jump to navigation

Sisiphus Januari 12, 2009

Posted by anick in All Posts, Bencana, Identitas, Kebebasan, Kekerasan, Perang, Politik.
trackback

DI atas tuts pianonya, Ibrahim Souss memainkan Le Myth de Sisyphe. Komposisi itu mencoba menghidupkan kembali gerak, kepedihan, dan absurditas nasib yang dialami manusia setengah dewa yang dihukum Zeus itu: ia, Sisiphus, harus mengangkut batu berat ke puncak gunung, dan tiap kali sampai di sana, batu itu akan berguling lagi. Dan ia harus kembali ke bawah. Ia harus mengangkutnya lagi. Dalam mitologi Yunani kuno itu, nasib itu tak pernah berakhir.

Souss memainkan karyanya itu ketika ia jadi direktur kantor PLO di Paris, sekitar 20 tahun yang lalu. Saya tak tahu di mana ia sekarang: seorang pianis yang piawai, komponis yang kreatif, yang dengan Le Myth de Sisyphe hendak menyatakan sesuatu tentang Palestina.

Ia lahir di Yerusalem pada 1945. Umurnya baru tiga tahun ketika orang Palestina diusir dari bagian kota itu setelah perang Arab-Israel tahun 1948. Setelah kekalahan Arab yang nista pada 1967, Ibrahim bergabung dengan PLO. Ia memilih karena ia harus memilih: ia tahu ia, bagian dari bangsa yang diusir dan diabaikan, tak bisa cuma bisa hidup merdeka dengan musik.

Sisiphus-nya pun mengandung ambiguitas. Di satu pihak, di dalamnya tergambar nasib orang Palestina yang tiap kali berharap, tiap kali pula kandas. Dari 1948 sampai 2009, berapa generasi terus hidup terjepit dan dihinakan, berapa usaha perdamaian gawal?

Tapi, seperti kata Souss sendiri, Palestina bukan Sisiphus. ”Kami menolak menjalankan hukuman itu.” Hakikat Palestina, katanya pula, adalah penampikannya untuk dibuang.

Ambiguitas itu pula yang tersirat ketika Albert Camus menulis esainya dengan tema yang sama. Saya kira pengaruh Camus pada Souss cukup jelas, meskipun ia sampai pada kesimpulan yang berbeda.

Dalam tafsir Camus, kian lama kian tumbuh semacam simbiosis dalam diri Sisiphus dengan batu yang diangkutnya. Pada tokoh itu tampak, tulis Camus, sebuah wajah yang, seraya bekerja keras dan begitu dekat dengan batu, telah mengeraskan diri dan dunianya. Dari keadaan terkutuk dan dipenjara para dewa, ia akhirnya mengubah posisinya secara radikal. Kini nasibnya adalah miliknya. Ia lebih kuat ketimbang batu karang.

Sebuah sikap yang gagah, tentu—yang dengan itu juga menunjukkan perlawanan terhadap Zeus: raja dewa itu hendak menghinanya, tapi Sisiphus-lah yang kini menistanya, dengan menganggap hukuman itu tak relevan. Sejak saat itu, alam semesta tak punya lagi yang dipertuan.

Tapi kesimpulan Camus yang termasyhur, bahwa kita harus bisa membayangkan Sisiphus ”bahagia”, adalah kesimpulan yang bermasalah. Setidaknya bagi Souss. Dan yang pasti bagi Palestina. Heroisme yang tampak di sana memang memberikan semangat, tapi itu bukan kisah kepahlawanan yang menyenangkan. Di Palestina, pahlawan tak mati hanya satu kali, melainkan berkali-kali. Tiap kali sang syuhada tewas hidup pun bersinar, tapi sebentar, dan selamanya pedih.

Masalahnya, bisakah yang heroik dan yang pedih itu menggugah, di masa kita sekarang? Ketika Camus menuliskan esainya pada awal tahun 1940-an, ia tak mempersoalkan itu. Ia bertolak dari asumsi yang lazim pada zamannya: siapa saja akan melihat hukuman atas Sisiphus sesuatu yang tak bisa diterima dalam tatanan manusia, dan perlawanannya dengan demikian amat dahsyat. Tapi ”manusia”, siapakah dia sekarang? Samakah ia dengan ”siapa saja”?

Di Palestina, gerilyawan dan bocah-bocah, aktivis dan kakek-nenek, dengan segera tahu apa artinya ketidakadilan. ”Kau burung yang beruntung… ajari aku terbang mengatasi peluru, ajari aku merdeka,” begitulah kerinduan diucapkan dalam lagu yang digubah Rima Terazi, yang dinyanyikan anak-anak di kamp-kamp pengungsi. Kerinduan kepada sesuatu yang absen: keadilan, kemerdekaan, perdamaian. Kerinduan yang di sini berlaku bagi ”siapa saja”.

Tapi di Amerika dan Eropa, tampaknya ada kesulitan besar untuk melihat yang universal dalam kerinduan itu. Orang menyaksikan bagaimana museum Holocaust didirikan di mana-mana di kedua bagian dunia ”Barat” itu, sebagai tanda solidaritas kepada orang-orang Yahudi yang dibunuh dan diusir di Eropa pada zaman Hitler. Sementara orang bisa mencatat begitu sedikit simpati kepada orang Palestina yang ditundung dari tanahnya selama 60 tahun.

Mau tak mau, orang sampai pada kesimpulan bahwa yang-universal tidaklah satu. Ada yang menang dan yang kalah, ada yang berada dalam hegemoni dan yang masih tersingkir.

Tapi bila yang-universal ternyata tak satu, dan bahwa yang tampak sebenarnya akibat posisi hegemonik satu bagian masyarakat manusia dalam menilai, apa gerangan yang dapat membuat kita melihat manusia langsung sebagai sesama? Apa yang membuat kita tergerak untuk berbuat baik di mana saja dan kapan saja dan bagi siapa saja—sesuatu yang lahir dari yang disebut Kant sebagai das Faktum der Vernunft?

Atau ”faktum” itu jangan-jangan hanya fiksi? Kini, di Palestina yang diduduki Israel, aniaya seperti tak pernah bisa dihentikan. Kini ada bagian dari dunia yang tak merasa dituntut untuk berbuat baik ke mereka yang dinistakan. Sementara itu, ada juga yang hanya mau berbuat baik buat Palestina tanpa mau berbuat baik kepada mereka yang lain yang juga dianiaya.

Bila demikian, manusia akan hilang harap untuk jadi sesama….

Untunglah, compassion—perasaan ikut sakit ketika orang lain menderita—bukanlah sesuatu yang mustahil; kita mengalaminya sehari-hari, tanpa kita harus melalui pergulatan politik untuk merasa bertugas menolong orang lain.

Yang mencemaskan dari tragedi Palestina ialah bahwa pengalaman sehari-hari itu acap kali tenggelam. Yang memberi harapan ialah bahwa yang tenggelam tak pernah hilang total. Ia akan selalu kembali.

Mungkin macam Sisiphus.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 12 Januari 2009~

Komentar»

1. fsiekonomi.multiply.com - Januari 13, 2009

one muslim, one spirit to curse israel satanic zionism.
one christian, (should also) one spirit to curse israel satanic zionism.

gaza, palestine; land of (not only) muslims and (but also) christians.

2. Manyar378 - Januari 13, 2009

Saya kira Kebaikan selalu akan ada, walau dalam Ide kita terasa aneh. Sebab mana mungkin semua orang serempak dalam kebaikan? Tapi seandainya itu terjadi mungkin kita akan membangun ide-ide baru tentang Kehidupan ini. Dan saat itulah sisiphus berhasil menaikan batu keatas bukit, mungkin saja Batu itu cuman idenya sisiphus.. Payahnya kita selalu membawa Batu itu terus menerus! Kapankah kita tanpa ide, tubuh dan pikiran kita namun mampu bergerak maju?

3. bodrox - Januari 14, 2009

ya, saya sudah baca bukunya albert camus : mite sisifus. Dulu saya pikir kutukan itu dinisbatkan bagi seluruh makhluk yang bernama manusia. Sekarang, saya pikir tidak. Manusia musti bisa mengubahnya, manusia mungkin tak pernah dikutuk sebagai sisipus. Tapi israel? bukankah setelah ia lepas dari terjepit kemudian menggigit? akankah kejadian ini terulang lagi : terjepit- menggigit – terjepit – menggigit -terjepit -menggigit -……

4. bambang - Januari 14, 2009

yang lebih menakutkan apabila penjajahan ini kita lihat sebagai sesuatu yang normal. sebagai sesuatu yang lazim. ketika nyawa yang hilang, rumah yang hancur, anak yang terluka dilihat sebagai angka-angka statistik. berita kematian, kehancuran, masuk keruang tengah rumah kita tanpa pernah ada yang tergetar dalam diri.

Kita semua bukan tokoh komedi tragedi Yunani tersebut:
kita bukan seorang pandir yang membiarkan diri diombang-ambing ‘suratan nasib’ busuk tanpa pernah belajar suatupun yang dapat membantunya merangkak ke luar dari lingkaran setan ‘nasib’ yang menghembalangnya.

semoga kita masih bisa disebut sebagai sesama.

salam.

5. Lowongan CPNS - Januari 15, 2009

Boleh boleh….

6. Saut Situmorang - Januari 15, 2009

masak “Sisiphus, harus mengangkut batu berat ke puncak gunung, dan tiap kali sampai di sana, batu itu akan berguling lagi. Dan ia harus kembali ke bawah. Ia harus mengangkutnya lagi….”?!

apa memang gak ada bedanya antara “mendorong” dan “mengangkut”?

kalok catatan pinggir begini aja tentang detil commonplace mitos Sisyphus itu udah gak benar, gimana kita mau percaya pada “kebenaran” tulisan berjudul “Sisiphus” di atas! ato ini cuman “fiksi” yang dianggap sebagai “faktum” itu!

apa sebenarnya yang dimaksud Kant sebagai das Faktum der Vernunft? kok kami gak diberi penjelasan! ato ini cuman sekedar bagian dari hobby untuk name-dropping yang udah jadi sebuah mannerisme itu!!!

lagi, apa memang begitu spelling nama Sisyphus! kenapa seseorang yang diklaim sebagai “eseis terbaik Indonesia” begitu lalai dalam hal pemakaian nama yang begitu populer di dunia!!! ato hal ini memang bagian dari “faktum” yang cuman “fiksi” itu hingga gak gitu pentinglah untuk menghormatinya!!!

hahaha…

7. izzy dylan - Januari 15, 2009

Camus beserta karyanya sudah lama dilansir Said tidak tepat untuk melihat fenomena kolonialisme…apalagi untuk melihat narasi palestina dan israel yang sangat komplek. Ambilah posisi politik intelektual yang pasti dan tegas terlebih dahulu baru komentar atau nulis soal Palestina. kalau tidak jelas komitmen anda jangan menulis soal palestina. bikin sakit kepala aja…Said berkali-kali mengkritik Camus soal kemenduaannya dalam kasus penjajahan Prancis di Aljazair….ayolah…

8. izzy dylan - Januari 15, 2009

soal kasus palestina dan israel anda harus memiliki bobot komitmen intelektual semisal Eqbal Ahmed, Ibrahim Abou Loghoud….berkata tidaksamasekali dengan kekuatan Barat dan Amerika soal penjajahan semacam yang terjadi di palestina…
kalau tidak seperti figur-figur -kaliber semacam itu maka komentar anda sama saja seperti tifatul sembiring …

9. rizkiharit - Januari 15, 2009

Bicara tentang tata bahasa, adakah kata ‘ato’ dan ‘gak’ di KBBI? Lagipula Caping itu esei Bung, bukan karangan anak SD. GM tentu tidak berharap semua orang akan membaca dan mengerti semua yang ia tulis. Ketimbang meributkan hal-hal remeh, mungkin lebih baik Anda googling kata-kata yang Anda bingungkan itt. Get real, do something!

10. Saut Situmorang - Januari 15, 2009

kolonialisme Zionis atas Palestina mosok dibahas pakek “eksistensialisme” Camus! emangnya Camus bicara soal “eksistensi” sebuah Nation waktu mendaur-ulang mitos Sisyphus itu, ada-ada aja.
kalok pakek Sartre barulah tepat, kalok memang Edward Saut, eh salah, Edward Said dianggap haram, hahaha…

sekarang ada pertanyaan Eksistensialis nih!
gimana kita pembaca mau “percaya” sebuah tulisan tentang PALESTINA yang ditulis oleh seseorang yang bersedia menerima Dan David Prize 2006 dari Kaum Zionis di Israel itu!!!

nah…

11. Saut Situmorang - Januari 15, 2009

hahaha…
KKBI?! makanlah taik kucing itu! eh, ada gak “taik kucing” di KKBI?!!!

jadi GM itu udah gitu pinter ya hingga dia “tentu tidak berharap semua orang akan membaca dan mengerti semua yang ia tulis”!!! cerdas amat pembelaan norak ini, hahaha…

kalok dia pinter, masak data kecil tentang mitos Sisyphus yang dia kutip aja SALAH!!!

hahaha…

12. Tempe - Januari 15, 2009

Eleh…eleh…Saut…Saut…ujung-ujugnnya itu. Kenapa gak bilang sejak wal tadi? Basi!

13. Saut Situmorang - Januari 15, 2009

initialnya aza awak gak biza ingat, gimane mo ngingat isi kamus goblok gituan!

hahaha…

14. Saut Situmorang - Januari 15, 2009

eh tempe basi

JAWAB DONG TUDUHAN SAUT SITUMORANG DI ATAS!

JANGAN LARI DARI ISU SEPERTI BIASANYALAH!!!

HAHAHA…

15. Tempe - Januari 15, 2009

Gak nyadar kalau diriny lebih norak….dasar gimbal bau.

