jump to navigation

Bukan-Pasar Maret 16, 2009

Posted by anick in All Posts, Ekonomi, Kapitalisme.
trackback

DI tiap pasar selalu ada yang bukan-pasar. Dan itu dibutuhkan. Ada pohon-pohon yang meneduhi kaki lima. Ada sumur di halaman belakang yang dipakai ramai-ramai. Ada peturasan untuk buang air siapa saja. Dan tak jauh dari sana, ada jalan raya dengan rambu-rambu lalu lintas.

Semua itu menopang kehidupan pasar itu, meskipun tak jadi bagian yang dikendalikan pasar dan kesibukannya: tak seorang pun bisa mengklaim pohon, kakus, dan rambu-rambu itu sebagai milik sendiri untuk dipertukarkan dengan milik orang lain.

Dengan cara yang sama, kita juga bisa bicara tentang apa yang pernah disebut sebagai pasar metaforik: kegiatan yang tak terbatas pada sebuah lokasi, ketika barang jadi komoditas dan hubungan antarmanusia adalah hubungan jual-beli.

Dalam pasar metaforik ini pun (yang selanjutnya akan ditulis dengan P) diperlukan hal-hal yang tak seharusnya diubah jadi benda yang nilainya lahir lewat perdagangan. Ada kebutuhan akan barang yang bukan benda, yang tak ditentukan oleh harga: hal-hal di luar jangkauan Pasar, meskipun ada di dalam tubuh Pasar itu sendiri.

Tapi sejak 1980-an, orang mulai lupa akan hal itu. Bersama menonjolnya pengaruh Milton Friedman, sebuah dikotomi ditegakkan dan bergema: di satu sisi ada Pasar, di sebelah sana ada Negara. Pasar bahkan berdiri tampak lebih luhur ketimbang Negara. Seri ceramah TV Friedman, Free to Choose, jadi alkitab bagi mereka yang ogah atau jera akan campur tangan Negara dalam ekonomi, mereka yang menampik kekuasaan yang sewenang-wenang segelintir orang yang terkadang disebut sebagai birokrasi dan hendak mengendalikan perilaku yang pada akhirnya dipilih oleh masing-masing orang. Dengan diberi dalih oleh pemenang Hadiah Nobel, tokoh Mazhab Chicago yang fasih dalam berargumentasi itu, ekonomi pun di mana-mana digerakkan oleh semangat deregulasi dan privatisasi. Negara itu sesuatu yang buruk. Pasar itu selamanya penting.

George Soros kemudian menyebut pandangan macam itu fundamentalisme pasar; Paul Krugman menamakannya absolutisme laissez faire. Dalam tulisannya di The New York Review of Books bertanggal 26 Maret 2009 Amartya Sen tak memberi nama apa pun. Tapi ia menyebut kesalahan mereka yang tak bisa dengan jelas membedakan keniscayaan (necessity) pasar dari keserbacukupan (sufficiency) pasar.

Dari sini akhirnya diakui, di tiap pasar selalu ada yang bukan-pasar dan itu dibutuhkan. Sen menunjukkan bahwa para penerus Adam Smith, pemikir yang sering disebut sebagai bapak paham kapitalisme itu, telah keliru bukan karena sang bapak salah. Mereka keliru karena Smith, dalam bukunya yang pertama, The Theory of Moral Sentiment, bukan orang yang menganggap kehidupan bersama adalah sesuatu yang hanya dibentuk oleh Pasar, oleh kepentingan diri dan motif mencari untung. Smith, sebagaimana dikutip Sen, juga berbicara tentang perlunya perikemanusiaan, keadilan, kedermawanan, dan semangat bermasyarakat.

Dan itu adalah sifat-sifat yang tak menentang Pasar. Mereka justru diperlukan Pasar agar berjalan beres. Sebagaimana dicatat oleh sejarah, menurut Sen, kapitalisme tak muncul sebelum ada sistem hukum dan praktek ekonomi yang menjaga hak milik dan memungkinkan berjalannya perekonomian yang berdasarkan kepemilikan. Tukar-menukar komersial tak dapat berlangsung secara efektif sampai tumbuh moralitas bisnis yang membuat perjanjian kontraktual ditaati tanpa ongkos yang tinggi, misalnya karena tak perlu terus-menerus membayar biaya perkara pengaduan dan peradilan. Investasi dalam bisnis yang produktif tak dapat berkembang sebelum orang tak dapat hasil yang mudah dan berlebih dari korupsi.

