya setiap gagasan yang dianggap baru itu merupakan gagasan lama yang telah diartikulasikan secara lain oleh orang di kemudian hari. Tapi, di sinilah letak pentingnya Sang GM yang telah ikut mencoba mengartikulasikan kembali gagasan-gagasan yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya.

12. wargabanten - April 22, 2007

“Sabar tapi kukuh dan waspada” — dan. ternyata itulah yang benar. Tanpa ada sebutir peluru pun yang ditembakkan ke tubuhnya, Uni Soviet runtuh. Perang tak selalu perlu, perang penuh dengan kelokan yang mendadak. “Kita tahu di mana kita mulai. Kita tak pernah tahu di mana kita akan mengakhiri.”

13. W.N.Padjar - April 25, 2007

Apakah caping “Akhir” ini menjadi akhir dari pemuatan caping GM di blog ini?

Hk..hk..hk..sedihnya..

14. swanvri - April 26, 2007

kelihatannya mas anick sibuk ya…………….!

15. agushilman - April 26, 2007

Manusia, kelompok, dan sebangsanya telah terberi sebagai entitas yang paradoks. Bayangkan dia disebut makhluk berakal (homo sapiens), beragama (homo religous), bersosial (homo socio), butuh terhadap simbol (homo symbolicum). Tapi ia bejat dan memuja dirinya (narsisme akut) dimana darah manusia sebagai sesajennya (homo homoni lupus). Keperkasaan adalah tuhan yang disembah dan kesabaran adalah berhala yang harus dimusnahkan. Aku adalah kaum yang perkasa dan tiada kesabaran selain keberingan untuk menunjukkan keperkasaan. Sabar itu syirik. Masihkah kita mengharap titik akhir dari langkah dulu ?!!

16. an-Nadzif - April 27, 2007

Ketika Kennan berkata tentang prioduktifnya kesabaran, secara eksplisit mungkin tangannya menunjuk Uni Soviet. Tetapi mungkinkah matanya juga melirik Indonesia, surga kerusuhan ini?

Selama 350 tahun, atau mungkin lebih lama, kita terjajah karena kebhinekaan yang tak bisa disatukan. Dan setengah abad kemudian kita kembali “terjajah” atas nama kesatuan. Setengah abad kemudian akankah kita akan kembali “terjajah” atas nama reformasi? Dan untuk “menjajah” Indonesia saat ini, tidak perlu amerika, negri sekecil Singapura atau bahkan Timor-timur pun mungkin lebih dari cukup.

Agaknya kita memang suka menakdirkan diri sendiri sebagai yang terjajah, atas nama apapun, bahkan kemerdekaan.

17. Kang Moko - April 27, 2007

Ha.. Ha.. Ha…
Rupanya diam-diam ada juga yang berharap agar blog ini tidak ber-‘akhir’ di titik ini . . . . .
@ agushilman: tambah satu lagi:
M A N U S I A itu N E U R O S I S

18. agushilman - April 28, 2007

@ All : Usstt…Sebelum aku komentar, aku lihat bayang samarku di monitor. Semakin lama aku tatap dan mengejar bayang itu. Ternyata mukaku seperti Bush. Alamaak…Hahaa..ternyata apa bedanya aku dengan Bush, doyan keberingasan, diam saat orang disisiku dibantai, gentar oleh hardik penguasa lalim, tunduk pada kuasa, bisu melihat yang kelaparan dinista, bersorai di tengah tangis Papua & Etiopia, menjaring hormat dengan melibas yang rendah. Aku bersulang nyinyir menertawai diriku…Aku, Bush, tiada beda. TOLONG BEBASKANLAH AKU !!