16. Tempe - Januari 15, 2009

Gw udah pintar gak butuh ngomentari tai kucing kau itu…

17. Saut Situmorang - Januari 15, 2009
18. Saut Situmorang - Januari 15, 2009

JADI GM ITU SUARA “ISLAM” YANG MODERAT YA! DAHSYAAT!!! BOONG MULU SIH OBSESI KALIAN! HAHAHA…

Goenawan Mohamad is one of the world’s leading voices of moderate Islam. He has written extensively and eloquently about the power of the press and the importance of free speech. For Mohamad, “the issue of freedom of expression is not about certain collective precepts and principles, or the formulation of common values, but like other issues related to human rights, in the beginning it is about violence and suffering.”

Mohamad’s role in advocating for press freedom has not been limited to the printed word. He established the Institute for Studies in the Free Flow of Information, which in addition to training young journalists, documents attacks on press freedom. Mohamad has received a number of awards for his outstanding work in journalism.

Goenawan Mohamad is awarded the 2006 Dan David Prize for having spent the last 30 years as a poet, writer and journalist fighting for press freedom and the advancement of independent journalism. He continues to write columns, poetry, experimental theatre and prose and has received a number of awards for his persistent courage and vision.

19. Saut Situmorang - Januari 15, 2009

HEI, TEMPE BASI

SIAPA SIH NAMA ASLIMU, MASAK GAK BRANI TERUS TERANG DAN PAKEK SAMARAN GITU SIH DI SITUS BOSMU SENDIRI!

TAKUT AMA GIMBAL SAKTIKU YA!!!

HAHAHA…

20. Saut Situmorang - Januari 15, 2009

KALOK GM ITU DISEBUT SEBAGAI “ONE OF THE LEADING VOICES” “OF NATIVE ORIENTALIST” NAH ITU BARU BENAR! DAN PANTAS DIA MENERIMA HADIAH KAUM ZIONIS DAN DAVID PRIZE ITU!

KAN GITU, TEMPE BASI DAN RIZKIHARIT!!!

ATO KALIAN GAK BISA BAHASA INGGRIS DAN MUSTI AKU TERJEMAHIN DI SINI “CITATION” DARI PANITIA DAN DAVID PRIZE DI ATAS?

TAPI AKU GAK PUNYA KAMUS… APALAGI NAMANYA TADI ITU KAMUS HEBATMU ITU, RIZKIHARIT?

HAHAHA…

21. Saut Situmorang - Januari 15, 2009

KAPAN SIH GOENAWAN MOHAMAD MENULIS “EXPERIMENTAL THEATRE AND PROSE”?

KOK KAMI BELOM PERNAH MEMBACA ATO MENONTONNYA, TEMPE BASI?

HAHAHA…

22. rizkiharit - Januari 15, 2009

Saya tidak berada dalam posisi membela GM. Fanatisme maupun Anarkisme (walau berupa tulisan) menurut saya sama tololnya

23. Saut Situmorang - Januari 15, 2009

JANGAN DIHAPUS KOMENTAR-KOMENTARKU YA! KALIAN KAN PERCAYA PADA “THE IMPORTANCE OF FREE SPEECH”!!! HAHAHA…

OIYA, DI BAWAH INI BARI SITUS KEREN BUDAYA INDONESIA:

http://www.facebook.com/group.php?gid=38840078585

24. Saut Situmorang - Januari 15, 2009

JANGAN DIHAPUS KOMENTAR-KOMENTARKU YA! KALIAN KAN PERCAYA PADA “THE IMPORTANCE OF FREE SPEECH”!!! HAHAHA…

OIYA, DI BAWAH INI BARU SITUS KEREN BUDAYA INDONESIA:

http://www.facebook.com/group.php?gid=38840078585

25. mikael - Januari 15, 2009

seperti biasa gm tak punya sense of irony sama sekali, faktum yg dimaksud kant, kalok dulu dia sempet selesai s1, dia akan tahu sudah always already non-empirical, sudah selalu sebuah fiksi ! candaan dia aja menamakan itu faktum ! masak sok2 mengkritik kant dengan logika murahan macam begitu ! lagian memangnya dia sendiri yg pernah berpikir faktum kant ini bermasalah ? tentunya dia ingin orang2 berpikir begitu, gak menyertakan referensinya biar keliatan dia sendiri yg pernah berpikir untuk mengutakatik faktum kant ! halah. dan waspada dong groupies gm, ini kan modus operandinya dia dari dulu, baca buku yang mengkritik sesuatu teori kemudian hanya menyebutkan teori yg dikritik itu di catatan pinggirnya dan membiarkan krritik yg dikepeknya seakan2 berasal dari wordprocessornya sendiri ! liat antara lain di http://209.85.175.132/search?q=cache:scedc6Ytqd4J:www.krisis.eu/content/2008-2/2008-2-05-vanoenen.pdf+das+Faktum+der+Vernunft&hl=en&ct=clnk&cd=15&gl=uk untuk sedikit keterangan tentang faktum nggak penting ini.

26. Saut Situmorang - Januari 15, 2009

coba kau, rizkiharit, tunjukkan di sini mana yang “fanatisme maupun anarkisme” itu?

apakah kebohongan obsesif BUKAN sebuah Fanatisme?

BUKAN juga sebuah Anarkisme?

nah kau jelaskanlah ke aku.

27. Saut Situmorang - Januari 15, 2009

nah bukankah jauh lebih menarik membaca catatan pinggir Mikael di atas ketimbang “catutan pinggir” Goenawan Mohamad itu!

katanya Penyair Pasemon, kok nulis gak jelas referensinya!!!

dan bersedia dibela-bela ama sampah kayak Tempe itu lagi yang udah gak jantan, ato betina, tunjukkan identitas diri, mulutnya bau gak mampu ngeluarin sesuatu yang berarti!!!

28. Saut Situmorang - Januari 15, 2009

INI BARU ESEI KEREN!!!

CounterPunch, January 6, 2009

The Real Estate War in Gaza
The History and “Morals” of Ethnic Cleansing

By VICTORIA BUCH

I arrived in Israel 40 years ago. It took me many years to understand that the very existence of my country, as it is today, is based on an ongoing ethnic cleansing of Palestinians. The project started many years ago. Its seed can be traced to the basic fallacy of the Zionist movement, which set out to establish a Jewish-national state in a location already inhabited by another nation. Under these conditions, one has, at most, a moral right to strive for a bi-national state; establishing a national state implies, more or less by definition, ethnic cleansing of the previous inhabitants.

Albert Einstein grasped this fallacy a long time ago. A short time after WWI “Einstein complained that the Zionists were not doing enough to reach agreement with the Palestinian Arabs…He favored a binational solution in Palestine and warned Chaim Weizmann against `Prussian style` nationalism”[1]

But such warnings passed un-heeded by the Zionist movement. So here we are, nearly a century later, with a Jewish national state dominated by militaristic and militant nationalists, who diligently pursue colonization and “judaization” of the land under Israeli control, on both sides of the Green Line (1967 border). The project has been pursued continuously and relentlessly under the different Israeli governments, recently under the cover of bogus “negotiations” with President Abbas. Most of the Israeli institutions participate in it. Young Israelis, generation after generation, join the army to provide the military cover. The young folks have been brain-washed to honestly believe that the army pursues Israel’s “fight for existence”. However it seems evident to the author of this article, as to many others, that the survival of the Jewish community in this country depends on establishing viable mechanisms of coexistence with the Palestinians. Thus, under the slogan of “fight for existence”, the State of Israel is pursuing an essentially suicidal project.

This long-standing outlook of the Israeli governing classes was summarized succinctly in a recent book `Palestine Inside Out` by Saree Makdisi, an American academic. His book “suggests that occupation is merely a feature of an ongoing Israeli policy of slow transfer of the native Palestinian population from their lands. This policy predates the founding of the state, and all of the various practices of the occupier: illegal settlement, land confiscation, home demolition and so on, serve this ultimate purpose.”[2]

If you do not believe the above assessment, consider several statements by David Ben Gurion himself, from the time before the establishment of the State of Israel (Ben Gurion was the leader of the Zionist movement before 1948 and the first Israeli Prime Minister after 1948):

“The compulsory transfer of the [Palestinian] Arabs from the valleys of the proposed Jewish state could give us something which we never had, even when we stood on our own during the days of the first and second Temples…We are given an opportunity which we never dared to dream of in our wildest imaginings. This is more than a state, government and sovereignty, this is national consolidation in a free homeland.” [3]

“With compulsory transfer we [would] have a vast area [for settlement]…I support compulsory transfer. I don’t see anything immoral in it.”[3]

During the 1948 war, about two-thirds of the Palestinians who would become refugees were in fact expelled from their homes by the nascent Israeli army, and one-third became refugees while escaping the dangers of war. All these people, 0.75-1 million of them, were prevented from returning to Israel after the armistice agreement, while their homes and property were demolished or appropriated by the State of Israel.

Among the common mantras provided to the Israelis to justify the above is the following: “Israel accepted the UN partition plan, and Arabs did not, so what happened afterwards is their own fault”. What is conveniently overlooked is that Palestinian Arabs constituted between one third and one half of the population of that designated Jewish homeland (according to various UN reports). Why should these people, whose ancestors lived there for generations, accept living in somebody else’s designated homeland? Imagine, for example, the reaction of French Belgians if their country were designated as a “Flemish homeland” by the UN.

But the main mantra drummed into the conscience of an Israeli citizen from kindergarten, is that in 1948 “it was either them or us”, “Arabs would have thrown us into the sea if we did not establish a Jewish majority state with a strong army”, etc. I have my doubts about that line, too, but let us suppose for the moment that in fact, it was so. And then came the year 1967, and the Six Day War. Another chapter in the Israeli “fight for existence” against recalcitrant Arabs who just keep trying to throw us into the sea. On the face of it, that is how it seemed. I together with most of my compatriots believed for years that 1967 was in fact a moment of existential danger for Israel. Until I stumbled upon some telling quotes, uttered by our very own leaders [4]:

“(a) The New York Times quoted Prime Minister Menachem Begin`s (1977 – 83) August, 1982 speech saying: `In June, 1967, we had a choice. The Egyptian Army concentrations in the Sinai approaches do not prove that (President Gamal Abdel) Nasser (1956 – 70) was really about to attack us. We must be honest with ourselves. We decided to attack him.`

(b) Two-time Prime Minister Yitzhak Rabin (1974 – 77 and 1992 – 95) told French newspaper Le Monde in February, 1968: `I do not believe Nasser wanted war. The two divisions which he sent into Sinai on May 14 would not have been enough to unleash an offensive against Israel. He knew it and we knew it.`

(c) General Mordechai Hod, Commander of the Israeli Air Force during the Six-Day War said in 1978: `Sixteen years of planning had gone into those initial eighty minutes. We lived with the plan, we slept on the plan, we ate the plan. Constantly we perfected it.`

(d) General Haim Barlev, Israeli Defense Forces (IDF) Chief told Ma`ariv in April 1972: `We were not threatened with genocide on the eve of the six-day war, and we had never thought of such a possibility.`”

So: instead of “thwarting an existential danger”, in 1967 the State of Israel carried out an effective military operation to acquire some real estate. There is nothing new about that “existential danger” propaganda. Acquisition of real estate by conquest has been already called pleasing names by various other conquerors and occupiers, throughout the old and new history: such as “manifest destiny”, “white man’s burden”, “spreading true religion / culture / democracy”, whatnot.

The reader may like to know that the 1967 real estate acquisition by the State of Israel was anticipated some twenty years earlier by Ben-Gurion, at the time of the partition plan (which was supposedly accepted by the Zionist leadership). See the following quotes of Ben-Gurion, which can be found in the book by an Israeli historian[5]:

“Just as I do not see the proposed Jewish state as a final solution to the problems of the Jewish people, so I do not see partition as the final solution of the Palestine question. Those who reject partition are right in their claim that this country cannot be partitioned because it constitutes one unit, not only from a historical point of view but also from that of nature and economy”.

“After the formation of a large army in the wake of the establishment of the [Jewish] state, we shall abolish partition and expand to the whole of the Palestine”.

I wonder if at any point in history there was any association of people who acquired goodies by brute force, and who viewed themselves candidly as such. Times and again, conquerors considered themselves unwilling victims of circumstances, and the barbarians (their own victims!) against whom they have to regretfully protect their rights. Consider the following pronouncements of Benny Morris, a historian who documented the 1948 ethnic cleansing. In a 2004 interview with Morris which was published in Haaretz one reads[6]:

Q: The title of the book you are now publishing in Hebrew is “Victims.” In the end, then, your argument is that of the two victims of this conflict, we [Israelis] are the bigger one.

Morris: “Yes. Exactly. We are the greater victims in the course of history and we are also the greater potential victim. Even though we are oppressing the Palestinians, we are the weaker side here. We are a small minority in a large sea of hostile Arabs who want to eliminate us.

The above opinion is representative of the Israeli mainstream. It has been raised to the status of axiom over the years, and no reasonable peace offers (such as the latest Saudi one) are likely to put a dent in it. Israelis are using this slogan to exempt themselves from normal human decency towards Palestinians. Most Israeli Jews have convinced themselves that they have a moral right to expropriate and expel Palestinians because Palestinians are such barbarians, who did not respond to Israel’s”generous peace offers” and “only wanted to throw us to the sea”. Because we are a nation of Holocaust survivors. My compatriots imagined themselves starring in a modern version of Tolkien’s “Lord of the Rings” – starring as beautiful elves, of course, who were forced by sad fate to fight ugly goblins the Palestinians (goblins = “terrorists”). Human mercy does not apply to “terrorists”. You do not make territorial compromises or peace agreements with “terrorists”.

