jump to navigation

Perajam September 28, 2009

Posted by anick in Agama, All Posts, Hukum, Islam, Tuhan.
trackback

INI sebuah cerita yang telah lama beredar, sebuah kisah yang termasyhur dalam Injil, yang dimulai di sebuah pagi di pelataran Baitullah, ketika Yesus duduk mengajar.

Orang-orang mendengarkan. Tiba-tiba guru Taurat dan orang Farisi datang. Mereka membawa seorang perempuan yang langsung mereka paksa berdiri di tengah orang banyak.

Perempuan itu tertangkap basah berzina, kata mereka. ”Hukum Taurat Musa memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian dengan batu,” kata para pemimpin Yahudi itu pula. Mereka tampak mengetahui hukum itu, tapi toh mereka bertanya: ”Apa yang harus kami lakukan?”

Bagi Yohanes, yang mencatat kejadian ini, guru Taurat dan orang Farisi itu memang berniat ”menjebak” Yesus. Mereka ingin agar sosok yang mereka panggil ”Guru” itu (mungkin dengan cemooh?) mengucapkan sesuatu yang salah.

Saya seorang muslim, bukan penafsir Injil. Saya hanya mengira-ngira latar belakang kejadian ini: para pakar Taurat dan kaum Farisi agaknya curiga, Yesus telah mengajarkan sikap beragama yang keliru. Diduga bahwa ia tak mempedulikan hukum yang tercantum di Kitab Suci; bukankah ia berani melanggar larangan bekerja di ladang di hari Sabbath? Mungkin telah mereka dengar, bagi Yesus iman tak bisa diatur pakar hukum. Beriman adalah menghayati hidup yang terus-menerus diciptakan Tuhan dan dirawat dengan cinta-kasih.

Tapi bagi para pemimpin Yahudi itu sikap meremehkan hukum Taurat tak bisa dibiarkan. Terutama di mata kaum Farisi yang, di antara kelompok penganut Yudaisme lain, paling gigih ingin memurnikan hidup sehari-hari dengan menjaga konsistensi akidah.

Maka pagi itu mereka ingin ”menjebak” Yesus.

Tapi Yesus tak menjawab. Ia hanya membungkuk dan menuliskan sesuatu dengan jari-jarinya di tanah. Dan ketika ”pemimpin Yahudi itu terus-menerus bertanya,” demikian menurut Yohanes, Yesus pun berdiri. Ia berkata, ”Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Lalu Yesus membungkuk lagi dan menulis di tanah.

Suasana mendadak senyap. Tak ada yang bertindak. Tak seorang pun siap melemparkan batu, memulai rajam itu. Bahkan ”satu demi satu orang-orang itu pergi, didahului oleh yang tertua.” Akhirnya di sana tinggal Yesus dan perempuan yang dituduh pezina itu, kepada siapa ia berkata: ”Aku pun tak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”

Tak ada rajam. Tak ada hukuman. Kejadian pagi itu kemudian jadi tauladan: menghukum habis-habisan seorang pendosa tak akan mengubah apa-apa; sebaliknya empati, uluran hati, dan pengampunan adalah laku yang transformatif.

Tapi bagi saya yang lebih menarik adalah momen ketika Yesus membungkuk dan menuliskan sesuatu dengan jarinya ke atas tanah. Apa yang digoreskannya?

Tak ada yang tahu. Saya hanya mengkhayalkan: itu sebuah isyarat. Jika dengan jarinya Yesus menuliskan sejumlah huruf pada pasir, ia hendak menunjukkan bahwa pada tiap konstruksi harfiah niscaya ada elemen yang tak menetap. Kata-kata—juga dalam hukum Taurat—tak pernah lepas dari bumi, meskipun bukan dibentuk oleh bumi. Kata-kata disusun oleh tubuh (”jari-jari”), meskipun bukan perpanjangan tubuh. Pasir itu akan diinjak para pejalan: di atas permukaan bumi, memang akan selalu melintas makna, tapi ada yang niscaya berubah atau hilang dari makna itu.

