jump to navigation

11/9 September 10, 2007

Posted by anick in All Posts, Amerika, Bencana.
trackback

911wtc.jpgSAYA melihat New York 11 September 2001. Sampai lewat tengah malam, yang mengepung adalah suasana murung dan cemas, berkabung dan waswas. Orang di pelbagai penjuru terperanjat. Dunia tersentuh: me­reka ingin menemani kota itu, bersama ribuan kandil yang dinyalakan di sudut-sudut jalan, seakan-akan mau ikut mencari mereka yang tak pulang dari puing.

Asap kebakaran masih membubung hitam beberapa hari setelah itu, membentuk sebuah sosok di langit New York sebelah selatan, seakan-akan mengisi rongga yang melompong di angkasa setelah dua gedung jangkung The World Trade Center runtuh dan 3.000 orang yang tak bersalah mati.

Tapi dengan cepat asap dan debu diubah sesuatu yang berwarna: bendera Amerika, bendera Amerika, bendera Amerika. Di mana-mana. Tak putus-putusnya televisi menyiarkan orang menyanyi God Bless America, bergetar, bergemuruh. Di seluruh Amerika Serikat, pada jutaan layar, huruf yang muncul tak henti-hentinya adalah AMERICA UNDER ATTACK.

Dan perkabungan pun jadi api.

Tema klasik nasionalisme pun berulang pada hari-hari itu: ”Kami dihina. Mereka jahat. Kami dizalimi. Mereka brutal. Mereka harus dibalas. Kami bangkit. Kami kuat.”

Orang Amerika akan marah jika dikatakan bahwa tema nasionalisme itu tak jauh berbeda dengan yang dulu terbit di Jerman, kini di Arab dan Israel. Tapi itu justru indikasinya: orang Amerika akan marah karena nasionalisme mere­ka—yang disebut ”patriotisme”—juga api yang sama yang mampu membentuk ”kami” jadi se­suatu yang terang dan orang lain, ”mereka”, jadi fragmen kegelapan.

Mungkin itu sebabnya saya beberapa lama termenung di Washington Square Park, sore itu. Di lapangan yang rindang itu bermacam orang berkumpul, menyatakan belasungkawa dan dukungannya kepada New York—ya, kepada Amerika Serikat. Ada yang mengekspresikan perasaan dengan doa yang diam, ada yang menuliskan kalimat yang tulus.

Tapi yang tak akan saya lupakan ialah secarik kertas yang dirobek dari sebuah buku tulis dan disematkan entah oleh siapa di sehelai pagar kawat di bawah lengkung gerbang taman. Di sana tercantum satu paragraf tulisan ta­ngan, serangkai kata-kata Nelson Mandela:

”Rasa takut kita yang terdalam tak disebabkan oleh karena kita tak memadai. Rasa takut kita yang terdalam disebabkan kekuatan kita yang tak tepermanai. Cahaya terang kita, dan bukan kegelapan kita, itulah yang paling mengerikan kita.”

Saya terkesima: kalimat itu muncul seperti dipanggil ke tengah suasana yang membutuhkannya.

Mandela: bertahun-tahun lamanya pemimpin Afrika hitam ini dianiaya sebuah kekuasaan yang brutal; ia dengan gampang akan diterima sebagai korban yang tak bersalah, yang memancarkan ”cahaya terang”. Pada saat yang sama, ia juga pemimpin politik dan moral yang dipatuhi jutaan orang di Afrika Selatan, sebuah ”kekuatan yang tak tepermanai”.

Tapi, berbeda dengan orang Amerika dan pemimpin me­reka, George W. Bush & Dick Cheney, Mandela tahu benar apa yang harus ditakuti: keagungan diri. Bagi Bush & Cheney, Tuhan memberkati Amerika, God Bless America, dan mungkin benar. Tapi soalnya jadi gawat ketika Tuhan dan ”cahaya terang” mengambil alih seluruh sikap dan pikiran dan memperkukuh keagungan diri.

Apalagi ketika itu diintegrasikan ke dalam proyek besar yang disebut ”The New American Century”.

Dick Cheney, Rumsfeld, dan konco-konco mereka—yang sudah lama punya proyek untuk mengubah dunia ke dalam ”Abad Baru” yang mereka kuasai—sebenarnya orang-orang yang secara tak langsung diperkuat oleh teror ”11/9”. Mere­ka bisa bersorak-sorai: hari itu musuh lahir, ketika sejumlah orang asing menabrakkan dua pesawat ke dua buah gedung yang bisa jadi lambang kejayaan Amerika.

Sebab Cheney pernah khawatir, AS tak akan punya musuh lagi setelah Perang Dingin berakhir dan Uni Soviet runtuh. Musuh itu penting. AS butuh sesuatu yang mengancam di luar sana, dan sebab itu bisa membuatnya bersatu padu. Maka di New York hari itu, Al-Qaidah praktis memberi Cheney dan Bush sebuah hadiah: alas­an yang bagus untuk merasa memiliki ”cahaya terang” dan menampilkan ”kekuatan yang tak tepermanai”.

Akhirnya, ”9/11” adalah dalih untuk sebuah proyek imperial, mula-mula dengan bendera ”perang melawan terorisme”: ”Kami dizalimi. Mereka harus dibalas.”

Dalih itu begitu memikat hingga sejumlah intelektual terpandang Amerika tak malu-malu berseru menghalalkan perang itu sebagai ”pe­rang yang adil”, seakan-akan keadilan dapat begitu saja diterima secara universal, bukan hasil pergulatan yang tak mudah untuk jadi pasti. Ketika Mandela memperingatkan kita akan ”cahaya terang” dan ”kekuatan yang tak tepermanai”, ia sebenarnya hendak menunjukkan bahwa kedua hal itu tak pernah menetap—dan tak pernah tinggal di satu sisi. Mandela berbicara agar kita tahu perlunya mengosongkan diri—sadar bahwa diri kita sebenarnya ”tak memadai”, bahkan mengandung ”kegelapan”.