The above explains the mass participation of otherwise normal and more-or-less decent Israelis in the ongoing ethnic-cleansing projects. How else can you account for a dying elderly man and his wife being dragged out of their east Jerusalem apartment to make space for Jewish settlers. Building the Jerusalem “Museum of Tolerance” on the site of an ancient Muslim graveyard. Onslaught on West Bank orphanages supported by Islamic charities. State-subsidized Jewish settler-thugs conducting pogroms against Palestinians in Hebron and elsewhere in the Occupied Territories. Widespread sadism practiced by Israeli soldiers against Palestinian detainees. Trashing of Palestinian homes during nightly military incursions in Palestinian towns and villages. Demolitions of Palestinian homes in the West Bank and East Jerusalem under the brazen pretext of “illegal construction”. Extensive land grab for settlers. And much more.[7]

The Gaza Strip is the place where the self-righteous Israeli sadism has reached new heights. The Strip is densely populated, mostly by descendants of Palestinians expelled in 1948. Well before the Second Intifada, choice Gazan real estate along the beach (about ¼ of the Strip land) was confiscated for a few thousand Jewish settlers. Still, a million and a half Gazan Palestinians had a sort of normal life (under the Israeli occupation) – growing fruits and vegetables, making construction materials and other products for Israeli markets, and working as laborers within the Green Line. Before the second Intifada, very little terror was coming from there to Israel.

However, since the beginning of the Intifada (a year and a half before the first Palestinian rocket landing across the border) the Israeli army embarked on the systematic destruction of the Strip. Incursions were carried out every few weeks and included the destruction of factories and workshops, roads, agricultural land, homes, and whatnot. Access to the Israeli economy was closed. Eventually, desperate Palestinians resorted to shooting Qassam rockets which rarely caused casualties or real damage but served as an excellent pretext for Israeli military “action”.

And then Sharon carried out his brilliant propaganda move of “disengagement” from Gaza. The whole operation was marketed as a demonstration of Israeli good will. The Israeli settlements in Gaza were in fact removed, but the army was redeployed around the Strip, and the Strip was converted to a large scale prison. The economic strangulation of Gaza was tightened to a draconian extent, especially after the Hamas government suppressed the Israel-cum-USA sponsored Fatah putsch. (I am no fan of Hamas but their government was democratically elected by the Palestinians) Hamas offered several times to conduct negotiations with Israel, based on 1967 borders, but the offers were under-reported and ignored. It is likely that such negotiations would have stopped the Qassams, but Israeli leaders appeared interested in continuation of the violence. The Qassams created a great opportunity for more “poor little us” propaganda, and a great pretext to wiggle out of legitimate international requests to stop the massive colonization of the West Bank.

Finally, a truce with Hamas was negotiated. Since the beginning of the truce defense minister Barak commenced preparations for a massive attack on Gaza[8]. On November 14th the working truce with Hamas was deliberately broken on Barak’s orders, by killing several Hamas fighters. A totally predictable Palestinian response ensued – cancellation of the truce and a barrage of rockets. The barrage was used by Barak as a pretext for that large-scale operation, including the slaughter of hundreds of people in Gaza with missiles deployed from airplanes. This muscle-flexing is an obvious part of Barak’s and Livni’s forthcoming election campaign, at the price of hundreds of Palestinian casualties, and several Israeli ones (as meanwhile Palestinians have improved their aim). In a forthcoming ground operation Israeli soldiers are also likely to pay with their lives for this form of electioneering.

Do you know what mainstream Israelis make of the above? ‘We, Israelis, in an act of self-sacrifice, removed poor Jewish settlers from their “homes” in the Gaza Strip and gave Palestinians a chance for free and happy existence. But the Palestinians spurned our peace efforts and preferred instead to pursue their addiction to “throwing Jews to the sea.” Gaza could have become a new Singapore, but the Gazans chose instead to shoot rockets at Israelis.’

The disengagement was thus an act of brilliance on part of that evil genius, Sharon. He provided mainstream Israelis with a sweeping moral absolution. Palestinians “disappointed” them. Now the Israeli leaders can do anything they wish to Palestinians. Do not expect a squeak of public protest from the Israeli Jewish public, except for a tiny minority of “self hating Jews” like yours truly.

Believe me, these Jewish-Israeli mainstreamers are not natural-born monsters. They just do not know any better. Alas, I used to be one of them. Then one day I stumbled, more or less by chance, into the West Bank with a group of activists. I acquired some Palestinian friends and finally understood the criminality of the treatment of the Palestinians by my country. And I learned to ignore the daily portion of preposterous propaganda which is provided to my compatriots by the media in lieu of “news”. But how to convince my compatriots not to listen to this propaganda? I do not know.

Then again, it does not have to be so. In addition to four million or so stateless Palestinians living in the Occupied Territories, there are about a million Palestinians living within the Green Line and carrying Israeli citizenship. Despite the very considerable internal racism, many of these Palestinian citizens are deeply involved in Israeli society. You meet Arab doctors and nurses in Israeli hospitals, Arab students in Israeli universities etc. There is quite an element of coexistence and cooperation between Jews and Arabs there. But a mainstream Jewish-Israeli colleague who might treat his or her Arab co-worker perfectly decently would still be proud of a soldier son who is “serving the country” in the Occupied Territories. He or she would still repeat racist propaganda about the “demographic danger” to the State of Israel from its Arab citizens, and believe the bloodthirsty speeches of generals and ex-generals on the TV. And vote for any of the three major Zionist parties, Likud, Kadima and Labour, whose leaders have been dedicated ethnic cleansers over the years.

For the sake of both nations living in this country, this outrage must be stopped. It must be stopped by pressure from outside, because at present within Israel there are no significant political forces to oppose it. Please do something, my friends, and do it urgently. And kindly ignore the endless “negotiations” between our government and the powerless Palestinian Authority, they are just a cover for more ethnic cleansing. If you do not believe me, come and see the massive settlement construction in East Jerusalem and West Bank. And the walls of the Palestinian ghettos.***

Victoria Buch is an Israeli academic and anti-Occupation activist. Her email: vvbb54@yahoo.com

[1] From “The Pity of It All”, a book by Amos Elon on German Jews.
[2] From a review of Makdisi’s book: `Palestine Inside Out`, by Lena Khalaf Tuffaha, IMEU 2008.
[3] From “Righteous Victims” by Benny Morris
[4] Collected by Stephen Lendman, see http://www.zmag.org/znet/viewArticle/15348)
[5] From The Birth of Israel: Myths and Realities,by Simha Flapan
[6] The full text of the interview can be found in the Counterpunch website
[7] *Information can be found, e.g., in the Occupation Magazine, the website of Israeli anti-Occupation activists.
[8] “Disinformation, secrecy and lies: How the Gaza offensive came about” By Barak Ravid, Haaretz http://www.haaretz.com/hasen/spages/1050426.html

29. Wendy - Januari 15, 2009

Hehe…rame nih kayaknya…ayo yang laen mana?Hajar nih si keren Saut…hehe.

30. Ibra - Januari 15, 2009

Saya tidak sepakat sejauh itu dengan Kant. Lagian ide tentang yang “universal” juga bisa kita baca sebagai sebuah “cita2”. “faktum” menurut saya merupakan subsistem dari cita2 itu. Kita juga bisa liat bagaimana Kant membangun sistem filsafatnya dari perspektif yang aneh tentang ras.
Perhatikan tesisnya dalam Collegenwaurfe aus den 80er Jahren Ha.53.52. “charackter da Race” in Kant’s Gesamelte Schiften. Jilid XV.2 Halm. 878-879. Perkenankan saya menerjemahkannya: “…sejarah manusia adalah sejarah tentang ras kulit putih…kulit putih memiliki segala bakat, afeksi, nafsu, dan kemampuan untuk membangun sebuah peradaban, sedangkan orang negro dan indian, mereka dapat didisiplinkan dan diberi peradaban, namun mereka tak bisa sungguh2…mereka akan dengan sendirinya membusuk dalam keliaran. Mereka hanya mampu melayani sebagai budak. Sedangkan kulit putih tidaklah demikian.”

Tapi bila memang terjadi pertarungan hegemoni tentang siapa yang paling berhak menyandang status sebagai “yang universal”, konsekuensi dari pertarungan itu adalah “clash”, sebagaimana disinyalir Huntington. Bila tidak, berarti Postmodern jadi pilihan yang bagus. Postmodern juga punya klaim universalnya sendiri, meski klaim itu berbentuk “penghormatan pada tiap kebudayaan”. Dan klaim itu tentu kita baca bukan sebagai sebuah fiksi. Tapi cita2.
Oiya, mas Anick jangan kaget dengan Bung Saut. Setau saya, dia orangnya murah hati.

31. Zaki - Januari 15, 2009

ck ck ck ck.

Kayak lebah yang lempar sarangnya aja ni Lae Saut.
Mirip2 Iwan Simatupang.

Kalau boleh tahu apa sih obsesinya?

32. gendis - Januari 16, 2009

ayo donggg…kok diem…sy juga perlu kebenaran dari ketidaktahuan sy selama ini…transparanlahhh…

33. bodrox - Januari 16, 2009

fotonya om saut ada 14 biji 🙂

ganteng juga yak.

34. Kang Adek - Januari 16, 2009

Israel memang keterlaluan!!!
Tetapi…
tahukah Anda masih banyak beberapa fakta tentang Israel yang tidak pernah di publikasikan??
dan Tahukan Anda jika israel tidak akan mungkin MENANG melawan ISlam??

mas tukeran link yuk..
link blog nya mas sudah saya pasang di
http://kang-adek.blogspot.com
terima kasih….

35. gendis - Januari 16, 2009

Yang lain ada namanya dengan wajar. iya yaa…Tempe itu siapa sih? Ini juga gak transparan namanya! Dasar MENTAL TEMPE!

36. Saut Situmorang - Januari 17, 2009
37. Artinoiky@yahoo.com - Januari 17, 2009

Hey Gendis tolol, jangan ikut2an sok-sok galak…terbawa-bawa gaya Saut disini, terus lu merasa keren? Dungu tolol, bilang nama orang laen gak wajar, siapa yang ngelarang pake nick palsu disini ha?…..lu aja ngasih link palsu…dasar idiot. Guoblog. Tempe itu nama aslinya Sulistyo Ardi W. anak seni rupa ISI angkatan 97, satu kantor sama gw sekarang. Gw gak mihak sapa2 disini. Gak ada urusan. Gak penting….tapi kalau ada yang “BERANI TERIAK KETIKA ADA YANG BERTERIAK LEBIH NYARING” itu pengecut yang sebenarnya. Dasar ingusan. Teruskan Tempe, teruskan bung Saut, saya yakin si tempe kriwil (btw, dia juga gimbal orangnya, tapi lebih tinggi dan kurus dibanding Bung Saut) akan balik nanti kalau ada waktu, atau katanya janjian ketemuan langsung….domisili Jogja wong iku.

38. gendis - Januari 17, 2009

Ohh, makasih udah dikenalin…kenapa emang orang gak boleh tahu? Gw tolol, dungu , guoblok (apa lagi?)… makanya gw pingin tahu, kenapa lo yg jadi sewot? Yg punya nama aja anteng! kalo lo bilang gak ada urusan ngapain lo yg sewot??? lo sendiri bilang gak penting, tapi teriak lo lebih nyaring dari yg merasa punya nama…Aneh banget nih orang…DENGER : Lo lebih gak penting buat gw! DEBAT MEREKA LEBIH PENTING KETIMBANG TERIAKAN ELU INI!!! Ayo dong, berikan fakta yang sebenarnya supaya yg tolol, dungu, guoblok bahkan yg buta sekalipun bisa jadi pinter dan tahu yang sebenarnya!

39. yunie jusri djalaluddin - Januari 18, 2009

Menurutku Pak GM, untuk menulis Palestina kini, tidak perlu dengan kerangka berpikir yang terlalu ribet, cukup dengan ‘seandainya kita sbg warga Palestina’.

Untuk caping kali ini ada yang lain… ketika bahasa menunjukkan bangsa, maka tutur kata yang baik tidak aku temukan disini…juga kebebasan yg bertanggung jawab.

Sbg orang awam, dan belum sepintar teman2, kali ini aku kecewa…sangat:)

40. Artinoiky - Januari 18, 2009

@Gendis
ooo….memang tolol, dungu, dan goblog ternyata 😀 …..terima kasih untuk berkata jujur. Masih aja latah niru-niru pake huruf besar segala….emang id***. Peace!

