jump to navigation

Fouda Maret 3, 2008

Posted by anick in Agama, All Posts, Buku, Elegi, Fundamentalisme, Islam, Kebebasan, Kekerasan, Kisah, Tokoh, Tuhan.
trackback

Pada tanggal 8 Juni 1992, mereka bunuh Farag Fouda di Madinat al-Nasr, Kairo. Dua orang bertopeng menyerangnya. Fouda tewas tertembak, anaknya luka-luka parah. Kelompok Jamaah Islamiyah mengatakan: “Ya, kami membunuhnya.”

Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan. Bukankah lima hari sebelum itu sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar memaklumkan bahwa cendekiawan ini telah menghujat agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang ulama, Muhammad al-Ghazali, membela para algojo: tindakan mereka adalah pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang yang murtad.

Tapi tak seorang pun tahu sebenarnya, benarkah Fouda, yang tewas pada umur 46, orang yang murtad. Terutama jika kita baca buku yang baru-baru ini diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Kebenaran Yang Hilang, yang juga memuat kata pengantar Samsu Rizal Panggabean.

Lima bulan sebelum ia dibunuh, Fouda ikut dalam perdebatan di Pameran Buku Kairo. Dalam acara yang konon diikuti 30.000 orang itu ia menghadapi ulama macam Muhammad al-Ghazali. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan antara agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam dan lembaga khilafah.

Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam serangkaian bab al-Haqiah al-Ghaybah-nya yang diterjemahkan oleh Novriantoni. Ia memang bisa mengguncang sendi-sendi pemikiran kaum “Islamis”: mereka yang ingin menegakkan “negara Islam” berdasarkan ingatan tentang dunia Arab di abad ke-7 ketika para sahabat Nabi memimpin umat.

Bila kaum “Islamis” menggambarkan periode salaf itu sebagai zaman keemasan yang patut dirindukan, Fouda tidak. Baginya, sebagaimana ditulis Samsu Rizal Panggabean, periode itu “zaman biasa”.

Bahkan sebenarnya “tidak banyak yang gemilang dari masa itu”, demikian kesimpulan Samsu Rizal Panggabean. “Malah, ada banyak jejak memalukan.”

Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah saat kejatuhan Usman bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin umat pada tahun 644 itu–melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima orang–berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang murtad, tapi orang Islam sendiri yang bersepakat memberontak.

Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan”. Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja dilarang menyalatinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi.

Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Sa’ad, yang menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya bukan seorang yang bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.

Kaum “Islamis” tak pernah menyebut peristiwa penting itu, tentu. Dan tentu saja mereka tak hendak mengakui bahwa tindakan berdarah terhadap Usman itu menunjukkan ada yang kurang dalam hukum Islam: tak ada pegangan yang mengatur cara mencegah seorang pemimpin agar tak menyeleweng dan bagaimana pergantian kekuasaan dilakukan.

Ketika Usman tak hendak turun dari takhta (ia mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan melepas baju yang telah disematkan Allah kepadaku!”), orang-orang Islam di bawahnya pun menemui jalan buntu. Sebagaimana disebut dalam Kebenaran Yang Hilang, para pemuka Islam waktu itu mencari-cari contoh dari masa lalu bagaimana memecahkan soal suksesi. Mereka gagal. “Mereka juga mencari kaidah dalam Islam…tapi mereka tak menemukannya,” tulis Fouda. Maka perkara jadi runcing dan mereka mengepung Usman–lalu membunuhnya, lalu menistanya.

Tampak, ada dinamika lain yang mungkin tak pernah diperkirakan ketika Islam bertaut dengan kekuasaan. Dinamika itu mencari jalan dalam kegelapan tapi dengan rasa cemas yang sangat. Orang memakai dalih agama untuk mempertahankan takhta atau untuk menjatuhkan si penguasa, tapi sebenarnya mereka tahu: tak ada jalan yang jelas, apalagi suci. Di satu pihak, mereka harus yakin, tapi di lain pihak, mereka tahu mereka buta.