Pendek kata, menurut Sen, kapitalisme yang berorientasi laba selamanya mendapatkan dukungan dari nilai-nilai institusional yang lain. Nilai-nilai: hal-hal yang bukan komoditas, tak bisa diklaim sebagai milik dan diukur dengan nilai tukar.

Seperempat abad yang lalu Albert Hirschman sudah mengatakan hal itu dalam esainya, Against Parsimony: Three Easy Ways of Complicating Some Categories of Economic Discours: ketika kapitalisme bisa meyakinkan setiap orang bahwa ia dapat mengabaikan moralitas dan semangat bermasyarakat, public spirit, dan hanya mengandalkan gairah mengejar kepentingan diri, sistem itu akan menggerogoti vitalitasnya sendiri. Sebab vitalitas itu berangkat dari sikap menghormati norma-norma moral tertentu, sikap yang katanya tak diakui dan dianggap penting oleh ideologi resmi kapitalisme.

Kini memang terbukti: Pasar yang hanya mengakui bahwa rakus itu bagus seperti yang dikumandangkan oleh risalah macam The Virtue of Greed dan In Defense of Greed pada akhirnya terguncang oleh skandal Bernard Madoff. Orang iniseorang pebisnis terpandang berhasil mengeruk US$ 65.000.000.000 dengan menipu orang-orang yang menanam uang dengan penuh kepercayaan di koceknya.

Jelas, akibatnya bukanlah cuma uang yang raib. Yang tak kalah rusak adalah sikap percaya-mempercayai. Bank kini ragu meminjamkan uang, investor ragu menanam dana. Sekarang terasa betapa perlunya nilai-nilai institusional di luar Pasar. Mereka perlu dijaga.

Tapi tak mudah. Problem besar dewasa ini: dari mana nilai-nilai itu akan datang lagi dan bagaimana akan dilembagakan. Siapa yang akan secara sistematis menanam pohon, menegakkan rambu jalan, membuat perigi bersama? Bukankah kini public spirit nyaris tipis dan pengertian bebrayan dirusak oleh ketimpangan sosial dan korupsi? Apa gerangan yang harus dilakukan?

Saya ingin sekali bisa menjawab itu. Sungguh, saya ingin sekali bisa menjawab itu.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 16 Maret 2009~

Komentar»

1. Rendy BlogHeboh - Maret 19, 2009

Postingnya menarik baget ni, saya suka banget, mudah2an bermanfaat..

Salam kenal ya.
Silahkan berkunjung ke BLOG HEBOH dan berkomentar ria ya, soalnya BLOG HEBOH make sistem Dofollow

Oh iyah satu lagi gabung jadi pengikut saya yah..
Di tunggu yah kedatangannya,.

2. massto 0narkis - Maret 19, 2009

mbuh um GM,.. saya cuma wong bodho,..gak ngerti jawabane opo??..mengko tak tanyain sama caleg aja..siapa tau mereka punya jawabannya..

3. Loginataka - Maret 20, 2009

Negara… sekali lagi Negara!

Kapitalis jangan dibiarkan menguasai pasar.
Biarkan Zarathustra berteriak-teriak di tengah pasar.

Lalat.. lalat… kalian semua lalat.
Menjilat.. juga sambil menghisap….

(Waduh… ngomong opo aku ini…)

4. Ajie - Maret 20, 2009

Seperti sebuah rumah yang sudah bocor sana sini, patah dimana-mana, goyang, dan hampir roboh. Kalau dikampung saya biasanya orang-orang yang mendiaminya memilih menghancurkannya sekalian dan membangun ulang dari awal. Apakah itu? Seperti apakah bentuknya? Saya juga ingin sekali tahu. Tapi yang jelas saya hanya mampu menanam pohon. Dan tak bisa seoptimis Francis Fukuyama.

5. ibra - Maret 20, 2009

J.S.Mill pernah menafsirkan perikemanusiaan, keadilan, kedermawanan dan semangat bermasyarakat itu dari sisi “investasi mengejar kepentingan diri”. Kata “investasi” mengandung variabel waktu, dan kata “kepentingan diri” mengandung variabel “orang lain”.

Maksudnya, kepentingan diri itu “disinonimkan” dengan kepuasan. Dan kepuasan tidak muncul sendirian. Kepuasan muncul lewat diskursus yang terbangun pada masyarakat itu sendiri.