41. BasriHasan - Januari 18, 2009

@Yunie
Biasa, namanya juga anak muda… 😀

42. PRO GOENAWAN MOHAMAD - Januari 18, 2009

@ artinoiky
pernah denger kata “koplok”?
Kalo kepala kamu isinya cuma separo, trus ta’ guncang2, bunyinya bakal seperti itu.
Koplok, koplok, koplok
memang kenapa dengan almamatermu itu? Jangan2 bunyinya sama ama kepalamu…
Coba kamu bayangin kalo seandainya gendis seorang perempuan…

43. Saut Situmorang - Januari 18, 2009

hehehe…

artinoiky sayang
aku tunggu di jogja temanmu itu ya

aku ada di mana-mana kok di jogja, jadi gampang kalok mo ketemuan

hehehe…

oiya, gendis itu memang cewek loh! imut kayak namanya!!!

hehehe…

44. Saut Situmorang - Januari 18, 2009

hehehe…

yunie,
jangan liat penampilan superfisial bahasa komentar di sinilah sebagai semacam identitas mutu kebangsaan.

lebih baik dikau amatin isi dari bahasa yang kau anggap gak bener itu. mana yang lebih jujur orang memakai bahasa seadanya tapi isinya memang mencari kebenaran ketimbang yang pakek bahasa kromo inggil tapi nipu mulu!

kita gak perlu sok moralis dalam berbahasa asal bahasa yang dipakek itu cuman alat bukan tujuan kayak kebiasaan si Goenawan Mohamad dkknya di TUK itu!!!

hahaha…

dan apa sih “kebebasan yang bertanggungjawab” itu! kok jadi kayak Harmoko, kawan sesama “jurnalis” si Goenawan Mohamad itu!!!

kalok orang masih terpaku di tingkat kulit bahasa susah memang untuk beranjak ke dunia tafsir…

wah bahasa apa yang kau pakek ini, Saut Situmorang?!

hahaha…

45. Saut Situmorang - Januari 18, 2009

artinoiky sayang,

cobak baca kalimat kawanmu si tempe basi ini:

“Gak nyadar kalau diriny lebih norak….dasar gimbal bau.”

bukankah dikau bilang doi jugak gimbal toh!

wah berarti bau amat tempe basi kita ini ya!!!

hahaha…

46. Saut Situmorang - Januari 18, 2009

oiya, hehehe…”Tempe itu nama aslinya Sulistyo Ardi W. anak seni rupa ISI angkatan 97″ kan?

ntar awak tanyak dah ama anak-anak ISI Angkatan 97 yang masih ada di Jogja

hehehe…

47. PRO GOENAWAN MOHAMAD - Januari 19, 2009

Kalau Bang Saut berkenan, sudilah kiranya menulis satu atau dua bait puisinya di sini…saya yakin, baik pemilik blog atau pun pengunjung, akan mengapresiasikannya…

48. Putri - Januari 19, 2009

Yup, that’d be nice

49. Danar - Januari 19, 2009

Saya request: puisi tentang palestina!

50. morpan - Januari 19, 2009

woowww..tempe itu anak lukis, pantesan bosokkkkk

51. Saut Situmorang - Januari 20, 2009

aku gak tertarik nulis puisiki di blog goblok ini! sorry…

yang aku tertarik adalah kebenaran pernyataan Artinoiky tentang si Tempe basi itu!

hei, artinoiky pukimak, kalok kau memang punya maksud baik di sini kenapa kau menciptakan tokoh fiktif bernama Sulistyo Ardi W. anak seni rupa ISI angkatan 97! aku sudah cek banyak anak ISI tapi gak ada yang kenal Tempe basi ini! apa maksudmu? apa kau mau laga aku ama anak ISI Jogja?

namaku asli Saut Situmorang dan kalian para pengecut pukimak besar mulut di sini bisa cari aku dengan mudah di Jogja! gaya kalian intelektual, pake bahasa eufemisme ala kraton dan ngejek aku macam-macam ternyata kan cuman sekelompok taik kucing bencong yang cuman berani ngomong besar di internet!

ayoh dong ketemuan ama aku! di mana aja, hahaha…aku pengen kali laga kepala dan isi kepalaku ama kalian para pretensius yang bencong kayak bencong tulen itu! apa sih yang kalian harap dari seorang Goenawan Mohamad yang sebentar lagi akan mati itu!!!

eh Tempe basi, tunjukin dong jidatmu! oiya, aku akan ada di Jakarta tgl 30 Januari ini. gimana? kita ketemuan yuk! di TIM? ajarin dong kau sesuatu yang gak basi, yang gak norak!

apa elo terlalu banci ya untuk bertemu aku! ajak tuh kawanmu yang bernama norak asu artinoiky naskeleng itu!

kalok lo mo main gaya pseudo-intelektual kayak GM, aku akan layani. mau gaya preman Jawa taik kucing, aku layanin pakek gaya Medan kami. piye, jancuk???

hahaha…

I’m in the mood, babe!
come touch me, hahaha…

52. Saut Situmorang - Januari 20, 2009

ajarin AKU maksudku, tempe basi pukimak

hahaha…

bahasaku vulgar ya!
mampuslah kalian! emangnya kalian pantas dapat bahasa puitis dari aku Saut Situmorang, gila!!!

eh, tempe basi, aku tantang lagi kau!

ketemuan di Jakarta yuk dan kita bandingin gimbal siapa yang paling busuk kerna selalu dipakek melap-lap pantat Goenawan Mohamad!!!

hahaha…

dasar pukimak!!!

53. Saut Situmorang - Januari 20, 2009

DARI MANA DATANGNYA LINTA
DARI SAWAH TURUN KE KALI
DARI MANA DATANGNYA TIPU SASTRA
DARI TUK ITU PASTI !!!

hahaha…

54. Orang Utan-kayu - Januari 20, 2009

SAUT DAN SI ORANG UTAN

Dari dulu, lingkungan seni Jogjakarta penuh orang yang suka menepuk dada sendiri. Yang merasa penting di lingkungan sendiri. Orang yang suka ngomong gede. Dan merasa dirinya menarik di hadapan orang lain.
Yah, aku tahulah. Aku kan lahir di Jogja, dan nyemplung kelingkungan pergaulan kesenian Jogja sejak 1970an. Bergaul doang sih. Di kelompok Umbu Landu Paranggi dulu, aku juga nulis sajak. Sempat masuk Sabana, itu yang oleh Umbu digolongkan berkualitas nasional. Dan aku juga tahu betul gimana para pelukis Jogja. Aku kenal dengan beberapa anak Seni Rupa Baru yang kuliah di Gampingan.

Budaya gosip memang bagian dari kultur Jogja. Maksudku kultur
pergaulan seniman. Dan tampaknya ini pupuk yang bagus buat kreatifitas. Paling nggak memupuk persaingan. Dari dulu banyak yang ngomongnya gede, merasa dirinya burung merak. Kayaknya nggak ada yang lebih penting di dunia ini ketimbang diri mereka. Ini soal gaya lho. Lihat saja itu Rendra (Mas Willy), Motinggo Boesje, Umar Kayam, sampai anak-anak Persada di bidang sastra. Di bidang seni lukis ada Sudjojono, Nyoman Gunarsa, Gendut Riyanto, sampai anak-anak sekarang seperti Agung Kurniawan. Semuanya hobi manas-manasin orang.

Tapi soal gaya pribadi ini tak gawat-gawat amat sih. Ini kan warisan
dari kultur agraris juga. Raja-meraja. Biar mereka suka menepuk dada sendiri dan mengejek orang, yang penting buat aku gimana karya mereka. Begitu aku melihat karya yang bagus, kulupakanlah segala yang jelek tentang pribadi pembuatnya. (Terus terang saja, mereka yang gede kepala dan gede mulut itu, sering cuma nebeng hidup pada teman-teman, keluarga, bahkan istri sendiri. Mungkin dengan itu mereka bisa konsentrasi berkarya? Yo wislah, karya mereka bagus, jadi kulupakan kehidupan mereka yang miring itu.)

Nah, kurang lebih empat tahun yang lalu, laki-laki ini datang ke
Jogja. Dari gayanya, tampaknya dia oke. Bakal meneruskan kultur urakan Jogja. Dia sedikit tambun. Rambut gondrong dikucir. Sangar tapi sayu. Selalu bercelana pendek; alamak, terlalu pendek, panjangin dikit dong! Tampaknya dia penerus tradisi omong besar di Jogja. Boleh juga gayanya. Selalu terlihat minum bir. Malah di Biennale Jogja 2004 dia selalu menenteng botol bir ke sana ke mari. Cailah. Tampaknya dia ingin membawakan diri sebagai poete maudit. Kayak Baudelaire atau Chairil Anwar. Hmmm. Boleh juga. Namanya Saut Situmorang. Penyair, yaitu orang yang nulis puisi (semua yang nulis dan nerbitkan puisi boleh disebut penyair kan, biarpun puisinya jelek?). Dia orang Batak tentu. Tapi pindah dari Bali. (Baru belakangan aku tahu dia kenapa dia lari dari Bali. Tapi ini kurang pantaslah kalau dikisahkan di sini.)

Sebenarnya aku nggak terlalu peduli dengan dia. Aku lebih memperhatikan para pelukis (wuah, aku bosan dengan sastra, yang begitu-begitu melulu!). Di kalangan pelukis atawa perupa ini banyak yang lebih edan gayanya. Lihat saja itu Ugo Untoro, S. Teddy D, Bob Sick Yudhita, Agung Kurniawan, dan Samuel Indratma dan (dulu) Eddie Hara. Juga Agus Suwage yang pendiam itu, ternyata juga pemain gitar yang edan (eh, dia bisa ngoleksi gitar yang mahal-mahal dan punya studio musik lagi).
Dibanding mereka ini, gaya si Saut mah kagak ada apa-apanya.
Tapi Saut ini ada juga lainnya. Tenaganya untuk berselancar di mailing list (dan SMS) luar biasa. Dia bersemangat sekali menyerang lawan-lawannya di bidang sastra, terutama Orang Utan Kayu. Seakan-akan nggak ada yang lebih penting dipikirin di dunia ini ketimbang Orang Utan Kayu. (Aku heran, kenapa si Orang Utan kagak menjawab? Mungkin mereka cuma mesem-mesem saja. Sialan, ayo turun ke gelanggang dong. Biar rame. Kalian perlu juga sekali-kali jadi petinju!)

Nah, karena tembakan si Saut (dan kamerad-kameradnya yang menamakandiri gerombolan Boemi Poetera dan yang lain-lain juga) kagak berhenti, aku mulai memperhatikan dia. Ribut amat sih? Apa kagak ada hal-hal yang lebih penting? Kalau ada orang yang bersemangat berjuang begitu, tentu aku mulai penasaran, barangkali ada yang menarik dari mereka? Mungkin pikiran, mungkin karya, mungkin juga cita-cita perjuangan itu sendiri. Mungkin kultur Jogja sedang memberi alternatif terbaru?

Setelah membaca berbagai pernyaatan si Saut dalam beberapa bulan terakhir ini, aku mesti bilang, wah payah deh. Isinya kok maki-makian melulu. Nggak berkelas polemik. Cuma menunjukkan ketidakmatangan penulisnya. Heran aku, kenapa mereka kok menimpakan semua kesalahan (yang menyangkut karir sastra mereka) pada Orang Utan Kayu?

Yang aku heran adalah apa yang mereka sebut dominasi atau mafia
Orang Utan Kayu. Nggak jelas buat aku, apa itu dominasi, apalagi
mafia. Menyerang Orang Utan Kayu tanpa argumen yang cukup itu sih sama saja dengan mengganggap si Orang Utan penting. Dari dulu nggak berubah politik sastra kita ini. Nyerang Jassin kek, majalah Sastra kek, majalah Horison kek, yah tetap saja. Memperkuat otoritas pihak musuh karena serangan yang sembarangan. (Wah, jangan-jangan mereka nyerang karena nggak dimuat saja di koran-koran yang redakturnya kebetulan anggota Orang Utan?)

55. Orang Utan-kayu - Januari 20, 2009

(Yang buat aku aneh adalah koran kayak Media Indonesia [koran besar lho!] ikut nampung maki-makian itu. Aneh juga, sebuah koran besar bisa ikut mengamini dominasi Utan Kayu yang markasnya kecil dan nyelempit di Jakarta Timur itu. Wah mereka sudah kehilangan sense of proportion. Aku curiga jangan-jangan pak wartawan dan redaktur itu juga pingin dapat pengakuan tuh. Wah, Orang Utan kok dianggap serius!
Piye toh?)

Kembali ke si Saut. Dia ini tampaknya memang bapak spiritual dari
gerombolan lawan Orang Utan Kayu. Dia memang kelihatan lebih pinter dari gerombolan Boemi Poetera, yang modalnya cuma kemarahan plus ngomong kosoooong doang (mereka bikin jurnal, tapi kagak ngerti tuh apa bedanya jurnal dengan selebaran, jangan-jangan mereka kagak ngerti tuh apa bedanya buruh dengan buruh). Si Saut ini memang kayaknya membaca banyak, dan aku cukup kagum juga dengan name dropping dalam berbagai risalah-nya. Biasalah, di negeri bekas jajahan ini, yang ngaku intelektual nggak pede tuh kalau nggak nyantol ke nama-nama impor.

Ada yang mendasar dalam tulisannya? Nggak ada. Ya cuma maki-makian itu tadi. Dia mungkin mencari Bapak Literer yang mau mengakuinya Anak, tapi juga dia mau membunuh si Bapak. Mungkin sastra Indonesia dianggapnya Ibu yang bisa dia kawini. Tapi sastra ngindonesia ini ternyata bukan Bapak dan Ibu. Aku sudah biasa dengan nalar kayak gini. Dulu anak-anak Persada ingin membunuh Umbu, Pengadilan Puisi kepingin membunuh Jassin dan Horison, dan Gerakan Desember Hitam mau membunuh Seni Lukis Nasional Indonesia (via Dewan Kesenian Jakarta). Capek deh! Kagak
brenti juga gini hari!

Tuan Saut ini secara luar bia(n)asa menggabungkan istilah-istilah
teori sastra mutakhir dengan makin-makian. Yah, hasilnya cuma uneg-uneg saja. Lebih banyak gosip. (Saya sih lebih suka pikiran yang langsung,
kagak pake name dropping). Bahkan dia lebih banyak salah-persepsi dan salah-baca. Misalnya ketika dia mengatakan (kurang lebih, kepada Budiman Manneke) bahwa jurnal Boemi Poetera bergaya Dada kayak di Eropa awal abad 20. Wah, ini ngawur bah! Dia kira kita kagak ngarti tuh sejarah seni modern.