Itu sebabnya laku mereka begitu absolut dan begitu bengis. Pada tahun 661, setelah lima tahun memimpin, Ali dibunuh dengan pedang beracun oleh seorang pengikutnya yang kecewa, Ibnu Muljam. Khalifah ke-4 itu wafat setelah dua hari kesakitan. Pembunuhnya ditangkap. Sebagai hukuman, tangan dan kaki orang ini dipenggal, matanya dicungkil, dan lidahnya dipotong. Mayatnya dibakar.

Ketika pada abad ke-8 khilafah jatuh ke tangan wangsa Abbasiyah, yang pertama kali muncul al-Saffah, “Si Jagal”. Di mimbar ia mengaum, “Allah telah mengembalikan hak kami.” Tapi tentu saja ia tahu Tuhan tak pernah menghampirinya. Maka ia ingin tak ada lubang dalam keyakinannya sendiri (juga keyakinan orang lain) tentang kebenaran kekuasaannya. Al-Saffah pun mendekritkan: para petugas harus memburu lawan politik sang khalif sampai ke kuburan.

Makam pun dibongkar. Ketika ditemukan satu jenazah yang agak utuh, mayat itu pun didera, disalib, dibakar. Musuh yang telah mati masih terasa belum mutlak mati. Musuh yang hidup, apa lagi….

Itu sebabnya, bahkan sekian abad setelah “Si Jagal”, orang macam Fouda harus dibunuh. Ia mempersoalkan keabsahan posisi khilafah. Ia pengganggu kemutlakan. Tapi itu terjadi di Mesir lebih dari 10 tahun yang silam–bukan di Indonesia. Mungkin ini ciri Islam yang mengagumkan di sini: justru Departemen Agama-lah yang menerbitkan Kebenaran Yang Hilang.

~Majalah Tempo Edisi. 03 – 09 Maret 2008~

Komentar»

1. ibra - Maret 29, 2008

Masalah suksesi itu sebetulnya pernah diamanatkan Nabi, bahwa pengganti beliau setelah wafat adalah Ali. Tp entah knp, lewat musawarah kilat, ko’ jadinya malah Abu bkr. Pdhl amanat itu mutawatir.

2. ibra - Maret 29, 2008

knp Uthman msh disebut khalifah arrasyid, bila begitu?

3. shofi - Maret 29, 2008

Semakin bingung dengan sejarah

4. Abbas - Maret 31, 2008

Tidak semua data sejarah itu benar, terkadang ia tidak terlepas dari kepentingan, hanya saja…. kita bisa memakai logika di sini.So, menurut saya apa yang dikatakan Ibn Sa’ad saya kira tidak masuk akal. Bagaimana mungkin, jika pada awal berdirinya Islam Ostman hidup sebagai hartawan yang menghabiskan hartanya di jalan Islam, mau menumpuk harta justru setelah ajal demikian dekatnya? Setelah ia bau tanah? Saya kira GM tidak berusaha meneliti masalah ini, ia hanya copy lantas paste.

5. Poison Ivy - Maret 31, 2008

Tidak adakah sejarah yang bebas dari cucuran darah?

6. pencari kebenaran - Maret 31, 2008

Tolong isi content ini diverivikasi lebih lanjut.

7. ibra - April 2, 2008

GM ini mentang2 udah tua ga mau turun ngasih penjelasan. Ini menyangkut nama baik muslim yg wafat. apa Gm ga mau ngasih perkataan yg baik? Apa shalat dan shalawat itu isinya bukan perkataan yg baik? Anda jg kalau ditelanjangi pasti marah dan malu, bukan?

8. ibra - April 2, 2008

pun bila berita ini benar, semoga semua aib dan cela anda pun tersebarluaskan, Bung Goenawan!

