jump to navigation

Padri Agustus 24, 2009

Posted by anick in Agama, All Posts, Fundamentalisme, Islam, Sejarah, Tokoh.
trackback

Pada bulan puasa tahun 1818, Thomas Standford Raffles memasuki pedalaman Minangkabau. Ia ingin menemukan kerajaan Pagaruyung.

Menurut cerita, kerajaan ini tegak sebelum Islam datang, tapi sejak orang Portugis mendatanginya di tahun 1648 ia tak pernah lagi diketahui orang luar. Pagaruyung hidup bagaikan sebuah kerajaan dongeng, berlanjut sampai hari ini.

Syahdan, Raffles praktis tak menemukan petilasan apa pun. Yang dilihatnya cuma seonggok puing yang dibatasi pohon buah dan nyiur. Tapi, seperti ditulis dengan menarik oleh Jeffrey Hadler dalam Muslims and Matriarchs, (NUS Press, 2009), Raffles mampu merekonstruksi sebuah masa lalu dari fantasi hingga jadi sejarah, mungkin melalui “a feat of archeological alchemy”. Maka lahirlah Pagaruyung yang megah tapi tak bersisa. Konon ia tiga kali terbakar dan reruntuhannya terabaikan selama Perang Padri yang waktu itu baru tiga tahun berlangsung.

Bagi Raffles, (ia masih Letnan-Gubernur Inggris di Bengkulu), tema itu penting. Ia seorang Inggris yang tertarik kepada apa saja yang “India”, dan ingin membuktikan adanya kekuasaan Hindu-Melayu yang kemudian runtuh karena datangnya Islam. Tersirat dalam pandangannya, Islam adalah kekuatan pendatang yang tak membangun apa-apa.

Apalagi Islam, bagi Raffles, adalah Islam sebagaimana ditampakkan kaum Padri: sejumlah orang berjubah putih dan bersorban dalam pelbagai bentuk, berjanggut pula, dan jadi variasi lokal dari kaum Wahabi yang keras dan sewenang-sewenang di gurun pasir Arabia.

Pandangannya tentang Islam tak ramah tapi dalam satu hal Raffles tak sepenuhnya salah. Kaum Wahabi yang menguasai Mekkah sejak 1806 sampai dengan 1812 mengumandangkan ajaran yang menampik tafsir apapun tentang Qur’an. Mereka dengan keras menuntut agar kaum muslimin kembali ke teks kitab suci dan Hadith, (seakan-akan sikap mereka sendiri bukan sebuah tafsir), dan di Hijaz mereka bakar kitab, mereka hancurkan kubur dan tempat ziarah, dan mereka habisi orang-orang yang tak sepaham.

Di masa itulah tiga orang haji dari Minangkabau pulang. Mereka tak bisa lagi menerima kebudayaan Minangkabau yang matriarkat. Penampikan mereka radikal. Haji Miskin, salah seorang dari ketiga haji itu, mendirikan desa-desa yang dilingkari tembok, dan mencoba menerapkan sejenis budaya Arab di wilayah pedalaman Sumatra Barat itu.

Sikap radikal itu membuka jalan kekerasan. Dalam buku Hadler dikutip laporan bagaimana Tuanku nan Renceh membunuh bibinya sendiri. Jihad pun dimaklumkan terhadap lapisan sosial yang matriarkal, rumah-rumah gadang dibumihanguskan dan para pemimpin adat dibunuh. Pada 1815, dengan pura-pura mengundang berunding, kaum Padri membinasakan keluarga kerajaan Pagaruyung di dekat Batusangkar.

Baru pada 1821 kekuasaan kolonial Belanda masuk ke kancah sengketa. Tapi konflik bersenjata itu masih panjang, dan barus habis setelah 27 tahun. Apa sebenarnya yang didapat?

Kerusakan, tentu, tapi juga satu titik, ketika orang menyadari bahwa tiap tatanan sosial dibentuk oleh kekurangannya sendiri. Kaum Padri bisa mengatakan bahwa Islam adalah sebuah jalan lurus. Tapi jalan yang paling lurus sekali pun tetap sebuah jalan: tempat orang datang dari penjuru yang jauh dan dekat, berpapasan, tak menetap. Yang menentukan pada akhirnya bukanlah bentuk jalan itu, melainkan orang-orang yang menempuhnya. Islam jalan lurus, tapi Minangkabau akhirnya tak seperti yang dikehendaki kaum Padri.

Orang yang cukup arif untuk menerima ketidak-sempurnaan itu adalah Tuanku Imam Bonjol. Muslims and Matriarchs — yang dipuji Sejarawan Taufik Abdullah sebagai salah satu buku terbaik tentang Minangkabau selama dua dasawarsa terakhir – menampilkan segi yang menarik dalam hidup tokoh ini.