Kalau dia betul-betul paham, maka yang bergaya Dada itu bukan Boemi Poetera. Yang Dada(istik) itu Puisi Mbeling Remy di majalah Aktuil 1970an, dan mungkin Pengadilan Puisi Indonesia 1974. Meledek establishment tapi juga kocak dan penuh ironi terhadap diri sendiri.Itu baru gerakan dari orang yang bisa nulis. Kalau anak-anak BoemiPoetera sih masih harus belajar nulis dan belajar berpolitik. Sori. (Mas Wowok Hesti, kudengar anda anggota PDIP, tapi kok kiprah anda mirip FPI sih! Belajar ke Taufik Kiemas dan Pramono Anung, dong!)

Tadinya sih kukira si Saut ini berbakat nulis esai. Kayaknya provokatif. Ternyata dalam 2-3 bulan ini ketahuan sebenarnya dia cuma ngobral snobisme saja. Cuma obrolan warung kopi yang berbentuk tertulis saja. Gosip. Dan yang lebih penting, dia nggak pernah menghormati lawannya. Buat dia, lawan polemik itu juga lawan yang harus dihabisi.
Lihat saja misalnya balasan dia ke Fadjroel Rachman dan Budiman
Manneke). Sama sekali nggak bergaya Dada(isme). Tapi gaya serdadu Uganda! Kalau mau berpikir jangan kalap dong, Pak. Anda kan sudah lama meninggalkan tangsi. Jauh-jauh sekolah ke Negeri Biri-biri lagi.

Nah, sekarang aku ke soal lingkungan pergaulan di Jogja. Si Saut ini,
kalau menyerang lawan-lawannya, dia menyerang pribadi. Tapi dia rabun dekat. Sori aku terpaksa rada pribadi nih. Dia menyerang (memaki!)establishment, tapi sori ya, dia itu juga ngenger pada establishment yang lain, yang lebih kongkrit. Namanya (keluarga) Agus Suwage dan (keluarga) Made Wianta (dulu di Bali). Aku sih sebenarnya nggak punya masalah dengan ini. Cuma aku keberatan kalau gaya sepenaknya dia itu disebut gaya Jogja. Jogja itu biarpun ngeledek, mengumpat, masih punya martabatlah. Kagak numpang tapi ngaku mandiri.

Terhadap establishment seni rupa itu dia tunduk habis-habisan. Soalnya dia hidup dari situ. Paling nggak numpang ngebir-lah. Berbotol-botol. Hampir tiap malam. Atau dia jadi penerjemah katalog seni rupa. (Oh ya, aku sempat membaca terjemahan dia di katalog Agus Suwage di Nadi Gallery. Aduh, jelek banget terjemahannya. Sori.) Gajah di pelupuk mata tak tampak. Yang tampak adalah kuman di seberang, namanya Orang Utan Kayu. Ayo Bung, ganyang juga dong establishment seni rupa. Mereka
itulah yang sadar nyemplung ke kapitalisme internasional. Tapi kan Bung nggak brani, karena dengan duit mereka Bung bisa mabuk bir tiap malam? Tadi kubilang bahwa aku akan memaafkan kelakuan pribadi seniman kalau karyanya bagus. Nah gimana karya Saut Situmorang ini? Kubaca-baca lagi. Karya yang kayak beginian ini (misalnya saut kecil bicara dengan tuhan) dulu banyak ditulis teman-temanku di Pelopor Yogya tahun 1970an. Misalnya Darwis Khudori, Mustofa W. Hasyim, Suripto Harsah, RS Rudhatan, Bambang Darto, juga Umbu sendiri.) Tapi karya teman-temankuitu (ingat 1970an) jauh lebih baik. Saut itu penyair romantik (kayak teman-temanku), tapi kok telat banget ya. (Dia kan ngerti posmo, mestinya pake pastiche dong, paling nggak berjaraklah dari yang romantik.) Dia orang Sumatra, tapi kok bahasanya lebih miskin ketimbang para penyair Jawa. (Wah ini, bukan rasisme lho, aku cuma ingat Sitor,
yang betul-betul tahu bagaimana mewarisi Batak dan Melayu.)
Jadi ujung-ujungnya, Saut itu bukan tokoh sastra. Nulis karya sastra
dan pikiran sastra, tapi baru setaraf ngomong doang. Padahal umurnya sih sudah kepala empat. Sebagai orang Jogja, aku tersinggung berat. Apa dia harus di-persona-non-grata-kan? Nggak usah deh. Biar aja dia aman di lindungan rumah Agus Suwage. Jogja itu pemurah kok. Selalu begitu. Kita lindungi dia sampai dia mampu membuktikan mutunya sendiri. Atau ya memang dia cuma segitu. Tapi jangan menggali kuburan sendiri dong.

56. Panembahan Senopati - Januari 20, 2009

To Orang Utan Kayu:
Meskipun tulisan Anda panjang dan seolah-olah mencerminkan kapasitas Anda sebagai “seseorang” yang tahu dan mengalami banyak hal dalam khazanah Sastra (indonesia), rasanya Anda terperangkap dalam kata-kata dan logika yang Anda bangun sendiri. Anda memutar jalan terlalu jauh hanya untuk “mengadili” dan “menggugat” Saut Situmorang di sini, dengan cara Anda yang–juga–kurang elegan. Siapa Anda? Beranikah Anda menampilkan identitas Anda untuk–mungkin–saya berikan juga “semacam review” atas kiprah dan karya-karya Anda seperti yang Anda lakukan terhadap Saut Situmorang. Tidak semua karya GM baik, juga tidak semua krya Saut baik. Pasti. Kita sama-sama tahu itu. Tapi yang saya amati selama ini, serangan Saut tidak menitikberatkan pada sisi sebuah “karya” an sich tetapi juga “apa di (se)balik karya” itu dan “apa setelah karya itu”? Saya pikir, Saut sedang mengajarkan pada kita semua bagaimana membaca sebuah karya dengan kritis, dan tidak silau dulu pada nama-nama, atribut-atribut. Itu yang menarik. Terlepas dari semua “ketidaksopanan”, “hinaan”, “sarkasme”, atau apapun yang melekat pada “style” Saut–setidaknya–dia mengajarkan kita (saya) bahwa betapa pentingnya “dunia di balik karya”, “karya itu sendiri”, dan “dunia setelah karya” sebagai suatu kesatuan koheren yang saling berkelindan satu sama lain.
Saya bukan pembela Saut, saya tidak di posisi Teater Utan Kayu. Saya berdiri untuk cara pandang saya sendiri.
Sementara ini, saya tidak menyebutkan identitas. Kecuali Anda semua menyebutkan identitas Anda juga. Menerik juga bicara di balik tirai seperti ini. 🙂 Rasanya jauh lebih menarik jika suatu saat kita duduk bersama; Anda, Saut, dan mungkin saya. Kita bicara apa saja, dengan “style” masing-masing kita saja.

Salam.

57. Zaki - Januari 20, 2009

FAKTA :

Saut dengan bangganya membawa image Sumatera, khususnya Medan.

Orang Utan Kayu juga dengan gaya khas dan sedemikian rupa (mungkin inilah gaya pamungkas dari seseorang yang kelamaan diam) dengan bangganya membawa2 Jogya dan Jawa.

Secara gamblang bisa kita bilang bahwa primordialisme ternyata juga telah merambah dunia sastra Indonesia. Lebih jauh bisa dikatakan bahwa dikotomi dengan sangat subur tumbuh di Indonesia dalam bidang apapun. Seorang ahli psikologi dengan mudah bisa menarik kesimpulan tentang pesan apa yang ada di balik fenomena seperti ini.

Fenomena ini sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu. Orang2 sastra di Indonesia, diakui atau tidak, hampir semuanya adalah terdiri dari orang2 yang lelah, putus asa, problematis, traumatic, haus pengakuan, miskin secara ekonomi, terpinggirkan oleh hal2 yang mereka anggap remeh seperti dangdut dan sinetron. Celakanya, gambaran ini adalah miniatur dari kondisi bangsa ini pada bidang2 lainnya. Mereka berjibaku mempertahankan hal2 yang nisbi dan sublim (kata yang sering digunakan GM). Padahal Budi Darma sendiri pernah bilang bahwa dunia sastra adalah sebuah dunia jungkir balik, bahkan tergambar dalam polemik di Amerika sekalipun, seperti yang menimpa John Milton dan TS Elliot. Apa boleh buat, harus diakui, bangsa ini masih bermental branded, jadi tak ada salahnya saya sematkan 2 nama itu di sini. Kalau untuk domestik juga ada sebenarnya, seperti tentang Novel Ziarah Iwan Simatupang yang dianggap lucu oleh Sapardi, sementara HB Jassin membelanya mati2an. Begitu juga kasus Saman Ayu Utami.

Ujung2nya dengan malu harus di akui bahwa polemik sastra Indonesia masa kini adalah satu kelas, hanya beda rangking, dengan debat kusir diwarung kopi. Beda rangkin itupun hanya disebabkan oleh 1 nilai tambah berupa banyaknya istilah asing dan absurd serta kombinasi yang aneh antara kata tersebut, yang berseliweran dalam berbagai polemik, baik di koran atau majalah. Dan kalau kita lihat dari berhamburannya kata kotor dan sinis dalam forum ini, harus diakui kentalnya nuansa intrik, iri dan dengki.

Memang kasihan, inilah nasib dari bangsa yang sedang berkembang.

58. Ibra - Januari 21, 2009

Komentar gw ga masuk2 dari 4 hari yang lalu! Tae lah!
Ga mungkin saut yang ada di sini bisa bikin puisi sebagus itu!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Eh kebalik, gak mungkin saut yang nulis puisi itu bisa setolol ini!!!!!!!!!!!!!
Kalian semua tertipu!!!!!!
Jebakannya adalah KARENA DIA BUKAN JEBAKAN!!!!!!
GILA ngga tuh yang bisa bawa tu ide ke bentuk tulisan!!!!!
Kalian semua ketipu!!!! Yang cuma mikir sekali itu pasti ketipu!!! Gila !!!
Panembahan senopati itu juga ketipu! Tipuannya adalah karena itu bukan “tipuan”!!!!!!!
PEMBOHONG, PENIPU!!! MONYET!!!!!! Cuma yang bego yang ga tau apa yang terjadi
BATAK ITU LUMAYAN JUGA TERNYATA
Dia mbohongi banyak orang
Kenapa ngga aku tamatin baca buku saut ini dari dulu!!!!!!

59. Ibra - Januari 21, 2009

Saut dan orang utan itu fiksi

Saut yang asli adalah Saut yang nulis bagus dan ngga diperhatiin pemegang hegemoni sastra Indonesia

Masak mesti orang ekonomi yang nafsirin sih!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

60. Ibra - Januari 21, 2009

SANG PENGARANG TELAH MATI

61. nazdan meuraxa - Januari 21, 2009

jadi kawan-kawan, bagaimana dengan duka palestina?

62. bambang - Januari 21, 2009

bung ibra ngasih ending yang keren…

========
jadi penasaran bukunya bung saut

63. Quadrix - Januari 21, 2009

@orang utan-kayu
Basi. Itu tulisan Radityo Djadjoeri lebih setaun yg lalu.
http://www.opensubscriber.com/message/mediacare@yahoogroups.com/7670128.html
Siapa yg copypaste kita gak tau (saya yakin bukan Radit sendiri)Siapa yg gonta-ganti nick padahal orangnya itu-itu aja kita gak tau (gampang dicari tau sebenarnya..apalagi mas Anic yg tau IP nya 😛 )Saya cuma buruh digital yang merasa terhibur dengan bacaan2 keren di atas. Pukimak, jancok, apalagi?haha..hanya disini saya bisa ketawa mendengarnya 😀 .Bung Saut…kalau ketemu langsung bisa gak disangka-sangka lo….tertawa dengan tawa khasnya yg menggelegar…sambil nyalamin dan berkata “Ini lo…musuh bebuyutan saya di milis…hahaha….gimana kabarnya bro!!!”…lalu ngopi (atau ngebir?) sambil bergosip ria..dan ini bukan fiksi. Kasihanlah orang2 yg panas wajah dan jantung berdebar-debar ketika membacanya…hahaha.

64. Ibra - Januari 21, 2009

Kenapa ngga sekalian dicopypaste-in esai aku yang setaun lalu itu? Toh kalian tidak akan mendapatiku dengan kepentingan2 terselubung….kalian akan tetap mendapatiku sebagai Ibra “Si Peminta Tanda tangan GM”

65. anick - Januari 21, 2009

@ Sekedar informasi….

Yang jelas, IP Address Saut, Orang Utan, Panembahan Senopati, sangat berbeda. Mereka masing-masing berjarak ratusan kilometer.

66. Quadrix - Januari 21, 2009

ups..bang Anick dateng…..jgn2 ntar GM juga… 😀
@Ibra
Minta dong esainya…atau taruh disini. Googling gak ketemu2. Apa sih judulnya?. Serius neh bang.

67. Ibra - Januari 21, 2009

Sori, saya ngga bisa
sori ya….

68. Saut Situmorang - Januari 21, 2009

nota bene:

apakah Jaringan “Islam” Liberal dan Goenawan Mohamad-nya termasuk Kaum “Orientalis Pribumi” ini? siapakah yang mengundang “Irshad Manji” yang mereka puji-puji sebagai “Feminis Muslim Sejati” itu ke Indonesia tempohari?

hahaha…

=============

CounterPunch, May 9, 2006

The Native Orientalists:
The Muslims America Loves

By M. SHAHID ALAM

Being a Muslim today–in the middle of America’s ‘war against global terrorism’–carries some new hazards. But it is not without its bright side for a few Muslims who are eager to profit from this war.

Muslims need little tutoring in the hazards they now face. Many tens of thousands are already dead in wars imposed by the United States–on Iraq and Afghanistan. The death toll is expected to climb, perhaps steeply, as these wars are carried to Iran, Syria or Pakistan. Iranians also face the prospect–perhaps, imminent–of incineration in nuclear strikes.