Tapi siapa yang membaca kearifan di secarik kertas di bawah gerbang Washington Square itu? Bush & Cheney telah menggelembung dengan proyek ”Abad Baru Amerika”. Ketika perang melawan teror Al-Qaidah diperluas jadi Perang Irak yang dikecam dunia—karena dilancarkan dengan dusta yang malang-melintang—mereka bahkan ingin­ menunjukkan, ”kekuatan yang tak tepermanai” justru penting untuk dirayakan. Kekuatan itu mereka anggap bisa menentukan segala-galanya, juga untuk memonopoli ”cahaya terang”.

Tapi kini terbukti, ”kekuatan yang tak tepermanai” itu hanya sebuah waham besar. Juga gegabah. Hegemoni tak pernah pasti. Perang melawan Al-Qaidah tak juga berhasil—sebuah kegagalan yang patut disesali di mana-mana. Perang di Afghanistan makin sulit. Perang di Irak praktis kehilangan tujuan. Amerika dibenci di pelbagai pelosok. Orang Amerika takut datang ke pelbagai tempat.

Ah, Tuan Cheney, di manakah kini ”The New American Century”?

~Majalah Tempo, Edisi. 29/XXXVI/10 – 16 September 2007~

Gambar diambil dari sini

Komentar»

1. bambang - September 16, 2007

amerika memang punya kekuatan, tapi khilafnya ia merasa kuat. ia memang punya kehebatan, tapi ia merasa hebat.
ia terjebak dengan segala anggapan terhadap dirinya oleh dirinya sendiri. jebakan “merasa”.
seperti kijang yang sedang meloncat tinggi untuk terperosok dalam perangkap yang di galinya sendiri. ia tinggal menunggu pemburu yang akan memangsanya.
ia akan jatuh.

2. zaki - September 16, 2007

Dalam skala kecil, kekuatan hanya bisa digunakan untuk menggertak dan menakut2ti ( show of force)
Sedangkan dalam skala besar, ia hanya bisa untuk menghancurkan dan memusnahkan, tak ada kemaslahatan.

3. W.N.Padjar - September 17, 2007

Peristiwa 9/11 jadi alasan buat amerika untuk membenci orang-orang arab dan muslim.
Peristiwa invansi pemerintah amerika terhadap irak jadi alasan buat orang-orang arab dan muslim untuk membenci hal-hal yg berbau amerika.
Kayaknya ini sifat aneh yg universal pada manusia ya.. kebencian sudah terbentuk sebelum peristiwa yang memicunya terjadi.

4. anna hape - September 17, 2007

Dengan cara berbeda, hukum kemartiran “dimanfaatkan” Amerika. Adagium kuno “tidak ada darah martir yang sia-sia”, berlaku juga dalam peristiwa 11 september rupanya.

5. bambang - September 18, 2007

sampai sekarang Amerika (Bush) masih saja sibuk membangun mitos baru tentang ‘memerangi teroris’. Hasil mitosnya ia telah menjajah irak, afganistan. dan menjadikan ia sebagai negeri paling banyak berperang di penghujung abad XX.
Atas nama memerangi teroris, Amerika telah menebar invasi kekuasaan baru. yang sepenuhnya tidak kita sadari sesungguhnya Amerika telah menjalankan aksi kediktatoran yang ekstrem.

tiran pasti akan membenci rakyat. dan rakyat mencintai kebebasan, kemerdekaan: tidak mau ditempeleng, tidak mau ditendang, tidak mau diperas dan (atau) di bunuh.
setiap ada tiran pasti ada rakyat yang berontak. setiap ada tiran akan ada perlawanan.

seperti kata rendra:

karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu

6. k* tutur - September 18, 2007

bagaimana kalau, justeru 11/9 itu juga didesain oleh Amerika, guna (kelak) pembenaran aksi mereka ke negara2 islam yang (sepertinya) sudah dirancanakan?

Ah, Tuan Cheney, di manakah kini ”The New American Century”?

7. zombie - September 18, 2007

saya teringat cerita waktu di bangku sekolah dulu, tentang Singa si’raja’ Hutan perkasa minta ampun suatu ketika tidak berdaya dan harus minta tolong kepada seekor tikus yang kecil. entah Amerika yang mana !!!????!!!
Jika tragedi beberapa tahun silam terulang lagi, aku siap menontonya di depan televisi sambil menyeduh kopi dan sedikit senyuman. pahit atau manis….

8. unclegoop - September 19, 2007

Jadi ingat…wejangan jawa…Adigang, Adigung, Adiguna…kiranya seperti itu Amerika yang kita kenal saat ini.

9. jaka - September 19, 2007

“setiap ada tiran pasti ada rakyat yang berontak. setiap ada tiran akan ada perlawanan.

seperti kata rendra:

karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu”

Di Indonesia kini relatif gak pernah ada perlawanan dan pemberontakan. Apakah itu artinya gak ada tirani di sini? Bahkan pemberontakan di sini di kutuk. Dan di negeri yang pemberontakannya di kutuk secara massal, memang sama sekali tirani.

10. vina melao - September 25, 2007

Patriotisme dan nasionalisme selalu punya iblisnya sendiri..
orang-orang yang selalu menganggap patriotisme dan nasionalisme hanyalah semata tentang membela negaranya;benar maupun salah.. mereka yang berusaha memuliakan negaranya, tanpa perduli bahwa hal ini berarti menghinakan negara lain.. itul;ah iblis-iblis nasionalisme dan patriotisme.


Tinggalkan Balasan ke bambang Batalkan balasan