19. zaki - April 28, 2007

Apa yang di tulis GM di tiap capingnya bukanlah sesuatu yang menurutnya sendiri penting bagi bangsa ini jika tinjau berdasarkan pendekatan keadilan dan kejujuran. Saya yakin GM pasti punya sesuatu yang penting dan jujur untuk diungkapkan tapi dia sendiri tak pernah memunculkannya dalam caping dengan alasan2 yang beliau sendiri yang tahu. Caping itu sendiri hanya menarik dari segi bahasanya yang estetis tapi populer dan kontinuity. Sedangkan dari segi kedalaman relung pandangan, saya pikir sama saja dengan intelektual Indonesia pada umumnya, ujung2nya adalah filsafat tentang kenisbian dan kefanaan, sehingga tidak ada yang bisa dijadikan pegangan. Entah kenapa, intelektual memang seperti kecanduan dengan kegamangan, padahal kebenaran sejati itu lebih sederhana daripada prasangka2 filosofis manusia yang “tinggi” tapi melayang2itu.

20. ibra - April 28, 2007

zaki ini ngomong apaaa, ga jelas (yang laen juga lebih ga jelas lagi, sebetulnya hehehhe)
kaya yang udah tahu kebenaran sejati aja… sok2an tahu dalemnya GM pulaaa..filsafat kenisbian? kefanaan? pendekatan kejujuran?
siapa yang tau kalo lu jujur? siapa yang tau kalo lu sotoy? emang lu ga fana? ga nisbi? emang caping apa?

21. swanvri - April 29, 2007

:((

22. zaki - April 30, 2007

Siapa berani tebak, kenapa blog ini nggak di up date lagi

23. Kang Moko - Mei 1, 2007

Mudah-mudahan bukan karena kamu (ndak nyantol-nyantol) Zaki . . .
🙂

24. ibra - Mei 1, 2007

mungkin blog ini ga di up date lagi gara2 yang suka ng-up date lg repot, atau lg sakit (mudah-mudahan ngga, dan kalo iya cepet sembuh)
atau mungkin ga tahan ama kritik gue yang dahsyat, hehehehe
mudah2an GM bisa ikut nimbrung disini…(meski nanggepin gw ga dapet penghasilan) ..tp gw bisa ajarin ekonomi

25. han - Mei 1, 2007

komentar ke-25. iya, seperti akhir.

kl buat menang”an, keren”an, dahsyat”an, bang ibra memang jagonya dah, jd tolong kasih link addressnya dong buat kita disini. biar bisa kenalan n bs ky anda. tentunya !.

26. wiraman - Mei 2, 2007

…. Indonesia lebih butuh panutan daripada setumpuk system atau teori dan nasehat.
………semua omongan dan tulisan itu(maksud Zaki orang-orang/tokoh2 yang sering muncul di tivi) sangat mengena dan menunjukkan bahwa kita tahu persis secara mendasar permasalahan bangsa ini dan konsep pemecahannya……. dst2.

…kebenaran sejati itu lebih sederhana(????) daripada prasangka2 filosofis manusia yang “tinggi” tapi me-layang2 itu.

Maaf.

OK lanjut chat!

Sampeyan2 jadi tahu kan, dengan dua alinea ini seberapa ‘tinggi’ kang Zaki. Setingkat tsanawiyahlah ya(untungnya dia tidak obral ayat suci yang sebatas pemahamannya)?!
Begitu produktif(karena nafs) berkomentar terhadap sesuatu yang sebenarnya dia belum paham makna suatu kalimat filosofis(bahkan mungkin menganggap filsafat itu benda haram/bahasa orang kafir-mudah2an salah).