Yang jadi permasalahan kemudian adalah: bagaimana membangun kesadaran akan investasi dan pentingnya orang lain?

Smith telah menyadari itu terlebih dahulu, ia memanggil institusi lain untuk ikut serta dalam pasar. Institusi itu adalah negara, dan kita mengenal kajian ini dalam cabang ilmu ekonomi publik. Dan justru di situlah letak keanehannya. Friedman menganggapnya tidak perlu, sebab dengan naluri bisinis, barang publik bisa diperjual-belikan dan menguntungkan.

Dan berapakah asumsi “irrasional” yang harus dipenuhi untuk ekonomi model Friedman? Saya coba sebutkan asumsi itu : informasi yang sempurna dan tersebar sempurna, manusia otonom rasional (aksioma2 mikro), arus modal dan teknologi yang bebas, dst.
Saya menyebutnya “irrasional” sebab harapan akan hal itu hampir mustahil. Dan ketika kondisi suatu masyarakat tidak sesuai dengan asumsi, maka model itu tidak akan berjalan baik. Nah, dalam kondisi masyarakat yang tidak ideal (tidak sesuai asumsi) mestinya variabel-variabel luar harus dipanggil untuk ikut serta dalam pasar.

Menurut saya, variabel yang paling penting adalah filsuf-penguasa. Di mana diharapkan dapat ikut membangun diskursus yang sehat tentang “kepuasan”, membangun fasilitas publik, dan juga membangun hukum beserta penegakkannya.

Banyak yang berpendapat bahwa masyarakat digerakan oleh moralitas. Tapi saya pikir mereka sebetulnya digerakkan oleh hukum.

6. Ajie - Maret 20, 2009

Idealnya memang dengan penegakan hukum yg bagus orang akan merasa aman dan bisa menjadi saling ‘mempercayai’ (kekuatan apakah kiranya yang bisa menumbuhkan ‘semangat bebrayaan’ yang tulus?). Menurut J. Bentham semua hak, termasuk hak atas kebebasan, haruslah dibatasi oleh hukum (konon pemikirannya dipengaruhi keadaan pada masanya dan tentu konsekuensinya tidak selalu memberi kepuasan). Lalu J.S.Mill mengatakan jika masyarakat telah matang -matang seperti apa saya tidak tahu jelas, dan bisa jadi “irrasional” juga-, campurtangan negara pada tindakan individu harus diatur dengan prinsip kebebasan.

7. Loginataka - Maret 20, 2009

Pada mulanya, alat pemuas kebutuhan manusia memiliki nilai guna. Manusia memasak nasi untuk makan, menjahit kain untuk pakaian, bangun rumah untuk tempat tinggal. Mobil, sepatu, TV, komputer dipakai dan dikonsumsi sebagai barang yang bernilai guna.

Kapitalisme mengubah benda menjadi nilai tukar. Nasi bisa bernilai guna (a.k.a dimakan) harus terlebih dahulu dijadikan komoditas yang ber-nilai tukar. Akhirnya nasi dibuat untuk Rp 5 ribu, kain dijahit untuk Rp 100 ribu, TV untuk Rp 1 juta dst..

Ketika kemudian yang berkuasa adalah ”nilai tukar”, uang dan bank pun kian berperan. Bank, yang memproduksi uang, sekaligus membuat uang sebagai sesuatu yang terbatas jumlahnya. Muncullah sindrom Langka dan Rakus.

8. espito - Maret 20, 2009

Bukan Pasarmalam, kali…

9. bodrox - Maret 20, 2009

@ espito
bukan pasar malam? hi.. hi.. PAT bangetz

ekonomi negara hancur oleh kapitalistik, ekonomi kapitalistik sedang ngosngosan. Btw, ekonomi “baitul mall” bisa dipake gak yah?

10. veda metta - Maret 20, 2009

saia bingung pa dengan kata”nya..
entah karna emank saia bodoh tw emang kurang sering baca buku..
haha..
hanya beberapa saja yg bisa saya tangkap..
jd..saya minta maav ajah ya pa..
mendingan saya baca buku cetak sosiologi dari sekolah.. ^^

11. podolisasi prima - Maret 20, 2009

Apa ya setelah semua ini?
Obama presiden yg berbeda itu, tampak tenggelam di pusaran arus sejarah ini. Ada narasi besar lagi kah berikutnya, setelah Fukuyama
berujar ini akhir sejarah?.