Di pelataran Bait itu, Yesus memang tampak tak menampik ketentuan Taurat. Ia tak meniadakan sanksi rajam itu. Tapi secara radikal ia ubah hukum jadi sebuah unsur dalam pengalaman, jadi satu bagian dari hidup orang per orang di sebuah saat di sebuah tempat. Hukum tak lagi dituliskan untuk siapa saja, di mana saja, kapan saja. Ketika Yesus berbicara ”barangsiapa di antara kamu yang tak berdosa”, hukum serta-merta bersentuhan dengan ”siapa”, bukan ”apa”—dengan jiwa, hasrat, ingatan tiap orang yang hadir di pelataran Bait di pagi itu.

Para calon perajam itu bukan lagi mesin pendukung akidah. Mendadak mereka melihat diri masing-masing. Aku sendiri tak sepenuhnya cocok dengan hukum Allah. Aku sebuah situasi kompleks yang terbentuk oleh perkalian yang simpang-siur. Kemarin apa saja yang kulakukan? Nanti apa pula?

Dan di saat itu juga, si tertuduh bukan lagi hanya satu eksemplar dari ”perempuan-perempuan yang demikian”. Ia satu sosok, wajah, dan riwayat yang singular, tak terbandingkan—dan sebab itu tak terumuskan. Ia kisah yang kemarin tak ada, besok tak terulang, dan kini tak sepenuhnya kumengerti. Siapa gerangan namanya, kenapa ia sampai didakwa?

Perempuan itu, juga tiap orang yang hadir di pelataran itu, adalah nasib yang datang entah dari mana dan entah akan ke mana. Chairil Anwar benar: ”Nasib adalah kesunyian masing-masing”.

Dalam esainya tentang kejadian di pelataran Baitullah itu, René Girard—yang menganggap mimesis begitu penting dalam hidup manusia—menunjukkan satu adegan yang menarik: setelah terhenyak mendengar kata-kata Yesus itu, ”satu demi satu orang-orang itu pergi….” Pada saat itulah, dorongan mimesis—hasrat manusia menirukan yang dilakukan dan diperoleh orang lain—berhenti sebagai faktor yang menguasai perilaku. Dari kancah orang ramai itu muncul individu, orang seorang. ”Teks Injil itu,” kata Girard, ”dapat dibaca hampir secara alegoris tentang munculnya ke-person-an yang sejati dari gerombolan yang primordial.”

Tapi kepada siapakah sebenarnya agama berbicara: kepada tiap person dalam kesunyian masing-masing? Atau kepada ”gerombolan”? Saya tak tahu. Di pelataran itu Yesus membungkuk, membisu, hanya mengguratkan jarinya. Ketika ia berdiri, ia berkata ke arah orang banyak. Tapi sepotong kalimat itu tak berteriak.

~Majalah Tempo Senin, 28 September 2009~

Komentar»

1. heru tulus - Oktober 7, 2009

Mengingatkan kepada kita untuk tidak mudah tunjuk sana sini menyalahkan seseorang.
Beda masa dulu dengan sekarang. Pertanyaan yang timbul adalah apakah gerombolan massa itu akan sempat bertanya dan sempat mendengarkan jawabannya.

2. fajri gelu - Oktober 7, 2009

Ada saat di mana kita menempati posisi yang dihukum dan ada saat di mana kitalah seolah menjadi yang menghukum…DIRI KITA SENDIRI

3. jf - Oktober 12, 2009

Saya tidak pandai menafsirkan suatu ajaran Bijak. Apakah menyembelih hewan kurban itu sebagai tanda penebusan atas dosa-dosa yang layak dihukum dengan (pelaku), yang diwakili oleh hewan tadi dan dihukum (sembelih). Sehingga dosa2 yang sebelumnya telah lunas ditebus dengan nyawa si hewan persembahan tadi dan tidak menimbulkan suatu dendam si kurban (hewan tak mengerti tentang bab ini). Apakah Mesias ini berniat mengorbankan dirinya, untuk menebus dosa2 kaumnya (dengan) tanpa merasa dendam, dan perlukah pengorbanan ini dilakukan. Ah tidak, mungkin aku keliru menebaknya kali ini. Seandainya penebusan atas dosaku di dapat wakilkan pada hewan (korban lain diriku), tentu aku bersemangat mencari hewan kurban (kambing/hitam) lainnya untuk menebus kesalahanku dan tidak menimbulkan dendam si kurban (karena hewan tidak mengerti tentang bab ini).