9. Ajie - April 3, 2008

@Ibra, pencari kebenaran
Kok jadi bongkar-bongkar aib dan cela segala ya? Kok malah bisa jadi benar ada suatu yang ditutup-tutupi ya? Kok jadi emosional ya?
Baca lagi…ini cerita tentang Fouda dan apa yang dia pikirkan. GM “hanya” menulis tentang al-Haqiah al-Ghaybah, kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Sa’ad, tentang sejarawan al-Thabari, buku Kebenaran Yang Hilang……dll. Itulah Catping. Dan menurut saya merupakan “sedikit INFORMASI” kepada kita bahwa ada pemikiran (buku) seperti itu dan tentu saja bisa digugat…siapa bilang nggak.Ada yang menyuruh GM memperivikasi lebih lanjut tapi tidak menunjukkan “tulisan tandingan” yang menentang. Dari mana anda tau kalau tulisan diatas harus diverivikasi? Lagi2 sebuah apriori. Sejarah mungkin selalu bisa digugat. Saya pribadi setelah membaca hanya berandai-andai bagaimana kalau itu benar dan sebaliknya. Tidak berkata “ya” dan “tidak” secara tegas kepada Catping (dan saya pikir itu yg GM inginkan). Saya hanya berpikir memang ada keniscayaan seperti itu dalam sejarah.
Jika anda gak setuju..jgn emosi donk 😀 Kasih tulisan tandingan kan beres..temen2 bisa dapat informasi lebih sebagai pembanding. Gini aja kok emosi 😀

10. ibra - April 4, 2008

saya mengharapkan “subjektifitas yg jujur, profesional, dan mencari tahu selengkap lengkapnya” dari GM. Mohon ditulis jg bahwa hampir semua Quran di dunia adalah Uthmani. Sumbangan besar beliau disitu.

11. Andria - April 7, 2008

@Ibra
Maksud mas Ajie (bener ya..mas bukan mbak? hehe..) mungkin cuma ingin sampeyan yang punya bacaan lain atau versi lain menuliskannya disini. Biar jadi informasi dan diskusi yang bagus.
Saya pribadi tak fokus dengan kandungan sejarah yang ditulis GM karena Caping bukanlah tentang analisa sejarah. Ada tulisan lain untuk itu. Caping merupakan tulisan reflektif. Saya tekadang menganggap sejarah yang ditulis seperti sebuah kisah atau bahkan dongeng fiksi. karena yang sangat menarik menurut saya dari caping adalah, selain informasi tentang sebuah bacaan, juga tentang makna yang bisa kita dapat disetiap kejadian dalam sebuah sejarah. Tentang keniscayaan sebuah hidup.
So baca aja dengan santai, seperti ketika membaca dongeng, kan namanya juga caping (catatan pinggir) bukan caleng (catatan lengkap). He.he.

12. ibra - April 7, 2008

saya tidak tahu, apa bisa saya membaca sebuah refleksi sejarah yg memojokkan (tanpa menulis sumbangsihnya) spt membaca dongeng; seperti juga saya tidak tahu apa bisa anda membaca komentar saya, dg bhs kierkegaard, sebagai sebuah “passionnate involvement”

13. Andria - April 7, 2008

@Ibra
“pun bila berita ini benar, semoga semua aib dan cela anda pun tersebarluaskan, Bung Goenawan!”

He..he..saya memang tidak tahu apakah kalimat itu sebuah “passionnate involvement”. Yah..kita sama-sama tidak tahu rupanya yak. 😀

14. padjar - April 7, 2008

ada yg tercerahkan, spt anda, ada juga yg ‘sewot’, spt saya, dg caping.

tapi kenapa saya harus sewot?

karena caping itu tulisan esai dan esai itu pada kodratnya bukan pemaparan ilmiah (dan tidak bertujuan memberikan jawaban utk menentukan sikap) dan karenanya sangat subjektif, sejak semula saya tdk berpretensi memperoleh kebenaran ataupun akurasi sejarah dari cerita yang disampaikan GM dalam caping.
dari esai spt caping ini saya hanya ingin memperoleh perspektif individual dari kepedulian yg intens dari penulisnya, meskipun blm tentu sepakat dg isinya. tapi sepakat tidak sepakat juga pd akhirnya bukan poin penting dalam menikmati suatu esai. esai yg bagus akan menularkan rasa peduli dan empati, mencairkan lagi pikiran kita yg sdh beku, menertawakan hal2 yg sebenarnya tdk perlu dillihat serius, dan menempatkan kembali hal2 penting pd posisinya dari sikap pengabaian.