12. podolisasi prima - Maret 20, 2009

@ibra ada blog ga, pengen liat2..
seru kalo diskusi ada nick itu.

13. massto 0narkis - Maret 20, 2009

@bodrox
kayanya gak mungkin mas??..
sebagian besar manusia kita, dari atas sampe bawah udah “fully profit oriented”,.. kadang cuma mencomot nama/jubah “suci”,..padahal isinya mung penghisapan juga!!!

info: di daerah saya yang namanya koperasi prakteknya kaya rentenir!!! bunga pinjaman 30% per 3 bulan!!!setaun brati 120%..uedan kan???. eh ndilalahnya, kalok ada kucuran dana lunak dari pemerintah, mereka paling cepet dapet lho!!!..
hebat bukan??..indonesia banget githu Lho..!!

mungkin ada benernya juga tulisan um goen berakhir dalam sebuah pertanyaan?!?!

14. Ajie - Maret 21, 2009

@massto
btw..pernah jadi korban apa jadi pelaku nih? huehehe…

15. massto 0narkis - Maret 21, 2009

hehe..sementara baru jadi korban,..kalo lagi kepepet..

benci tapi rindu..!!

16. bilhasryramadhony - Maret 21, 2009

saran ni pak
gimana kalau setiap tulisan pakai more…
jadi bisa gampang lihatnya

17. Loginataka - Maret 23, 2009

@mas bodrox
Sekarang memang lagi gencar alternatif ekonomi non-bunga (maaf, klo saya gak sebut ekonomi syariah, sehubungan dengan beberapa lembaga memakai embelisasi tsb tapi tetep berbunga). Karena ternyata ekonomi kapitalistik yg interest-based itu telah terbukti menjadi biang keladi kehancuran finansial global.

Ekonomi non-bunga ini pada dasarnya dijalankan dengan semangat saling berbagi keuntungan (juga kerugian a.k.a resiko) antara kreditur dan debitur sehingga diharapkan terwujudnya prinsip keadilan.

18. doctor sexy - Maret 23, 2009

postingan yg menarikk,,,, bookmark ah

19. Abu Zairi 123 - Maret 23, 2009

Testing….

20. ibra - Maret 23, 2009

@ podolisasi prima
(Hadoooh, nickmu….)
Blogku masih acak2an. Ntar kalo dah rapih aku kasi liat deh 🙂
Nyantai aja….aku sering nongkrong di sini kok…

Mau ngobrolin Amartya Sen?
Konon kabarnya doi atheis lho…ngga tau juga…tapi pastinya dia banyak ngasih pencerahan buat ekonomi dan perekonomian dunia. Aku pernah liat CV-nya: ampe 30 halaman! Orang ini luar biasa!

Dia yg punya ide pengukuran ekonomi lewat mutu manusianya. Kita kenal HDI atau IPM di tanah air. Dan pengukurannya pun menarik. misalnya, yang dihitung adalah angka kematian bayi, kematian ibu, harapan hidup, buta huruf dll. Dia mengukur “penderitaan” sebagai indikator kesejahteraan ekonomi. Ngukurnya dibalik.

Ngga kaya GDP yg fokus ke angka2 barang dan jasa. Sen fokus pada manusianya. Ya semacam ekonom humanis lah….

21. podolisasi prima - Maret 23, 2009

heueue asal nyamber nik nyah.maklum Kabayan. 🙂
satu visi sama Muhamad Yunus ya.Langsung ke akar rumput..
Yang pilu itu dimana hasil akhir semua money game krisis global ini,setelah bernard madoff lenggang kangkung. Susah ngebayangin duit
ratusan miliar dolar raib ga kedeteksi. Ada asumsi di swiss lah,. bs jadi.

Menarik sekali Amartya Sen: kabarnya atheis, tapi nyantol ke humanis.
Great data ibra :p

22. isoelaiman - Maret 24, 2009

Menyerahkan sepenuhnya ke pasar, seperti Amerika, teryata ambruk. Pangkalnya kerakusan, kelicikan, pencurian atas nama financial system di pasar. Pengabaian kemanusiaan, iman. Terkesima glamour kehidupan, bagaikan “laron, menuju lampu pijar kematian”.
Kemudian negara, –atas nama penyelamatan negara dan rakyat– mulai “mengendalikan” pasar. Kemudian, akan kita tunggu, negara menganjurkan orang untuk “…menanam pohon, menegakkan rambu jalan, membuat perigi bersama?
Yang bakal terjadi adalah akan muncul kesepakatan dan kepercayaan baru menggerak “pendulum” dari ekstrem pasar –rakus, curang, licik– geser ke tengah, alias untuk memberi ruang jelas pada iman dan human. Itu jawabku.