Imam Bonjol bukanlah tokoh paling agresif dalam gerakan Padri. Tapi sudah sejak awal 1800-an ia ikut membentuk sebuah bentang Padri di Alahan Panjang. Kemudian ia pindah ke Bonjol, yang jadi pusat yang kaya karena berhasil mengumpulkan hasil jarahan perang. Dari sini ia mengatur pembakaran di Koto Gadang dan peng-Islam-an masyarakat Batak di Tapanuli Selatan. Imam Bonjol ulung dalam pertempuran, juga ketika menghadapi pasukan Belanda, karena ia menguasai sumber padi dan tambang emas yang menjamin suplai yang tetap bagi pasukannya.

Tapi ia bukan seorang yang membabi buta dalam soal ajaran. Memoarnya, Naskah Tuanku Imam Bonjol, menyebutkan bagaimana pada suatu hari ia bimbang: benarkah yang dijalankannya sesuai dengan Qur’an? Selama delapan hari ia merenung dan akhirnya ia mengirim empat utusan ke Mekkah. Pada 1832 utusan itu kembali dengan kabar: kaum Wahabi telah jatuh dan ajaran yang dibawa Haji Miskin dinyatakan tak sahih.

Maka Imam Bonjol pun berubah. Ia mengundang rapat akbar para tuanku, hakim, dan penghulu. Ia mengumumkan perdamaian. Ia kembalikan semua hasil jarahan perang. Ia berjanji tak akan mengganggu kerja para kepada adat. Sebuah kompromi besar berlaku. Di tahun 1837, administratior Belanda mencatat bagaimana masyarakat luas menerima formula yang lahir dari keputusan Imam Bonjol itu: “Adat barsan di Sarak dan Sarak barsan di Adat”.

Akhirnya, syariat Islam ternyata tak bisa berjalan sendiri – juga seandainya perang Padri diteruskan. Paguruyung tersisa atau tidak, kerajaan pra-Islam itu hanya mitos atau bukan, tapi ada sesuatu yang tetap bertahan dari masa lampau – sesuatu yang tak tertangkap oleh hukum apapun, sesuatu Entah yang ada bersama sejarah.

~Majalah Tempo Edisi 24 Agustus 2009~

Komentar»

1. sutoyo rahadi - Agustus 29, 2009

Dari “Padri” , saya yang awam jadi merasa bagian dari komunitas besar yang terjebak ke dalam pemahaman yang telanjur cekak. Kecekakan itu membuat saya ngotot hingga tak lagi mampu membedakan antara langkah yang diajarkan agama, ataukah langkah yang didorong oleh nafsu ego dan adat-budaya serta karakter sekadar lingkungan.

Apapun, “Padri” sudah ikut memerikan dan memberikan penawaran pola berfikir jernih dan jatmika. Terimakasih, Gun. ***

2. zul azmi sibuea - Agustus 31, 2009

bukankah ““Adat barsandi Syara’ dan Syara’ barsandi Kitabullah”., yang bisa diterjemahkan dalam bahasa indonesia menjadi : adat bersendi syari’ah , dan syari’ah bersendi Al-Qur’an’.

saya juga hanya sering mendengarnya, dan membacanya pada tulisan non referensi – bila diantara rekan2 punya sumber, bahwa penulisannya seperti apa yang ditulis gm pada artikel diatas mohon informasinya.

catatancatatan - Agustus 5, 2012

awalnya memang ‘adat basandi sara, dan sarak basandi adat. dan sebelumnya lagi, adat basandi ka alua jo patuik, alua jo patuik basandi ka kabanaran, dan kabanaran badiri sendirinyo. (maaf bila penulisannya salah)

3. Bayu Probo - Agustus 31, 2009

sebuah pencerahan bagi saya

4. djaka - Agustus 31, 2009

Lalu kenapa Imam Bonjol tetap ditangkap Belanda dan dibuang ke Minahasa, jika laporan sang administratur bernada spt itu ya ?

5. ochidov - September 1, 2009

Kalijaga memukul gamelan “ojo rumungso iso, nanging isoho rumongso” (jangan merasa bisa, tapi bisalah merasa-dengan kebajikan).
aku pikir sejarah seperti itu, bila tidak, kita-pasti-telah menjadi korban.

6. riyanto - September 1, 2009

tulisan yang memukau, membuka cakrawala, cerdas dan bikin orang gak saling ngotot untuk mempertahankan pendapatnya. ya JALAN LURUS jalan tetaplah jalan dimana orang berpapasan, buang hajat, dll. Pak Goen adalah sufinya orang modern. salam hangat selalu Riyanto.