jika anda suka menulis puisi utk menghadirkan secara halus suasana hati yg cemas atau gusar akan suatu kenyataan pada perasaan pembacanya, anda punya modal kuat utk membuat puisi dlm bentuk prosa melalui esai. dg esai anda tdk akan dituntut ketepatan kenyataan yg dituturkan, krn bukan itu yg jadi mjd tujuan anda menulis dan org2 membaca esai.

NB: sejauh yg sy baca dari hampir 80% capig yg tlh dibuat, sebenarnya, GM juga tdk sewenang2 dlm menuturkan suatu kisah masa lampau.

15. ibra - April 7, 2008

@andria yg senyam senyum tengil, yg bikin saya geli tapi ngga lucu 😛 => yg saya omongin itu tentang sahabat nabi, yg sering kaum muslimin doakan agar selalu mendapat salam, bukan malah disangka maling…

16. Andria - April 7, 2008

dan yang saya omongin dari kemaren gimana cara saya pribadi membaca dan menyikapi caping dan tanggapan atas “doa aneh” anda (semoga semua aib dan cela anda pun tersebarluaskan, Bung Goenawan!). Cukuplah…Mas Padjar sudah njelasin cukup bagus apa itu esai untuk saya.
nb: saya pun membayangkan anda marah2 sendiri didepan komputer sambil menulis kalimat anda diatas untuk GM. Dan itu lucuuuu banget…

17. ibra - April 7, 2008

@padjar=> Prof. De Volde, Leuven university, bertanya pada anda: apa itu subjektif? Apa itu suka tak suka? syak wasangka? kepentingan? Partisan? apa itu etika jurnalisme? apa itu persentase dlm statistik? Dari mana dpt penjelasan esai spt itu? Kodrat apa?

18. padjar - April 7, 2008

oh ya? saya merasa tersanjung mendapat pertanyaan dari seorang profesor. terima kasih telah menyampaikannya. tolong sampaikan salam kenal dari saya juga dan titip pesan: bacalah buku ‘Essais’,kumpulan esainya Michel de Montaigne. setidaknya dia akan paham menyikapi tulisan esai. thx.

19. zainal - April 7, 2008

Dan tanyakan juga, apa itu “subjektifitas yg jujur, profesional, dan mencari tahu selengkap lengkapnya”? dan tanyakan juga apakah Usman adalah sahabat nabi yg sering didoakan muslim utk mendapat salam?
Sbg seorang muslim, sy berkwajiban utk mengetahui dan belajar dari sejarah, sekalipun sejarah yg ‘buruk’ dari seorang sahabat nabi..

20. Ajie - April 8, 2008

Ya. Memang sepertinya kita harus belajar menerima dengan kritis dan terbuka terhadap “jejak memalukan” yang mungkin dalam sebuah sejarah. Jika tidak, lahirlah kebencian yang menyebabkan terbunuhnya Fouda dan orang-orang serupa dengannya dimana saja. Lantas kita berkata halal atas darahnya. Bengis.

@Andria
….”Maksud mas Ajie (bener ya..mas bukan mbak? hehe..)”
Bener saya mas-mas…lha situ? lebih “meragukan” namanya 🙂

21. ibra - April 8, 2008

😐 apa sikap saya tidak santun? Apa di tahun 80an menyebut STA sbg marxism leninsm, menyebut kaum santri udik jg santun? @padjar: buku itu tidak menjelaskan esei spt anda, mohon dibaca ulang..

22. ibra - April 8, 2008

@zainal, perhatikan kalimat “wa ala ashabihi ajmaiin” setelah shalawat. Itu dimaksudkan shalawat dan salam untuk para sahabat. baca jg esei jacob oetama ttg subjektifitas jurnalisme

23. ibra - April 8, 2008

meski saya sudah berusaha untuk tidak mengeluarkan sumpah serapah, saya minta maaf bila tetap dianggap tidak santun. Mudah2an saya bisa belajar lebih santun.