23. Billy Koesoemadinata - Maret 24, 2009

kalo pasar = market, dan sekarang sudah menjamur supermarket = super pasar,, berarti gimana nih konsep bukan-pasarnya?

24. yusni - Maret 24, 2009

bagus tulisan ini, cuma sy g tahu tentang keniscayaan pasar dan keserbacukupan pasar. nanti sy blajar di tmpat lain, aja,….

25. Loginataka - Maret 24, 2009

@ isoelaiman
Mas, mau tanya. Bagaimana caranya iman & human mengendalikan pasar?
Trims.

@ ibra
Mas, mau tanya. Mengapa: informasi yang sempurna dan tersebar sempurna, manusia otonom rasional (aksioma2 mikro), arus modal dan teknologi yang bebas, dst. dianggap irrasional?
Trims.

26. ibra - Maret 24, 2009

Sederhananya begini;

Sebetulnya model ekonomi bergerak seperti dalam flowchart. Hanya saja, penggeraknya bukan jobdes atau perintah, dalam model ekonomi penggeraknya adalah kaidah-kaidah elastisitas. Tak ada perintah, yang ada adalah kemungkinan kemungkinan optimasi (minimasi biaya dan maksimasi profit).

Arus itu dianggap sebagai sebuah keniscayaan bila syarat-syarat pendukungnya (asumsi) dipenuhi.

Nah, asumsi itu saya sebut “irrasional” disebabkan bahwa gerak ekonomi tak hanya didasari oleh naluri ekonomi saja. Bisa saja, dan memang terjadi, penggeraknya adalah unsur psikologis, budaya, ideologi, isme-isme, rasa nyaman pada kelompok, dll.

27. bodrox - Maret 25, 2009

@ podolisasi prima
saya pernah baca di kompas (sorry saya lupa sumbernya bro), konon Fukuyama sendiri udah merasa menyesal menulis tesis seperti itu 🙂

28. Loginataka - Maret 25, 2009

@ Billy
Berarti konsepnya berubah jadi bukan-super-pasar. He.. he..

@ibra
Trims penjelasannya. Kayaknya kamu ekonom ya…

29. Loginataka - Maret 25, 2009

O iya Mas Ibra. Kira-kira seberapa jauh peran negara dapat memberikan pengaruh terhadap gerak ekonomi?

30. ibra - Maret 25, 2009

Pasar metaforik maksud GM kan maksudnya pasar sebagai sistem perekonomian. Bukan pasar sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli.

Sedangkan peran negara terhadap gerak ekonomi tergantung konteks politiknya. Kalau negara menganut sistem perekonomian pasar ala Friedman, negara dianggap ngga perlu turut campur dalam pasar. Sebab konon cuma buang-buang waktu, tenaga, dan duit saja. Ngga ngaruh.

Tapi kalau menganut sistem perekonomian lain, misalnya solidaritas komunal atau sosialisme, acaranya bakal lain. Negara bisa jadi aktor utama dalam perekonomian. Malah China menarik, negara yang menentukan kapan masyarakat harus ikut sosialisme atau kapitalisme. Semuanya punya pembenaran masing-masing.

Tapi menurut saya, semuanya harus diatasi menurut konteksnya. Sistem-sistem perekonomian itu ngga perlu dibela mati-matian.

Negera punya kekuasaan. Dan saya kira, kekuasaan mesti dimanfaatkan untuk mengupayakan keadilan. Keadilan versi siapa? Saya sepakat dengan semangat Postmodern : keadilan menurut budaya masing-masing. Tapi dengan sedikit sentuhan keadilan versi Rawlsian: sedikit lebih memihak pada yang lemah.

31. podolisasi prima - Maret 25, 2009

@bodrox..
kita terima penyesalan dia.. Kata jarwo kwat: JANGAN LEBAY DIK PENDI.
hmm tetap dengan pertanyaan: what next ? 2012 ala suku maya prediksi? tzolkin rules?.. gimme words.

32. Loginataka - Maret 25, 2009

@ibra

Sepakat..!