4. j.fz - Oktober 13, 2009

Bukannya aku salah (menulis sana-sini seenaknya), dan terekspos oleh siapa saja karena aku lihat sistem blog ini terlalu bebas. Yg mungkin dapat menimbulkan perbedaan persepsi didalamya. Mungkin pelajaran yang bisa kuambil dari Sang Mesias ini cukup banyak dan rumit sekali yang bisa kita lihat dalam kitab Injil ini. yaitu pernyataan Paulus bahwa para Imam Yahudi harus menanggung sendiri akibatnya atas penyaliban Mesias ini, dan ia sudah tidak mau mencampuri urusan ini lagi (cuci tangan), karena diantara dua pilihan yang Paulus berikan,Sang Mesias atau Barabas (penjahat yang kejam). Para Imam Yahudi lebih memilih Sang Mesias disalib dan Barabas dibebaskan. Kenapa para Imam Yahudi lebih memilih Sang Mesias yang disalib?

5. jeanny - Oktober 13, 2009

Pada saat, jari telunjuk kita menunjuk ke orang, sebagian besar jari kita menunjuk ke diri kita sendiri.
Tapi siapakah kita? Saat kita menunjuk?
Apakah kita akan merasa lebih baik, saat menunjuk atau setelah. Atau betul-betul lebih baik?
Perjalanan kita dalam belajar tentang ilmu kehidupan memang masih panjang. Dan bahkan bisa lebih panjang lagi, saat kita lengah.
Semua terpulang kepada masing-masing kita.
Semoga Semua Diberi Damai di Hati.

6. zul azmi sibuea - Oktober 16, 2009

”Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” adalah kutipan yang jadi sari pati dari judul diatas “Perajam”. Betulkah hakekat arti dari rajam sama dengan “melempar dengan batu”.

barangkali saya salah, dalam asosiasi saya, termasuk dalam pengertian rajam adalah juga “cambuk” menggunakan batang seperti rotan, atau cambuk artifisial menyerupai buntut kerbau, atau ekor ikan pari.

tapi entahlah, bahkan jangan-jangan kekerasan verbal yang seringkali jadi bahan dikusi pada tema kekerasan dalam rumah tangga juga termasuk dalam pengertian “kutuk atau rajam”, seperti tertera pada tarjamah “A’udzu bi Allahi minasy syaithonir RAJIM” menjadi ” Aku berlindung kepada Allah dari syetan yang TERKUTUK”

7. Anonim - Oktober 16, 2009

Mimesis apa segitiga hasrat? kok saya kurang jelas siapa yang bikin itu skema mimesis dan turunannya segala .Rene Girard itu rohaniawan apa penulis/peneliti, ya ? jangan2 dia meniru jejak Bapak Sigmund Freudy

8. Anonim - Oktober 16, 2009

Mimesis apa segitiga hasrat? kok saya kurang jelas siapa yang bikin itu skema mimesis dan turunannya segala .Rene Girard itu rohaniawan apa penulis/peneliti, ya ? jangan2 dia peniru jejak Bapak Sigmund Freudy