24. zainal - April 8, 2008

@ibra:
Betul, wa ala ashabihi ajmaiin adalah salam kpd sahabat Nabi. Tp salam itu tdk diucapkan dalam sholat. Itu praktek umat muslim setelah masa Nabi. Dalam Al Quran perintah salam hanya utk Nabi, tdk termasuk sahabat Nabi.
Yg meng’hukum’ Usman pun adalah sahabat Nabi. Korban kekuasaan Usman pun sahabat Nabi. Yg berperang melawan dan membunuh keluarga/keturunan Nabi pun dalam perang Karbala adalah, setidaknya dulunya, sahabat Nabi.
Insya Allah, di hadapan Allah semua sahabat Nabi mendapat ampunan dan rahmat Allah. Bagi sy sejarah hrs diketahui agar sy bs terhindarkan dari tindakan yg bisa merugikan umat. Dan sy hanya meneladani sahabat Nabi yg perilakunya spt Nabi: menomorsatukan kepentingan umat, zuhud, dan berilmu.
Departemen Agama RI sempat jd departemen yg buruk dalam pengelolaan dana negara dan umat (terutama dana haji) pdhl di situ banyak orang2 yg paham ttg pelajaran agama, tp sptnya tdk belajar dari hikmah sejarah.
Departemen Agama RI sempat jd departemen yg buruk dalam pengelolaan dana negara dan umat (terutama dana haji) pdhl di situ banyak orang2 yg paham ttg pelajaran agama, tp sptnya tdk belajar dari hikmah sejarah.
Kalo GM atau siapa saja mengutip catatan sejarah yg buruk ttg seorang sahabat Nabi, knp hrs dianggap memojokkan?
Kalau sampean mengutip catatan ttg pembantaian massal thd org2 yg diduga terkait PKI pd thn 65-an, sy tdk akan menganggap sampean memojokkan mendiang Soeharto. Ada masalah yg sgt prinsip menyangkut soal kemanusiaan (misi utama ajaran Islam) yg hrs dipriotaskan ketimbang mslh personal tokoh sejarah, apa itu Usman bin Affan, Abraham Lincoln, Bung Hatta, atau Jend. Muhammad Soeharto.

25. ibra - April 8, 2008

suatu kali Kwik Kian Gie menulis “kebobrokan” orba dan mafia berkley. GM berkomentar: saya kira itu menyesatkan. Masa lalu selalu punya seribu wajah. Atau paling tidak, dua wajah saja. GM lalu menuliskan hal2 baik dr orba dan mafia berkley

26. Dedy - April 9, 2008

so what?

27. zaki - April 9, 2008

Suatu ketika nanti akan datang Dajjal bermata 1.
Dia mampu menurunkan hujan dan menyuburkan pohon secara ghaib.
Dia mampu untuk memenuhi kebutuhan sembako kita
Dia mampu untuk memenuhi kebutuhan BBM kita
Dia mampu untuk memenuhi kebutuhan pupuk para petani
Dia mampu untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk hidup hedonis dan konsumtif
Dia mampu untuk memenuhi kebutuhan kesehatan manusia untuk bisa maksimal dalam menikmati harta, sex dan kekuasaan.
Dia mampu untuk menciptakan stabilitas suatu kawasa.
Dia mampu menciptakan surga dan neraka di dunia ini.
Dia mampu menciptakan opini dari orang2 yang gamang untuk menuju dan menyetujui nilai2 yang dia anut.
Siapa yang tidak mau mengikuti dia maka akan lapar dan sengsara.
Itulah saatnya datangnya fitnah akhir zaman yang lebih besar.
Mampukah kita bertahan dan tetap beriman kepada Allah pada saat itu?
Sungguh Allah akan mendatangkan suatu fitnah pada akhir zaman yang mana orang2 alim pun akan bingung menentukan sikap.