33. ibra - Maret 25, 2009

Enakan diskusi yang gaduh…hehehehe
Bikin dag dig dug
Yang kayak gitu emang jagonya Bang Saut
Sejujurnya, doi keren abis!

34. podolisasi prima - Maret 25, 2009

duh ibra terserah dia mo dibilang mister data atau kakek segala tahu kek.Seperti ngeliat ruhut sitompul barusan di tv one vs efendi simbolon.
Distorsi.. gpp jg kalo dapet input bagus.tapi doi lebih seneng ngegerumel. Lebih interest dia ada di pusat episentrumnya, terus kita yg yg distorsi gimana? daripada doi msh di bayang-bayang esais yg kita hadir disini ?

35. Drimba - Maret 26, 2009

Ayuh pejuang bahasa sekalian atur langkah berkesan. Kebanyakan barisan baru parti menyokong PPSMI. Anak bangsa menghampiri karam lautan

36. Jacqueline Elvina /16 - XA - Maret 27, 2009

menurut saya, cerita ini menarik juga. Dari judulnya saya pikir itu berhubungan dengan pasar seperti pasar tradisional.. tp ternyata tidak seperti itu. bacaan ini menyangkut paham kapitalisme, dimana paham ini dipakai oleh org2 Amerika dan mungkin dipakai oleh negara2 maju lainnya, yg dimana semua orang hanya mementingkan dirinya sendiri.
tp sepertinya tidak smua orang di Amerika seperti itu, mereka masih tetap mau saling tolong-menolong satu sama lain, mgkn memang d setiap saat.

mereka masih mau membantu orang2 lemah. Dan itu menurut saya, mereka bkn penganut kapitalisme 100%, di sisi lain tetap sosialisme.
jd kita harus bs menentukan kapan menggunakan kapitalisme atau sosialisme.

37. Giyanto - Maret 28, 2009

Barangkali Bung GM perlu banyak membaca tulisan anak kecil seperti saya. Romantisme anda kelihatannya sudah keblablasan. Hiduplah di rumput jangan cuma di atas pohon. Lihat semut-semut, jangan cuma liat burung!

38. Giyanto - Maret 28, 2009

Dan definisikan dulu apa itu kapitalisme, dan apa itu negara. Baru bicara tentang keduanya panjang lebar!

39. ochidov - Maret 28, 2009

@Ibra
di sini kayak penjual aja…
pasar tentu digerakkan oleh keserakahan
bukan pasar disembah oleh kemiskinan
gak ada pasar yang bebas, kapital, atau bahkan yang sosial…
moral dan hukum tak berlaku.
semua kalian adalah korban pasar.

40. Dian Maya Kirana - Maret 29, 2009

Hmm,,, agak kebanyakan buat otak aku yang dung-dung :p
Tapi wokeh deh,,, hehehehe,,,

41. ibra - Maret 29, 2009

Ngga usah pake istilah tendensius “di sini kayak penjual aja” begitu. Debat saja dengan argumenmu.

Bisa jadi cuman kamu yang serakah. Bisa jadi orang lain bisa bergerak dengan moral. Bisa jadi banyak orang jadi ngga miskin karena pasar, jadi punya banyak ruang untuk berkreasi dan mengembangkan ide-ide sosial, politik, budaya dan kesejahteraan karena pasar. Bisa jadi cuman kamu yang jadi korban pasar.

Jangan samain isi kepalamu dengan orang lain.

(Btw, Lucu juga tuh kalo beneran gituh : u r the victim of ur crime )

42. HASTu W - Maret 29, 2009

iya tuh, mo serakah or baek hati kek, paling2 ntar ujung2nya:

free to choose
so choose yang mak nyuuusss………
the rest is about….. who wanna be millionaire

tanpa public spirit, tanpa pengertian bebrayan dirusak, di tengah2 ketimpangan sosial dan korupsi, etc.. Apa gerangan yang harus dilakukan?

Mnr sy ga perlu sampe hopeless gitulah,
toh Slumdog dg sikon kek gitu bisa kok jadi millionaire khan?!

sori nih, konsletnya gi kumat, kesenengen nemu blok bagus kalik ya?! wkwkwk…..

43. podolisasi prima - Maret 29, 2009

@giyanto
panjang lebar dong pls.. ur sprektrum
lihat semut lihat burung lihat kodok jg boleh kan?.

44. podolisasi prima - Maret 29, 2009

spektrum –red

45. Giyanto - Maret 30, 2009

@podolisasi prima
lihat kodok jg boleh kan?