7. Imam Ridwan - September 4, 2009

menarik, kira-kira tulisan ini ada untuk apa ya? apa yang sebenarnya ingin dikatakan mas Gun dengan ini

8. EDO VIRAMA PUTRA - September 7, 2009

yang jelas, perang padri bagi saya merupakan tragedi sejarah yan g rumit, pertentangan kaum adat dan agama, serta pergolakan pemikiran diatara mereka. dan akhirnya masuk juga belanda. Dan benang merah diambil untuk melawan belanda. kalaupun om gunawan menggambarkan sosok imam bonjol “bukanlah” tokoh agresif. Tapi banyak tokoh lain yang terlibat dalam perang padri. dan itu adalah perang pemikiran..

9. Nyubi - September 29, 2009

Walau terkadang susah mendalami tulisannya, selalu ingin membacanya sampai tuntas 🙂

10. josef - Oktober 1, 2009

Ordo, Sektarian adalah tempat benteng perlindungan. Dia harus diperkuat dengan nilai-nilai ajaran kepatuhan kepada Sang Pemimpin yang melindungi pengikutnya dari ancaman marabahaya walaupun sang pemimpin itu tidak luput dari marabahaya. Indoctrinasi perlu disertai ancaman terhadap anggota yang disersi. Anggota harus melayani segala permintan Sang Pemimpin sektarian seperti dewa memberi titah yang harus dilaksanakan. Sebagai Pemimpin sektarian ia harus lain, bukan seperti manusia tapi makluk dari planet lain. Pengikut butuh bukti bahwa ia adalah irrasional. dimana logika untuk adalah hal yang tabu bagi pemimpin sektarian.Pada hakekatnya anggota yang harus menangung semuanya.

11. josef - Oktober 5, 2009

Sedikit banyak para pimpinan sering meminta pengorbanan dari anak buahnya sebagai tanda kesetiaan. Ada kesan yang terlalu dilebih2kan untuk menarik perhatian dari luar masuk. Ada hal yang patut diperhatikan di sini, yaitu kekuasaan politik pimpinan untuk mansejahterakan anggota atau kesejahteraan anggota dikorbankan demi kekuasaan politik pimpinan. bagai orang pandai yang terakhir ini mungkin tidak kita dipilih. Sekarang ini yang penting adalah kesejahteraan dan yang lainnya belakangan. Biar orang lain menuduh atheis, asosial, tidak berbudaya bukan soal asal tidak melanggar hukum yang dibuat manusianya sendiri. Kemampuan manusia terbatas, jika harus mengukuhi semuannya, banyak energi yang dibutuhkan. Jika ingin hidup carilah uang. Lebih baik melakukan suatu kejahatan daripada tidak berbuat suatu apapun. Saya punya teman yang sering keluar masuk penjara karena memang disengaja, hidup diluar penjara ternyata lebih susah baginya. Ia tahu penjara hanya mungkin menampungnya untuk sementara waktu setelah itu ia akan berbuat kejahatan lagi. Permasalahan dilapisan dasar sosial tak tersentuh dipermukaan dan menjadi tugas yang harus segera diselesaikan. Di era modernsasi ini dampak kegagalan sosial dari kapitalisme harus ditutupi.

12. riza - Oktober 8, 2009

Penulis, sastrawan, pengarang…. (tukang ngarang?!?) memang pandai menggugah, menuntun logika. Entahlah… Kadang, ada tulisan menarik secara logika dikutip dan disebarluaskan. Berikut nara sumbernya, judulnya, serta penerbitnya. Cerita tentang Imam Bonjol, Wahabi, Thomas Standford Raffles …. Kalau penulis, sastrawan, pengarang punya nama yang bikin, itu pasti sudah pasti benar. Pernahkah mereka menelusurinya hingga detail, rinci dan lengkap, seperti Imam Bukhari yang rinci meneliti setiap orang yang merawikan hadist? Atau memang kita lebih suka dengan cerita mitos, dongeng sebagai pelipur lara? Tak peduli salah, yang penting masuk logika….?

13. tengkuputeh - Januari 22, 2010

Tuanku Imam Bonjol adalah orang hebat, mampu mengislamkan Tapanuli Selatan. Satu hal yang tidak mampu dilakukan Kesultanan Aceh terhadap Tapanuli Utara…

14. n - Agustus 27, 2010

salam,
bapak, mohon pencerahan tentang tulisan ini
[Di masa itulah tiga orang haji dari Minangkabau pulang. Mereka tak bisa lagi menerima kebudayaan Minangkabau yang matriarkat. Penampikan mereka radikal. Haji Miskin, salah seorang dari ketiga haji itu, mendirikan desa-desa yang dilingkari tembok, dan mencoba menerapkan sejenis budaya Arab di wilayah pedalaman Sumatra Barat itu.]

persisnya dimanakah “desa-desa yang dilingkari tembok” itu berada?

terima kasih atas perhatiannya 🙂

wassalam,
n.ikhnas


Tinggalkan Balasan ke ochidov Batalkan balasan