NB: Iman sama sekali tak ada hubungan dengan sikap intelektual2 ingusan yang sok ilmiah2an itu

28. Dedy - April 10, 2008

@Zaki
saya bukan “intelektual” sih…apalagi sok2 ilimah…hanya punya rasa ingin tahu besar. Thats it. Setelah fitnah di akhir zaman, apa kemudian yang terjadi? kenapa Allah harus mendatangkan fitnah pada akhir zaman? Bung Zaki sepertinya lebih tahu banyak tentang hal ini dibanding kita-kita.

29. zaki - April 10, 2008

GM sendiri yang cari gara2. Besar kemungkinan uraian GM dalam Caping di atas adalah pendapat atau pertanyaan GM sendiri terhadap sejarah dan masa depan Islam. GM hanya numpang bertanya melalui buku Kebenaran Yang Hilang itu. Biasalah. Dalam beropini essais juga kadang bisa mengenderai buku atau ide2 orang lain biar terasa objektif, apalagi dengan kemampuan estetika setingkat GM.

Saya juga bisa beropini tentang kejelekan seorang tokoh atau agama dengan cara mencari literature2 yang mendiskreditkan tokoh atau agama itu, meskipun literature itu hanya sebuah teks usang.

30. zainal - April 11, 2008

Sampeyan kan tdnya ngomongin sol dajjal. Trus ada yg nanya soal dajjal krn sampeyan yg tau soal dajjal. Mbok ya jelasin mskpun cuma ringkas. Kok jd bilang GM yg cari gara2. Sy juga yg lain akan menyimpulkan kalau yg sampeyan maksud dg dajjal itu GM, hanya karena GM nulis soal sahabat Nabi yg punya catatan sejarah buruk.
Kalau sampeyan bikin tulisan opini dg niatan awalnya menjelekkan seseorang pasti udah ketauan kualitasnya, kayak film gombalnya si Wilders.

31. zaki - April 11, 2008

Sebelum munculnya dajjal, akan datang terlebih dahulu suasana dan iklim sosial yang kondusif dengan sifat2 dajjal sehingga bisa menyebabkan dajjal muncul.
Dan dengan kondisi manusia yang menyandarkan imannya pada logika dan akal dalam fungsinya yang naif, tentu akan menjadi sasaran empuk dajjal. Dari tulisan GM dan berbagai intelektual2 sejenis lainnya dalam memahami Islam, kita pasti bisa tahu kalau mereka telah menggunakan akal dan logika secara sangat naif, karena semua bersandar pada sesuatu yang harus konkrit dan fisik. Kita semua tentu mengagumi berbagai kemajuan tekhnologi yang di capai berdasarkan pendekatan teori fisika dan biologi modern atau bahkan psikologi. Tapi jangankan untuk menjelaskan tentang Agama dan Tuhan, untuk menjelaskan fenomena alam secara tuntas saja belum mampu jika bersandar pada teori tersebut.
Nah celakanya, kualitas dan kompetensi akal semacam itu di gunakan untuk sandaran Iman.

Contohnya adalah dengan menyandarkan Iman dan kebenaran Islam berdasarkan cerita dari buku Kebenaran Yang Hilang itu. Padahal buku itu karya dari seorang bisa jadi punya sifat pelupa dan bahan yang dikumpulkannya belum tentu telah melalui suatu ujian yang ketat terhadap autentifikasi historic.

32. ezi - April 13, 2008

***opini orang awam***

akan lebih indah hidup ini jika kita tidak saling menyalahkan dan saling “memamerkan” ilmu kita dengan prasaan tidak mau kalah,.,.,.

Apakah anda2 ingin digolongkan ke dalam kaum agamis atau para ilmuan (dalam “Agama: Pisau Bermata Tolu” oleh: Hamid Basyaib)?????