Death or dislocation in wars are not the only hazards that confront Muslims. In principle, any Muslim can also become the object of ‘extraordinary renditions.’ No matter where they happen to be, they could be kidnapped by the CIA, hooded, and transported to secret offshore US prisons, or delivered into the hands of US-friendly regimes with expertise in the fine arts of interrogation. No one knows how many Muslims have suffered this cruel fate–or how many of them are still alive.

By comparison, Muslims who are captured or bought, and imprisoned in Guantanamo as ‘enemy combatants,’ are lucky. After facing down several legal challenges to these detentions, the US now brings these prisoners before military review boards. Although many of them have been cleared of any terrorist connections, it is quite touching that the US is now refusing to release them–it says–because they could be tortured by their own governments. The prisoners can now thank the US for offering sanctuary.

In fairness, America’s ‘war against global terrorism’ has also created a few hard-to-resist opportunities. The chief beneficiaries of the new US posture are the Muslim rulers eager to get the US more firmly behind the wars they have been waging against their own people. They are happy to torture Muslims ‘rendered’ to them by the CIA, and, periodically, they capture their own ‘terrorists’ and put them on flights to Guantanamo.

The ‘war against global terrorism’ is also a war of ideas. In order to defeat the ‘terrorists’ the US must win the hearts and minds of Muslims. This is where Muslims can help. The US needs a few ‘good’ Muslims to persuade the ‘bad’ ones to reform their religion, to learn to appreciate the inestimable benefits of Pax America and Pax Israelica.

In the heyday of the old colonialism, the white man did not need any help from the natives in putting down their religion and culture. Indeed, he preferred to do it himself. Then, the opinion of the natives carried little weight with the whites anyway. So why bother to recruit them to denounce their own people. As a result, Orientalists wrote countless tomes denigrating the cultures of the lesser breeds.

Today the West needs help in putting down the uppity natives–especially the Muslims. One reason for this is that with the death of the old colonialism, some natives have begun to talk for themselves. A few are even talking back at the Orientalists raising all sorts of uncomfortable questions. This hasn’t been good: and something had to be done about it. In the 1970s the West began to patronize ‘natives’ who were deft at putting down their own people. Was the West losing its confidence?

The demand for ‘native’ Orientalists was strong. The pay for such turncoats was good too. Soon a whole crop of native Orientalists arrived on the scene. Perhaps, the most distinguished members of this coterie include Nirad Chaudhuri, V. S. Naipaul, Fouad Ajami and Salman Rushdi. They are some of the best loved natives in the West.

Then there came the ‘war against global terrorism’ creating an instant boom in the market for Orientalists of Muslim vintage. The West now demanded Muslims who would diagnose their own problems as the West wanted to see them–as the unavoidable failings of their religion and culture. The West now demanded Muslims who would range themselves against their own people–who would denounce the just struggles of their own people as moral aberrations, as symptoms of a sick society.

So far these boom conditions have not evoked a copious supply of Muslim Orientalists. Irshad Manji has made herself the most visible na-tive Orientalist by cravenly playing to Western and Zionist demands for demonizing Muslims and Palestinians. I can think of a few others, but they have little to recommend themselves other than their mediocrity. This must be a bit disappointing for those who had pinned their hopes on using Muslim defectors to win the battle for Muslim hearts and minds.

There are some indications that this disappointment is turning to desperation. On March 11 the New York Times published a front page story on Dr. Wafa Sultan, “a largely unknown Syrian-American psychiatrist, nursing a deep anger and despair about her fellow Muslims.” Deep anger and despair at fellow Muslims? Are these the new qualifications for Muslims to gain visibility in America’s most prestigious newspaper?

If the only Muslims that the United States can recruit in its battle for ideas are at best mediocrities or worse–nobodies–what chance is there that it can win the battle for Muslim hearts and minds? The short answer is: very little. Muslims are not helpless children. You cannot molest them and then expect to mollify them with trifles and protestations of pure intentions. That may have worked for a while. It will not work for ever.

Muslims are too large and too dense a mass to be moved by wars. Military might could not break the spirit of Palestinians, Afghans, Bosnians, Chechens, Lebanese, Moros and Iraqis. What chance is there that wars will be more effective if applied against larger masses of Muslims?

The United States cannot expect to change Muslims unless it first thinks seriously about changing its policies towards Muslims. Americans must stop deluding themselves. Muslims do not hate their freedom: they only want that freedom for themselves. The United States and Israel seek to build their power over a mass of prostrate Muslim bodies. Stop doing that and then you will have a chance to win Muslim hearts and minds.

M. Shahid Alam is professor economics at a university in Boston. He may be reached at alqalam02760@yahoo.com.

69. Saut Situmorang - Januari 21, 2009

hehehe…

orang utan kayu di atas yang memang adalah radityo djadjoeri keponakan goenawan mohamad itu memang asyik, hehehe…

kalok soal adu-domba antara seniman Indonesia waah doi rajanya! kalok dia berani ngomong soal relasi saut dengan agus suwage dan made wianta BUKAN di dunia jelangkung kayak cyberia ini, hm…barulah awak akan mencium sepatunya yang pasti sangat bau busuk itu, hahaha…

dulu emailnya penyair Jogja Joko Pinurbo dia kerjain hingga Joko yang akrab dipanggil Jokpin itu dihubungi banyak orang untuk konfirmasi, dan ternyata memang BUKAN si Jokpin yang asli ini. gitu jugak emailnya perupa Bandung bernama “Andar Manik” yang dia sendiri pasti kagak kenal, hahaha… yang hebat lagi dia pernah memakai identitas seorang seniman tua Jogja yang ternyata udah meninggal dunia!!! radityo memang ketua MAKI tokcer, Mafia Kejahatan Internet!!!

eh, radityo sayang
kalok dikau memang punya sesuatu yang agak menarik untuk diobral ke orang-orang Indonesia, ayoh dong kita ketemuan di darat. di mana aja elo yang nentuin dah, aku akan datang. piye, sayang? ato di rumah Oom goenawean mohamad mu itu aza, di Salaharah, eh salah, di Salehara, eh salah lagi kok saleh sih antek-antek Zionis n amrik, hahaha…

kalok cuman copy n paste dari internet info tentang “who’s who” dunia seni Indonesia yang elo mampu yah mbok tau dirilah. pembaca bisa menaksir mutu isi kepalamu kok dari kemampuanmu membuat kalimat, hahaha…

tuh liat, dari dulu Saut Situmorang gak pernah pakek nama n email palsu. fotonya yang rasta keren itu pun asli. gak kayak elolah, hahaha… eh nenekmoyang kalian dulu dosanya apa seh sampek punya keturunan yang memalukan kayak elo ini, uups!!!

HAHAHA…

70. Saut Situmorang - Januari 21, 2009

[dikomentarin dong, Radityo. hahaha…)

Tradisi dan Bakat Individu

oleh Saut Situmorang*

Seorang komentator sastra dari Jakarta, Nirwan Dewanto, pernah membuat pernyataan asersif bahwa novelis Ayu Utami tidak terlahir dari sejarah sastra Indonesia. Latar-belakang pembuatan klaim ini, mudah kita duga, adalah reaksi luar biasa yang timbul dalam sastra Indonesia setelah publikasi novel pertama Ayu, Saman, dari kalangan “kritikus” sastra di Indonesia, yang dalam komentar mereka rata-rata memakai istilah-istilah superlatif seperti “dahsyat”, “kata-kata…bercahaya seperti kristal”, “tak ada novel yang sekaya novel ini”, “superb, splendid”, dan “susah ditandingi penulis-penulis muda sekarang”, dalam mempromosikan apa yang mereka anggap sebagai “pencapaian” artistik Saman, seperti yang dicantumkan pada blurb di sampul belakang novel tersebut. Klaim-klaim asersif semacam ini memang cukup sering kita temui dalam sastra Indonesia kontemporer karena apa yang dianggap sebagai “kritik” sastra itu rata-rata cuma sekedar esei-lepas-semi-resensi di koran-koran belaka. Kritik jurnalistik semacam ini bisa begitu mendominasi, bahkan sampai saat ini, karena posisi koran memang sudah menggantikan posisi majalah atau jurnal sastra sebagai media penulisan studi sastra yang kritis. Ruang kolom koran yang terbatas telah “membebaskan” seorang “kritikus” sastra untuk tidak harus bertanggungjawab membuktikan/mengelaborasi isi pernyataannya semendetil kalau dia menulis di sebuah majalah atau jurnal sastra.

Untuk menanggapi klaim Nirwan Dewanto di atas maka isu yang ingin saya persoalkan dalam esei ini adalah: Mungkinkah seorang sastrawan tidak terlahir dari sejarah sastra nasionalnya sendiri sementara dia memakai bahasa nasionalnya sebagai media ekspresi sastranya? Bisakah seorang sastrawan memasabodohkan sejarah sastra nasionalnya sendiri? Kalau benar Ayu Utami terlahir bukan dari sejarah sastra Indonesia, lantas dari mana dia berasal? Dan kenapa dia (masih menganggap perlu) menulis dalam bahasa Indonesia yang merupakan bahasa ekspresi dari sastra Indonesia itu, bukan dalam bahasa Inggris misalnya?

Dalam sejarah sastra Indonesia rasanya tidak berlebihan kalau saya mengklaim Chairil Anwar adalah bapak puisi modern dalam bahasa Indonesia. Reputasi Chairil ini didapatnya bukan semata-mata karena apa yang dilakukan oleh sang paus sastra Indonesia HB Jassin terhadapnya, seperti yang umum diyakini di kalangan sastrawan Indonesia, tapi karena besarnya pengaruh Chairil atas para penyair yang menjadi penyair setelah dia. Dengan memakai konsep pengaruh intertekstual kritikus Dekonstruksionis Amerika Harold Bloom maka bisa dilihat betapa the anxiety of influence yang ditimbulkan puisi Chairil atas para penyair sesudahnya – yang mencapai klimaks resistensi tekstual pada apa yang disebut sebagai puisi-mantra Sutardji Calzoum Bachri itu – memiliki arti yang jauh lebih signifikan, menurut saya, ketimbang pernyataan-pernyataan mitologis Jassin, dalam membentuk reputasi Chairil sebagai pencipta puisi modern Indonesia.

Sudah berabad-abad para kritikus dan sejarawan sastra di Barat membahas apa yang disebut sebagai “pengaruh” seorang sastrawan atau tradisi sastra atas sastrawan sesudahnya, yang dianggap mengadopsi, dan pada saat yang sama merubah, aspek-aspek dari tema, bentuk, atau gaya dari penulis sebelumnya. “Kecemasan (atas) pengaruh” atau “the anxiety of influence” merupakan sebuah istilah yang dipakai Harold Bloom untuk teori yang diciptakannya yang merevisi secara radikal teori lama di atas yang menganggap pengaruh hanya terjadi sebagai sebuah “peminjaman” langsung, atau asimilasi, dari material dan unsur-unsur penting sastrawan sebelumnya. Bagi Bloom, dalam penciptaan sebuah puisi, pengaruh tak mungkin dielakkan, tapi pengaruh tersebut menimbulkan dalam diri penyairnya sebuah kecemasan yang memaksanya untuk membuat distorsi drastis atas karya pendahulunya itu. Seorang penyair tergerak untuk menulis puisi setelah imajinasinya terpesona oleh puisi “pendahulu”nya. Tapi reaksinya atas pendahulunya itu ambivalen, mirip dengan hubungan Oedipal antara anak laki-laki dengan bapaknya dalam teori psikoanalisis Sigmund Freud: bukan hanya rasa pesona yang timbul tapi juga (karena seorang penyair yang kuat memiliki keinginan besar untuk bebas dan orisinal) rasa benci, cemburu, dan takut atas penguasaan ruang imajinatifnya oleh pendahulunya tersebut. Karena itulah dia membaca puisi pendahulunya secara “bela diri” sehingga mendistorsinya sampai tak dikenalinya lagi. Meskipun demikian tetap saja “puisi-induk” (parent-poem) yang sudah terdistorsi itu terkandung dalam puisi yang kemudian dituliskannya itu. Apa yang paling mungkin dicapai oleh seorang penyair terbaik sekalipun adalah menulis puisi yang begitu “kuat” sehingga menimbulkan efek ilusi “prioritas”, yaitu sebuah ilusi ganda bahwa puisinya sudah mendahului puisi pendahulunya itu dalam waktu, dan sudah melampauinya dalam kebesarannya. Menurut Bloom lagi, konsep “kecemasan pengaruh” ini tidak hanya terjadi pada sastrawan saja tapi juga pada para pembaca sastra. Dalam konteks inilah, meminjam istilah Sapardi Djoko Damono waktu memuji Saman Ayu Utami, sepanjang pengetahuan saya belum ada pengarang lain di Indonesia, baik sebelum maupun sesudah Chairil, yang memiliki efek-sejarah (kreatif maupun biografis), atau “kecemasan pengaruh”, atas sesama pengarang seperti yang disebabkan oleh Chairil.
Berdasarkan alasan historis-tekstual tentang Chairil sebagai pencipta puisi modern Indonesia, paling tidak bagi para penyair sesudahnya, seperti yang saya tuliskan di atas, lantas apakah kita bisa mengklaim bahwa Chairil tidak terlahir dari sejarah sastra “berbahasa Indonesia”? Sudah banyak tulisan yang membuktikan, dan susah untuk dibantah, betapa kuatnya pengaruh puisi Barat pada puisi Chairil, yang diterimanya lewat pendidikan dan terutama bacaannya. Juga terjemahan yang dilakukannya atas karya sastra Barat – baik puisi, cerpen, maupun surat pribadi, dan dari berbagai latar-bahasa – misalnya, merupakan salah satu bukti akrabnya dia dengan dunia sastra tersebut. Keakrabannya yang intens dengan sastra Barat ini malah sampai membuat dia pernah dianggap sebagai plagiator satu-dua puisi penyair Barat, atau puisinya dianggap bukan ditulis untuk pembaca Indonesia karena idiom-idiomnya yang kebarat-baratan seperti yang pernah dinyatakan Subagio Sastrowardoyo. Terlepas dari tuduhan-tuduhan yang saya pikir lebih bersifat cemburu-antar-sesama-seniman ketimbang studi komparatif sastra itu, intensitas pergaulan Chairil dengan dunia sastra Barat tersebut apakah lantas membuat dia (pernah) diklaim sebagai terlahir bukan dari sastra Indonesia yang cuma beberapa tahun saja usianya waktu dia hidup sebagai “binatang jalang” itu? Sepanjang pengetahuan saya belum ada yang pernah mengklaim Chairil Anwar tidak terlahir dari sastra Indonesia seperti Nirwan Dewanto mengklaim Ayu Utami, bahkan tidak oleh Subagio Sastrowardoyo sekalipun.