@Giy
Boleh aja, asal jangan liat kodok atau burung gua,ha2

46. podolisasi prima - Maret 30, 2009

gombal :p

47. ochidov - Maret 30, 2009

@Ibra
???
batu
palu
paku
????
=
Ibra?

48. ibra - Maret 30, 2009

Tempe
Udang
Kerupuk
Nasi uduk
Es teh manis
Itu gue suka

Nyang ntu di toko material

Nyari apa siy, cang ?

49. ochidov - Maret 30, 2009

‘perut’sentris padamu, ibra.
‘catping’ terluka
hanya boros kata.

50. Giyanto - Maret 30, 2009

@podolisasi prima
gombal :p

Giy:
tapi kalau di rasa-rasa tulisan GM yang satu ini memang memperburuk kondisi dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap pasar. Tidak bisakah GM memiliki perspektif lain dalam menulis?
saya kok meragukan kreativitasnya!
pertanyaan saya, apakah caping juga tidak membutuhkan pasar?

51. andrey - Maret 30, 2009

Sebuah tulisan tentang perspektif pasar yang menarik walaupun rada mumet juga menelaahnya tapi setidaknya memaksa untuk terus belajar lagi nich….maklum lha wong masih bodo jhe…..

52. podolisasi prima - Maret 30, 2009

Pengkanalan berbagai keprihatinan personal.Jadi musti ke arah solusi yg bagaimana kreatifitasnya? Saya melihat giy sama-sama lagi curhat Dengan Gm.Saya dpt detail bnyk dr ibra, kan spesifik sekali topik ini.Ga gaduh seperti kita ngomongin tuhan.

53. ochidov - Maret 31, 2009

dan t-T-uhan tidak perlu dibicarakan
buang kata membahas d-D-ia

54. Rusdy - Maret 31, 2009

@ochidov
Apa sih maunya Ochidov ini?heh? Tulis panjang lebar dan jelas maumu! Gak ada batasan jumlah karakter di sini. Ngirim pake hp jadul ya?

55. massto - Maret 31, 2009

MLBK = musuh lama bertarung kembali

56. Loginataka - Maret 31, 2009

Dan ternyata, Negara pun kini adalah komoditas.
(Waduh…!)

57. Giyanto - Maret 31, 2009

Pertama: orang pasar tidak pernah mampu mendefinisikan dirinya sendiri. Bukankah yang sering mendinisikannya adalah para filsuf dan para ekonom?
Kedua: politik bukanlah pelindung pasar, mereka adalah perusak pasar. Bukankah yang sering mengklaim tentang kemampuan mensejahterakan bukan orang pasar, tapi para politikus?
Ketiga: Membuat, menciptakan serta menghancurkan nilai adalah kodrat ekstensial manusia. Tapi bukankah para sastrawan sering mengejeknya? dan hanya sedikit yang mampu mengapreasiasinya. Karena tema ini tidak akan pernah dianggap sebagai “imajinatif”.
Penulis yang hanya mencerna sesuatu berdasar pada sebatas barisan-barisan teks, saya yakin dia bakal gagal memaknai semuanya! seperti tulisan GM yang satu ini! tolong dipikir lagi.

58. Maximillian - April 1, 2009

Distorsi makna metaforik sebuah naskah ya Bang ? Sebenarnya, kasuistik sih, tapi repetisi yang konkret, bahkan untuk “menafsirkan” naskah wahyu Tuhan pun, hendaknya berhati- hati, dan pada bagian akhirnya selalu idiom bahwa Tuhanlah yang tahu makna sebenarnya, harus disampaikan dengan tegas.

Distorsi ideologi selalu punya sisi permainan yang terisi oleh pemain- pemain baru, yang mereka ternyata juga punya pengikut, dan distorsi ideologi jadinya ideologi bernama distorsi ideologi deh, manusia banget lah pokoknya. ^_^ Cool Bang Goen, nice writing as usual

59. podolisasi prima - April 1, 2009

Esais ini tampaknya lagi penuh canda jenaka setelah login fesbuk, sesuatu yang tidak disukai olehnya sebelumnya. Setelah ada pihak lain yg create profilnya. Diakuinya:85 % waktunya online diisi dengan bergurau. Dulu di caping 1 & 2 banyak humor disana. Berikutnya, murung, murung dan banyak bertanya. waiting for next caping, humor
bs diterima semua orang, mungkin.

gundul pringis!