27. Zaki - Mei 2, 2007

Saya pikir siapa yang tidak mengerti dan nyantol dengan komentar saya, berarti dia memang memiliki perbedaan yang sangat prinsipil dengan saya dan saya tidak tertarik untuk menjelaskannya lebih lanjut, bukan karena marah, tapi karena semakin jauh saya jelaskan akan menyebabkan semakin jauh kita berbeda. Sedangkan perbedaan, dlm mayoritas masyarakat kita sering disikapi secara negatif. Dalam arti, perbedaan kecil maupun besar, di sini, lebih banyak melahirkan bentrokan dan kesalahpahaman daripada pengertian dan sharing.
Saya tetap respek dengan caping GM, meskipun tidak perlu membuktikannya, tapi saya hanya ingin menambah perbendaharaan sudut pandang dalam melihat caping2 GM kepada rekan2 sekalian. Karena kita tahu Caping ini telah ditulis puluhan tahun secara istiqamah setiap minggu, itulah yang menyebabkan saya menaruh perhatian terhadap caping (diantaranya dengan komentar2 singkat dan dalam waktu yang juga singkat ini).

Thanx atas tanggapan2nya

28. Galuh - Mei 2, 2007

Zaki mungkin kurang tepat, kalau mengatakan para intelektual kita hanya gandrung pada apa yang disebutnya “kenisbian” dan “kegamangan”. Justru kebanyakan intelektual kita bernalar positivis dalam memandang realitas; coba lihat contohnya: banyak intelektual kita yang mengurung diri di “menara gading” akademis dan memiliki pola pikir yang sangat kaku.

Saya juga tidak sependapat kalau Caping dibilang tidak punya kedalaman. Kedalamannya justru karena Caping menawarkan aneka perspektif dari kekayaan bahasa di dalamnya. Caping memang tidak menawarkan teori atau diskusi teoretis. Tapi jangan salah, kedalaman tak semata lahir dari logika dan penalaran, tapi juga rasa. Ini yang ada pada Caping.

29. W.N.Padjar - Mei 2, 2007

Bagi saya sih Caping tidak memberikan sumbangan apa pun pada pemikiran filosofis pribadi. Tapi dia sangat berarti pada pembentukan sikap saya untuk tetap berendah hati.

Caping memang tidak dimaksudkan sbg tulisan filsafat (akademik)yang sistematis. Dia kan cuma refleksi GM. Subejektifitasnya bisa ditoleransi. Malah jadi ilham bagi sebagian penulis lainnya.

Dengan ‘keterbatasan’-nya, kenapa ya Baca Caping jadi bikin ketagihan?

30. ibra - Mei 3, 2007

buat han: ngapain lu pengen kaya gw? napa emang idup lu?
hati-hati pake tanda seru, han…
ni email gw; postmodernisto@yahoo.co.id

31. fertobhades - Mei 4, 2007

pelajaran yang sangat berharga buat sejarah dunia…

32. zombi - Mei 6, 2007

‘Akhir’ adalah apa itu ‘nalar’ dan apa itu ‘Narasi’. bukankah ini yang menggerakkan materi dan bergeraknya alur sejarah. kemana akhirnya? dan kapan bermulanya? kekuatan nalar dan penguasaan narasi yang dijalankan adalah mungkin satu penguasaan dalam mereaksi perubahan arus kebudayaan. kematangan nalar dalam menginterpretasi realitas adalah kehandalan dan ketajaman GFK, yang tidak dimiliki Bush Cs. human error dan kontraproduktif tindakan dari ‘akhir’ mungkinkah hanya menjadi kambing hitam.
mbak, kok belum di update?

33. M Shodiq Mustika - Mei 7, 2007

Pendaftaran Top-Posts Maret-April 2007 telah dibuka.
Silakan daftarkan postingan Anda di http://muhshodiq.wordpress.com/2007/05/02/pendaftaran-top-posts-maret-april-2007/

34. Zaki - Mei 7, 2007

Gak di up date, emang gue pikirin. Tutup aja sekalian juga nggak apa2.

35. mochtar han - Mei 7, 2007

buat han: ngapain lu pengen kaya gw? napa emang idup lu? hati-hati pake tanda seru, han…ni email gw; postmodernisto@yahoo.co.id

saya add, kenalan, lalu berguru bikin komentar yg dahsyat (!) tanda seru. lagi 🙂


Tinggalkan Balasan ke W.N.Padjar Batalkan balasan