Bagaimanapun intensnya pengaruh puisi Barat pada puisi Chairil, kita tetap tidak bisa menutup mata pada kemungkinan bahwa Chairil pun tidak akan terlepas dari persoalan “kecemasan pengaruh” dari penyair Indonesia sebelum dia, atau dari puitika tradisional dalam khazanah sastra lokal yang ada. Adanya relasi intertekstual antara puisi Chairil dan puisi Amir Hamzah, misalnya, pernah dibuktikan dengan sangat baik oleh peneliti sastra Indonesia Sylvia Tiwon dalam eseinya yang berjudul “Ordinary Songs: Chairil Anwar and Traditional Poetics” di majalah Indonesia Circle, No 58, June 92, terbitan School of Oriental and African Studies, London, Inggris. Dengan membaca Chairil dalam konteks “puitika tradisional” Pujangga Baru yang direpresentasikan oleh Amir Hamzah, Tiwon berhasil menunjukkan betapa besar “hutang” Chairil pada Amir Hamzah dalam beberapa sajaknya yang terkenal, seperti “Jangan Kita di Sini Berhenti”, “Sia-sia”, “Sajak Putih”, dan terutama pada “Sorga” dan “Di Mesjid”. Bukti-bukti pergumulan Chairil dengan puitika tradisional dari khazanah sastra lokal yang begitu banyak terdapat pada puisinya yang dianggap “kebarat-baratan” itu (pengucapan Pantun pada puisinya, misalnya), seperti yang ditunjukkan Sylvia Tiwon tersebut, tidak bisa disepelekan begitu saja, demi sebuah resepsi yang lebih kritis atas puisinya, ketimbang sekedar daur-ulang mitos binatang jalangnya yang masih terus dilakukan para “kritikus” sastra di Indonesia sampai sekarang. Dan juga untuk menghindari euforia pembuatan klaim-klaim bombastis yang tak sanggup dibuktikan seperti pada kasus Ayu Utami di atas, yang pada dasarnya hanya bertujuan untuk membuat mitologi-mitologi dalam sastra Indonesia, dan yang pada akhirnya cuma menghambat kemajuan pemikiran kritis dalam sastra kontemporer kita.

Penyair Inggris asal Amerika TS Eliot pernah menyatakan dalam sebuah eseinya yang terkenal tentang pentingnya bagi seorang pengarang untuk menyadari posisinya dalam sejarah sastranya, “Tradition and Individual Talent” (1919), bahwa “Tak ada penyair, tak ada seniman dalam bidang apapun, yang memiliki maknanya sendiri. Penting tidaknya dia, apresiasi atasnya, dilihat berdasarkan relasinya dengan para penyair dan seniman yang sudah mati. Kita tidak bisa menilainya hanya berdasarkan dirinya sendiri; kita mesti menempatkannya, untuk kontras dan perbandingan, di antara yang sudah mati. Ini adalah prinsip kritik estetik, tidak sekedar kritik historis”. Karena, disukainya atau tidak, seorang penyair/seniman itu akan dinilai berdasarkan ukuran-ukuran standar dari masa yang sudah lewat, bukan yang akan datang. Dan penyair yang menyadari ini akan sadar pula betapa besar kesukaran dan tanggung-jawab sejarah yang dipikulnya sebagai sastrawan sastra nasionalnya. Ini menunjukkan juga bahwa sejarah sastra, atau tradisi, itu adalah sebuah organisme hidup, dinamis, dan berkembang.

Konsep Eliot ini sangat mirip dengan konsep “intertekstualitas” dalam teori pascastrukturalis Prancis. “Intertekstualitas” adalah konsep yang diperkenalkan oleh pemikir Feminis Prancis Julia Kristeva berdasarkan konsep-konsep teoritikus Marxis Rusia Mikhail Bakhtin tentang beragamnya suara sebuah teks: polifoni, dialogisme, dan heteroglosia. Menurut Kristeva, intertekstualitas adalah pluralitas teks yang tak tereduksi di dalam dan di balik setiap teks, di mana fokus pembicaraan tidak lagi pada subjek (pengarang) tapi pada produktivitas tekstual. Bersama rekan-rekannya penulis dan kritikus di majalah sastra Tel Quel di akhir 1960an dan awal 1970an, Kristeva gencar melakukan kritik atas konsep “subjek pembuat” (the founding subject) yaitu konsep humanis tentang pengarang sebagai sumber-asli-dan-asal dari makna-tetap dan makna-fetish dalam sebuah teks. Bagi Kristeva, setiap teks dari awalnya sudah berada di bawah jurisdiksi wacana-wacana lainnya yang memaksakan sebuah “universe of discourse” atasnya. Dan ketimbang memusatkan perhatian pada struktur teks, kita mestinya mengkaji “strukturasinya”, yaitu bagaimana proses struktur menjadi ada, dengan antara lain menempatkan teks di dalam totalitas teks-teks sebelumnya sebagai sebuah “tranformasi”. Menurut Kristeva, ada dua aksis teks, yaitu aksis horisontal yang menghubungkan pengarang dan pembaca teks, dan aksis vertikal yang menghubungkan teks dengan teks(-teks) lainnya. Yang menyatukan kedua aksis ini adalah “kode”, alat interpretasi (interpretative devices) konvensional, sebuah framework yang memungkinkan tanda untuk memiliki makna, yang sama-sama dimiliki oleh kedua aksis tersebut. Sebuah teks dan sebuah pembacaan selalu tergantung pada kode-kode yang ada.

Setiap teks adalah sebuah penulisan kembali atas teks-teks lainnya. Tak ada teks yang tidak memiliki interteksnya. Sebuah teks tak dapat berfungsi dalam kesendiriannya, terkucil dari teks-teks lainnya. Semua teks hidup dalam komunitas teks yang luas, dalam apa yang disebut sebagai sistem interteks. Semua teks hidup dalam sistem intertekstual antara teks dengan teks, bahkan antara genre dengan genre maupun antara media dengan media. Relasi intertekstual antar-teks akan menghasilkan hibriditas teks, teks-indo, teks blasteran, campuran antara teks-teks. “Subjektivitas” masing-masing teks di-destabilisasi, sentralitas “kepengarangan” masing-masing teks diambrukkan, dan “kemurnian” diskursif keduanya dinodai. Intertekstualitas adalah pengulangan (repetisi), bukan representasi. Dan dalam peristiwa repetisi intertekstual ini, “orisinalitas” masing-masing teks hilang. Kaligrafi dan puisi-konkret, misalnya, adalah dua contoh “puisi-rupa” yang tercipta lewat peristiwa intertekstual antara sastra dan seni rupa.

Untuk mendapatkan ekstasi tekstual, atau tekstasi, dari sebuah teks intertekstual, seorang pembaca diharapkan memiliki pengetahuan sejarah teks dan glossari kode teks yang juga bersifat intertekstual. Karena kesatuan (unity) sebuah teks tidak terletak pada asalnya (pengarangnya, misalnya) tapi pada tujuannya, yaitu Sang Pembaca, dan seorang pembaca merupakan ruang di mana semua “kutipan” dituliskan, seperti yang diyakini Roland Barthes dalam eseinya yang terkenal “The Death of the Author” (1968), maka kesadaran seorang pembaca akan konteks di mana teks direproduksi, dialusi, diparodi, dan sebagainya, merupakan kerangka utama dalam menginterpretasi teks. Karena, mengikuti apa yang dikatakan pemikir Marxis Amerika Fredric Jameson, teks hadir di depan kita sebagai yang-selalu-sudah-dibaca dan kita memahaminya melalui lapisan-lapisan interpretasi (yang pernah dilakukan atasnya) sebelumnya, atau, kalau teksnya benar-benar baru, melalui lapisan-lapisan kebiasaan pembacaan dan kategori-kategori yang dikembangkan dalam tradisi interpretasi yang kita warisi. Sama seperti tanda (sign) yang hanya bisa berfungsi memberikan makna (generating meanings) karena hubungannya dengan tanda-tanda lainnya dalam sebuah teks, maka relasi intertekstual antar-teks inilah yang memberikan konteks bagi proses pemaknaan dari peristiwa pembacaan atau pengalaman atas teks. Termasuk juga penciptaan teks-teks lainnya. Konteks mempengaruhi respons terhadap teks.

Penyair Sutardji Calzoum Bachri dalam sebuah esei pendek berjudul “Sajak-sajak Cerah” yang mengantar beberapa sajak yang dipilihnya untuk suplemen Bentara, Kompas 5 Mei 2000, menyatakan, “. . . di tahun 1990-an para penyair kembali menulis puisi dengan memperhatikan kata dan tidak melulu menekankan kehadiran kebebasan imaji sebagai yang utama. Kata-kata diupayakan menciptakan keutuhan sajak. Dan sajak menjadi transparan”.

Transparansi sajak yang menjadi ciri-utama dari apa yang Sutardji namakan sebagai “sajak terang” para penyair 1990an terjadi karena para penyair ini mulai jenuh dengan apa yang dilakukan para penyair sebelumnya: para penyair di tahun 1970an terlalu sibuk dengan estetika pembebasan kata dari beban makna leksikal-gramatikal, sementara penyair periode 1980an terobsesi untuk membebaskan imaji visual pada sajak sebagai estetika puisi mereka. Walaupun mesti dibuktikan lagi kebenaran pendapatnya ini atas mayoritas puisi, tidak hanya berdasarkan puisi satu-dua penyair belaka, yang ditulis pada kedua periode yang disebutkannya itu, demi konteks tema esei ini secara umum saya bisa setuju dengan apa yang diungkapkan Sutardji di atas, tapi saya perlu menambahkan bahwa apa yang menjadi ciri-khas penyair 1970an (musikalitas puisi) dan penyair 1980an (visualitas imaji) tidak ditinggalkan pada “sajak terang” para penyair 1990an. Sebaliknya, kedua unsur puitis utama dari puisi itu digabungkan dalam bingkai kesederhanaan bahasa sehari-hari untuk, meminjam kata-kata Sutardji kembali, mengungkapkan realitas yang dialami penyair. Dalam kata lain, penyair 1990an tidak lagi berusaha untuk menjadi pemusik atau pelukis waktu menulis puisi, tapi hanya untuk menjadi penyair. Memilih kesederhanaan bahasa sehari-hari, kesederhanaan bahasa leksikal-gramatikal sehari-hari yang lugas tidak rumit, dengan tidak mengorbankan musikalitas dan visualitas bahasa, untuk mengungkapkan realitas puitis, adalah ciri berpuisi para penyair yang mulai dikenal luas di dunia puisi kontemporer Indonesia pada periode 1990an.

Sebuah motif dominan lain pada puisi para penyair 1990an adalah politik. Para penyair 1990an tidak lagi tabu atau malu-malu untuk mempuisikan politik, mempolitikkan puisi, malah justru pada periode inilah puisi politik mencapai puncak ekspresi artistiknya yang melampaui apa yang sebelumnya dikenal sebagai sajak-protes dan pamflet-penyair seperti pada puisi Wiji Thukul. Pada puisi politik penyair seperti Wiji Thukul kita melihat betapa kemiskinan tidak lagi diromantiskan sebagai semacam “hidup alternatif” dari “materialisme kota” atau diabstrakkan menjadi sekedar “teori pembangunan yang tidak membumi” tapi merupakan pengalaman hidup sehari-hari yang harus dihidupi sang penyairnya sendiri. Subjektivitas pengalaman adalah realisme baru dalam puisi politik penyair 1990an.

Inilah cara para penyair 1990an menjadi bagian dari tradisi/sejarah sastra Indonesia, inilah relasi intertekstual puisi 1990an dengan puisi-puisi sebelumnya.

*Saut Situmorang, pengamat Goenawan Mohamad n The Gangsters, tinggal di Jogja. 

71. Saut Situmorang - Januari 21, 2009

(dan ini puisi bahasa InggrisKu buat dikau, radityo. enjoy ya, hahaha…)

The Love Song of Saut Speedy Gonzales

love is a Burmese cat running across the road & was shot at
by APEC leaders’ security members

love is the tampon that you mistook for a Chinese herbal tea-bag

love is red & fiery like a member of a Communist party

love is never boring except in a Hollywood movie

love is in the air & like a fart it is always interesting & smelly

love is a full course of Jacques Derrida, Michel Foucault with
a sprinkle of Alfred Hitchcock

love used to be blind & childish & very Greek

love is now multicultural & global with English as its medium
of expression

love is real like a cruise missile launched from an American
USS-Imperialism

love is sexy & lovely like multicoloured used condoms recycled
to the Third World countries

love is an Indonesian clove cigarette you smoke during a Mozart concert

love is high culture like a backpacker running out of toilet paper
in the jungle of Indonesia

love is never vegetarian & not going to be one either

love is alcoholic & full of nicotine

love is poisonous & very very addictive

are you ready for love?