60. Ajie - April 1, 2009

@podolisasi prima
Gak sabar nunggu postingan “Karnivalesk” neh kayaknya..hehehe. Mas Anick lagi sibuk berat sepertinya.

61. anick - April 1, 2009

Siap bos, siap!

62. podolisasi prima - April 1, 2009

hahaha mas anick onfire!
kita kan orang endonesa, biarpun terlihat sdh melintasi samudra.
besar dengan sontrek warkop, mas boy, alm bang beng, dan lucu2-an pergantian rezim.dikira bakal kolaps, ga kolap2 juga tuh.
Merayakan kehidupan, merayakan cekakak-cekikik!

63. Ajie - April 2, 2009

Nah kan beneran saking sibuknya sampai kurang teliti caping “Tiga Fantasi” kelewat.. 😛

64. massto - April 3, 2009

kayaknya mas anick melok sibuk dadi caleg mas ajie??..hihi

65. Loginataka - April 3, 2009

@Giyanto

Bagaimana cara kita ‘mencerna sesuatu’, agar kita tidak gagal ‘memaknai semua’ dalam konteks (bukan) pasar metaforik seperti tulisan GM di atas?

66. ochidov - April 3, 2009

@Rusdy
dikit kata banyak makna
talk less do more….

67. urangrantau - April 3, 2009

Partai baru itu menawarkan “negara” untuk “pasar” agar “yang bukan pasar” tetap bernafas???

68. Rusdy - April 4, 2009

@ochidov
talk less do nothing 😛

69. anick - April 6, 2009

Wadochhh, pada merhatiin daku sepertinya. Senengnya…..
Maap ye maap. Lg sibuk istikharah: mo golput apa golhit, jadi capingnya agak2 terabaikan.

Demikian.

70. Zul Azmi Sibuea - April 24, 2009

Dipasar bringharjo : aku tak tuku yo, ya aku jual-ini dilakoni dengan denga tulus dengan semangat sama-sama untung, sama-sama menang, menang menjual, menang yang membeli. Dan kalimat yang mereka sebutkan adalah semacam akad, akad jual beli dengan lisan, yang syah menurut hukum formal manapun ,tapi tidak direcord.
Yang direcord dan dicatat siapa dengan siapa yang melakukan transaksi jual beli, berapa banyak barang, berapa harga, dimana dilakukan serah terima , bagaimana cara bayar disebut kontrak , sebagai pengganti akad, dan ini sama syahnya menurut hukum manapun.

Singkat kata saya hanya ingin mengatakan bahwa pasar itu institusi, selain tempat dimana harga mempertemukan penjual dan pembeli.
Sebagai institusi pasar mesti ada yang jaga, artinya tidak boleh ada kecurangan dipasar, timbangan mesti benar, barang masuk tidak boleh dibajak sebelum tiba dipintu , sebuah pasar mesti dipenuhi informasi mengenai barang atau benda yang dijual dan dibeli, – kata orang pasar yang “agak” ideal adalah pasar modal, walaupun saya tidak percaya pernyataan ini.

bahwa pasar adalah institusi, maka kewajiban setiap isinya pasar untuk menjaga agar institusi itu berlanjut, penjaga keamanan dan penjaga kemaslahatan bertanggung jawab terhadap institusi itu. semua orang pergi kepasar, semua orang membeli dipasar tapi tak satupun orang yang menjaga pasar sebagai institusi – makanya pasar berkembang menjadi suku-suka pegiat dipasar itu. pasar didrive orang yang dominan dipasar, yang kuasa harga dipasar, yang kuasa keamanan dipasar, yang kuasa permodalan dipasar – di pasar terdapat banyak sekali interest yang tumpang tindih. pada umumnya adalah keuntungan setinggi-tingginya tanpa perduli orang lain.
keaaan ini kita sebut “keserakahan perseorangan” yang meraja seperti pada “The Virtue of Greed dan In Defense of Greed”.

pasar diinginkan ada untuk tukar kebutuhan dan keperluan, tidak harus didasari keserakahan, orang bebas menjual dan membeli, orang bebas masuk dan pergi – institusi ini mesti dijaga bersama, siapa bersama itu ???????? tiap orang bisa ngaranglah…….terserah…..

salam
zul azmi sibuea


Tinggalkan Balasan ke podolisasi prima Batalkan balasan