Jawab lah dalam hati,..,,

33. kartizah - April 14, 2008

===TAMAT====

EPISODE INI SELESAI…

34. Dedy - April 14, 2008

@Kartizah
Hehe..enakaza. Siapa bilang selesai 😛
@Zaki
Banyak sekali tulisan GM (terutama jika berbicara tentang agama dan iman) yang menyebutkan tentang terbatasnya akal pikiran manusia (mirip2 seperti Derrida) dan juga tentang iman dalam kedaifan dan kerendah hatian. Saya tak mengerti maksud anda kalau GM menggunakan akal dan logika secara sangat naif dalam memahami agama.

35. zainal - April 14, 2008

Udahlah, Bung Dedy, nggak usah ngotot. Sampeyan betul kalo tulisan caping itu dari dulunya mengilhami pentingnya bersikap rendah hati sekaligus kritis atas sikap kepercayaan pada nalar, bahasa, dan modernitas.
Tapi sampeyan tetap nggak akan bisa apa2 berhadapan dg pendapat yg pake kerangka ‘dajjal’ dlm mslh sembako, BBM, hidup hedonis, sikap inetelektual dan tulisan GM. Meskipun ada ustadz yg ngasih tau sy kalo ‘dajjal’ bs ditafsirkan sbg sifat manusia yg monolitik dan berpikir sempit. Makanya kan dajjal suka digambarkan bermata satu. Dan org yg kerayu dajjal pun org yg berpikir sempit, nggak kritis.
Udahlah, bung Dedy, episode ini emang selesai dengan kemenangan dajjal.

36. Dedy - April 15, 2008

@Zainal
Ya deh…gw nyerah…gw ngalah 😀

37. Dedy - April 15, 2008

@Zainal
Ya deh…gw nyerah…gw ngalah 😀

38. Dedy - April 15, 2008

@Zainal
Ya deh….ngalah….selesai
wong cuma mau nanya2 aja kok bung Zainal, soalnya saya gak terlalu kenal dekat sama yang namanya “dajjal”, alangkah baiknya tanya ke yang lebih tau/kenal 😀

39. Dedy - April 15, 2008

@Zainal
Yo wis….ngalah….selesai
wong cuma mau nanya2 aja kok bung Zainal, soalnya saya gak terlalu kenal dekat sama yang namanya “dajjal”, alangkah baiknya tanya ke yang lebih tau/kenal 😀

40. Dedy - April 15, 2008

nb : net error…pesennya jadi double2 dah 😛

41. Ajie - April 15, 2008

Sabar bung Dedy…sabaar 😛

42. oemank - Mei 12, 2008

mbok yo udah to..orang berpendapat kok ndak boleh

43. Ajie - Mei 13, 2008

loh..ada nicknya sama kayak gw..ganti donk..hehe

44. dipo - Juni 1, 2008

mencerahkan…
kita memang perlu pemikir-pemikir bebas …
dan tahukah anda? setelah membaca perdebatan dan tulisan GM…bukanya saya lari dari islam…malah saya menjadi lebih jernih memandang agama saya…
sebagaimana saya harus memandang keyakinan orang lain..

berat menerima sebuah kebenaran…
tapi ….
itulah hidup bung…

45. fsiekonomi.multiply.com - November 29, 2008

well, the author should read adian husaini’s writing.

46. Sejarah dan Pertanyaan « Fortress Of Solitude - Desember 3, 2008

[…] Terlepas dari pro dan kon tra atas pemikiran Farag Fouda, membaca buku karangannya –- Kebenaran yang Hilang, Sisi […]

47. rifa'i - Januari 26, 2010

asslam all….. saya pengen tahu buku “kebenaran yang hilang”. dimana ya sekarang nyarinya? sebab ditoko-toko, percetaan kaya gak ada tuch……juga waktu dipameran-pameran……thaks

48. Benny - Juni 28, 2012

Org yg menjadikan agamanya berhala mudah sekali tersinggung,dan bertindak kekejaman

49. Benny - Juni 28, 2012

Org yg menjadikan agamanya berhala mudah sekali tersinggung,dan bertindak kejam


Tinggalkan Balasan ke zainal Batalkan balasan