72. Saut Situmorang - Januari 22, 2009

kau selalu bilang, Radityo, kalok aku Saut Situmorang ini “melarikan diri” dari Bali.
nah ayoh ceritakanlah di sini bagaimana aku kok bisa lari dari pulau itu. aku dan para pembaca lain di sini ingin sekali tahu tentang hal itu.
paling nggak, aku bisa teringat lagi lah bahwa aku memang melarikan diri dari Bali dan hidup di Jogja, hahaha…

eh tahu gak kalok si pembuat berita bohong tentang Skandal Sastra di Solo tahun 2003 di majalah TEMPO itu, yaitu si sutradara Teater Tetas bernama ags arya dipayana pukimak itu, akhir bulan lalu juga nyebar cerita kalok Saut Situmorang “lari” dari Jogja dan pindah ke Jakarta!!! kayak Adi Wicaksono aja awak ini ya, sukak kali lari-lari padahal awak kan montok kayak emilia contessa, hahaha…

73. b0nK - Januari 22, 2009

50. Saut Situmorang – Januari 20, 2009 (wrote:)

aku gak tertarik nulis puisiki di blog goblok ini! sorry…

(well..??..)

74. bodrox - Januari 24, 2009

Dear, Oom saut yang gimbal dan ganteng….

Kalo seandainya, cuma seandainya nih, Om GM ( bukan Gramedia Majalah loh) mangkat atau pengsiun, dan Oom saut diserahin warisan “Caping”, kira-kira mau nggak yak?

kira-kira wajah caping itu jadi gimana yak? Kan ga’ keren kalo capingna ntar berubah jadi cuping….

Buat dong Om satu essay mengenai palestina. Trus, kirim ke redaksi TEMPO 🙂

75. Warteg - Januari 24, 2009

break dulu,
NGOPI yuk!!!!

76. duta yg biasa saja - Januari 29, 2009

:saut situmorang

sayang sekali bung, ketika diluar sana ada banyak penikmat sastra yg menganggap anda pandhita anda justru merendahkan diri anda sendiri dengan katakata kurang pantas yg cuma siasia.
jika ingin menunjukkan eksistensi kenapa tidak memilih ‘perang karya’ saja? kenapa begitu gampang mengumbar hujatan dan makian yg memerangkap pada debat kusir tak berkesudahan?

lebih baik nyalakan lilin daripada memaki kegelapan.

77. fsiekonomi.multiply.com - Januari 30, 2009

mmm, ternyata dunia sastrawan itu unik yah.

78. eka perdania nurul fitrie - Februari 3, 2009

“sayang sekali bung, ketika diluar sana ada banyak penikmat sastra yg menganggap anda pandhita anda justru merendahkan diri anda sendiri dengan katakata kurang pantas yg cuma siasia.”

hehe ada yg berani kagak buat ngerendahin diri sendiri?? hehe
gampangan nyombong kali ah

79. Saut Situmorang - Februari 3, 2009

lebih baik nyalakan lilin daripada memaki kegelapan, hahaha…

gimana cara nyalain lilinnya, om?

gimana dapetin lilinnya?

kalok kromo inggil kratonan ente anggap penunjuk “kepantasan” berbahasa, ya monggo. tapi jangan dikte jangan nilai negatiorang laen yang menolak memakainya! tindakan menilai anda itu sendiri adalah sangat kurang pantas loh menurut mayoritas peradaban di planet ini, hahaha…

dan soal perang karya itu. apa yang anda sebut hujatan dan makian saya itu BUKAN karya Sastra saya jugak?! lantas apa itu karya Sastra dong kalok gitu, hahaha…

jujurlah pada kehidupan, bukan pada etiket berbahasa kaum feodal

hihihi…

para penghujat dan pemaki Saut Situmorang (lho ada yang menghujat Saut Situmorang di sini?! hahaha…) cobaklah kalian berusaha membahas poin-poin kritik Saut Situmorang atas catatan pinggir GM di atas ketimbang terlalu sibuk beretorika tentang moralisme linguistik sambil mengesampingkan isu sebenarnya. (mirip eufemisme Suharto ya, hehehe…) tingkah kalian inilah yang sebenarnya sangat tak bermoral itu!!!

hahaha…

80. arbi - Februari 3, 2009

Sebetulnya WordPress.com itu kan blog gratisan. Artinya semua orang boleh ikut berpartisipasi. Entah itu serius atau guyonan, ngenyek, memuji, atau mengkritik, itu semua sah sah saja. Jadi, siapapun yang coba mengusir orang dari sini, dia yang mestinya jangan bikin blog di wordpress.com.

Membaca komentar-komentar dalam blog ini, saya jadi ingat Hobbes dalam Leviathan, dia mengatakan individu-individu dalam masyarakat sebetulnya saling menghantam satu sama lain, this is war every man against every man. Tapi kenapa sampai sejauh ini, masyarakat tidak berakhir dalam kekacauan?

Adam Smith menjawabnya: ada sebuah ambivalensi ketika tiap orang mengejar kepentingannya masing-masing. Satu sisi dia takut tidak dapat memenuhi kepentingannya sendiri, sisi yang lain adalah timbulnya kesadaran bahwa upaya pemenuhan kepentingan diri itu selalu membutuhkan orang lain. Smith menawarkan Solusi yang sangat bagus untuk ambivalensi itu : friendly society.

Kenapa kita tak mencobanya di sini?

Ketika internet telah membunuh jarak, kenapa kita tidak menggunakannya untuk saling berbagi?

Hahahahhaha
(Ngikutin Saut)

Oiya, Kayaknya penghuni blog ini udah kebal dengerin kejelekan GM. Paling-paling komentarnya “so what!”

Hahahaha
(Ngikutin Saut lagi)

81. m_biy - Februari 7, 2009

whuaaaah….!!!
seru…seru…seru…
saling gugat manner, krama, tata cara berbahasa
luayan menghibur, tambah lagi ada bumbu nya pemaparan masalah perbedaan sudut pandang…!!!
andaikata ada negara atau orang yang bisa membuat bom biologis yg berbahan dasar marijuana dengan ukuran kira² sebesar pulau nusakambangan dan di ledakkan di setiap negara di atas bumi ini….sepertinya akan terhenti semua perang ideologi dan kita semua duduk bersanding dan terbahak² bersama…hingga ajal memisahkan kita dalam cinta….!!!! pisss epribadi 😀

82. manusia - Februari 10, 2009

salut lah saya sama bang Saut dan mas GM, dari saya, cuma seorang mahasiswa tahun pertama fakultas sastra, yang belum lama menghisap pahitnya udara kehidupan(in other word: n00b), baru tau ternyata dunia sastra begitu unik

sebuah fanatisme, dalam bentuk apapun tuh gak baik, mas GM dan bang Saut sama2 punya kekurangan dan kelebihan masing2, tapi para pengikut radikal salah satu pihak terus saja memandang mereka layaknya tuhan, yang tak boleh digugat kekurangannya, seolah karya2 dan hujatan2 mereka adalah kitab suci yang tak boleh dipertanyakan asalnya, mungkin jika hal ini terus berlanjut, para pengikut aliran2 baru ini bisa saja membentuk suatu aliran agama baru, menjadikan bang Saut dan mas GM seorang dewa, bahkan tuhan yang tak boleh diganggu gugat keputusannya, mungkin juga inilah awal dari agama, yang dibantu emosi manusia, terus saja membawa konflik tak berkelanjutan di dunia ini

salam damai Palestina

83. Dendi - Februari 11, 2009

@manusia
Ah…terlalu berlebihan..hehe. Biasa aja. Biasa banget. Mereka bukan siapa2, dan ‘pengikut’ merekapun tak sebodoh yang dikira. saya suka caping sekaligus ngefans sama Saut. Santailah..ini biasa di milis atau forum atau apapun tempatnya didunia maya. Ada yang penting ada yang gak penting. Ada yg memuakkan ada yang menghibur. Kayak slogan iklan ajalah…Enjoy ajaaaa!..atau ..gak ada mereka gak rameeee… 😀

84. vina kamisama - Februari 11, 2009

@ dendi

haha…
bener juga…
klo gak ada yang pro kontra ga rame ya…
ya udah di terus2in saja monggo..
meskipun sempat heran juga..
si Saut niat bener ya nulis panjang2 di dunia maya kek gini.. 😀

85. Ziyan - Februari 11, 2009

Peace…peace…
Memijak ke bumi, tempat lekat kaki merendah…
Aaah…jangan diteruskan caci..!
Kuping sensitif capek. Itu tak manis kan.
Banyak yang nguping tuh.
Sudahlah…biar menguap, kita buat saja topik baru yang lebih hot. Stop the war..!

86. Muhammad Hartono - Maret 8, 2009

memang kontroversi tak bisa dipisahkan dari diri GM.

87. podolisasi prima - Maret 16, 2009

SAUT PALING GAPE KALO BERAK SEMBARANGAN..!
bisa jadi ada tendensi Bipolar.Gimbal kucel mutan cerebro<–dia pikir!

88. rumah hitam - Maret 22, 2009

Bang Saut, kau tetap lah kalah dengan GM dan anak-anak buahnya (apalagi pukimak radityo). Macam mana bisa menang, abang cuman sikit aja bikin millis. Tirulah gaya pengecut macam pukimak radith yang suka betul bikin millis agar kepala otak dia didengar orang-orang bodoh di indonesia.
Licik sikit lah bang, klo perlu banci-banci tebal muka macam pukimak radith

89. LordMinto - Maret 23, 2009

Hei Rumah Hitam…dari logat kau, forum Indon-Malingsia sepertinya lebih cocok untuk you….”Berak” disana aja!! Jangan di sini tai!!

90. djounk_ambon - Juni 3, 2009

Intinya Cuki mai buat Yang Pro_Goenawan oehamad lah……..

@Rumah_hitam: anjink cuki buat kamu….!!!

@ saut sitomorang: hajar bang…barisan jogja selalu solid

91. HetLotobOrsos - Juni 4, 2009

beda jauh ya dengan tokoh yang sangat kita hormati semua, baik yg pro dan tidak.

P.A.T .. kita telah melawan, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

Saut dan barisannya selain otaknya encer, ternyata terbuat dari bahan
yang mengandung banyak tainya jg.
Hormat aja ke tembok lah..

92. Zul Azmi Sibuea - Juni 4, 2009

saut situmorang mengajak kita bermain di taman sastra, bermain yang dimengertinya adalah dengan memaki, merendahkan, vulgar, menyebarkan anti pati, sungguh sebuah model mengajak bermain yang nyleneh pada awalnya. seperti yang dikatakannya karena ia ingin mengajak jujur pada kehidupan.

bagi kebanyakan kuping ajakan bermain seperti itu, diinterpretasi sebagai pelecehan, diluar pakem, dan tak mengundang simpati, tak mengundang untuk ngobrol, seperti tidak ingin ramah, anti interaksi yang nyaman dan ramah, bukan seperti orang timur pada galibnya.

kritiknya pada isi tulisan GM diatas sih, biasa-biasa aja misalnya soal logika sisipus “mengangkut” dan “mendorong kembali” , soal eksistensialisme camus, soal faktum dan reason dari kant, lalu soal remeh-temeh spelling.

jangan pernah menggigit kuping lawan bicara terlalu keras kalau mau mengajak bermain. apalagi baru kenal, waspada… congek… , kalau tidak mau menyesal.

93. senja aditya fajar - Juli 19, 2010

Saut Situmorang : PATEN!! MANTAB!! CERDAS TENTUNYA!!

94. Melki AS - Oktober 8, 2010

Saya baca semua komen di sini, dan ternyata GM tak membalas celaan atas dirinya. Banyak faktor mungkin. Bisa karena dia sudah tua, malas membalas sesuatu yang tak berguna atau mungkin tidak mampu membalasnya dsb.Tapi lebih penting dari itu, kenapa justru orang lain yang dengan buas dan ganas menghajarnya. Apakah memang begitu kehidupan dan pribadi para seniman…..,? Oh ataukah mungkin dengan kontroversial yg negatif, dengan asyik ber-maki-an, adalah cara yang efektif untuk menunjukkan eksistensi sebagai seniman…!!! Soalnya sangat banyak kreasi ataupun karya yang dengan sengaja menabrak norma dan aturan, tapi dengan itu justru yang melambungkan dirinya ke kancah yang lebih luas. Kalau seperti ini, sama saja dengan pemuja eksistensi, dan itu bagi saya (yang hanya penikmat sastra pemula) sama saja absurd. Saya tidak menilai orang dari cacat ataupun celaan nya, melainkan saya ingin membaca dan memahami pribadinya lewat karyanya yang manis. Kalau seniman aja saling bentrok (seperti Boemiputera VS TUK), kapan kita bisa menikmati kebersamaan yang menghasilkan sesuatu yang baik. Oh ya, kira-kira mungkin tidak sebuah negara di bangun dan eksis dengan perang, termasuk perang sastra dan sebagainya…???

95. your free file - Januari 5, 2012

He who has scalded himself once blows the next time. – Italian Proverb

96. homepage - Juli 14, 2013

The suite features three separate programs: Lotus Symphony Documents, Lotus Symphony
Spreadsheets, and Lotus Symphony Presentations. Many mobile laptop users find that the most appropriate model,
for them, often involves some kind of compromise,
usually between the size of the screen, or the number of additional features, and the overall physical
size, and weight, of the machine. There are many such
medical firms in and around United States and you will be able to find one near your location by searching on the internet.

97. Zumba - Juli 31, 2013

zumba zumba runga runga. yahtzaaa


Tinggalkan Balasan ke Saut Situmorang Batalkan balasan