9. Anonim - Oktober 16, 2009

Tapi kepada siapakah sebenarnya Agama berbicara: kepada tiap person dalam kesunyiannya masing2 ? Atau pada “gerombolan”?. Saya tak tahu. Ini pertanyaan agak sulit dan sedikit menjebak seperti Agama untuk (kebaikan) Person atau Gerombolan (kasar dari kaum). Girard…munculnya ke-person-an yang sejati dari gerombolan yang primodial. Ini apa muncul individu sejati terpisah dari gerombolan primodial bertentangan dari beberapa individu menyatu menjadi suatu gerombolan.
Tak ada rajam, tak ada hukuman. Menghukum seorang pendosa tak akan mengubah apa2.Sebaliknya empati, uluran hati, dan pengampunan adalah laku yang tranformatif. Apa seperti mengampuni kesalahan lebih baik kedepannya daripada memberikan suatu hukuman. Saya kurang tahu apa maksud GM kali ini. (Apa dari dalam urusan -hukum menghukum- ini setan bermain dalam mengatur strategi adu dombanya )

10. pakde jojon - Oktober 16, 2009

Until the philosophy which hold one race superior and another inferior is finally and permanently discredited and abandoned : EVERYWHERE IS WAR !!
(Bob Marley)

11. ibra - Oktober 16, 2009

siapa yang berhak menentukan tafsir mana yang paling benar?
jawabnya : warga Aceh sendiri.

12. Anonim - Oktober 16, 2009

30 juta lebih nazi membunuh (memperkosa, menggantung, mutilasi,membakar,merampasi makanan penduduk,-saya lihat sendiri video dokumenternya) warga Uni Sovyet. Dibalas juga (lebih kejam) pasukan Merah dengan melakukan hal serupa pada penduduk keturunan Skandinavia ini. Apakah Yesus harus mati dua kali untuk mengampuni dosa2 Hitler dan Joseph Stalin. Dimana Vatikan ternyata tak berdaya, mungkin juga (kompromi) sama tuh setan -Benito Musolini.

13. Anonim - Oktober 16, 2009

Dengan ini saya bukan pendukung teori Evolusi Darwin dimana spesies yang kuat yang akan meneruskan riwayatnya dibumi ini dan yang lemah harus punah karena seleksi alam. Karena disitulah peran Agama dibutuhkan (menyelamatkan kaum-gerombolan-yang lemah dari kepunahan yang disengaja/tidak disengaja). Turunkanlah tarif pajak (membuat harga kebutuhan pokok makin tinggi) karena banyak orang sulit cari pekerjaan.

14. josef fauze - Oktober 17, 2009

Salah satu kejahatan yang tidak bisa dimaafkan adalah kemunafikan. bila memaafkan para munafik, dengan sendirinya menjadi munafik (William Hzlitt). Penerimaan Pemerintah akan sebuah media kaum Pembangkang merupakan ukuran kedewasaan sebuah Bangsa (William O. Douglas). Sekarang ada doa yang amat mujarab, demikian bunyinya: O, Dollar yang Maha Kuasa ! (Washington Irving). Yang sebaiknya terjadi adalah Agama demi Agama, Moral demi Moral, dan Seni demi Seni (Victor Cousin). Terlalu banyak membuang waktu untuk studi adalah kemalasan. Mempergunakan studi untuk dipamerkan adalah soal tanggungjawab perasaan, dan membuat keputusan yang sepenuhnya tergantung pada hasil-hasil studi adalah lelucon para cendekiawan.Oleh karena itu membaca bukan untuk pertentangan atau menimbulkan keraguan, bukan untuk dipercaya atau ditaati begitu saja, bukan pula dijadikan bahan pembicaran atau diskusi, melainkan untuk direnungkan dan dipertimbangkan (Francis Bacon). Ketidak percayaan yang paling menakutkan adalah ketidak percayaan pada diri sendiri. Jangan pernah sudi menjadi budak kata-kata, apalagi hanya kata-kata dari orang lain(Thomas Carlyle).

15. zul azmi sibuea - Oktober 19, 2009

setiap orang punya hak untuk menafsir bagi dirinya sendiri, ia bisa “menjual” kalau “layak jual”. kalau boleh sedikit saya extend pengertian kata menafsir / menginterpretasi kira-kira : melakukan approach terhadap suatu premis secara logis , runtut berdasarkan apa yang diketahui, dirasakan, dan didiskusikan secara terbatas sebelum di ekspose/pasarkan.

katakanlah secara sederhana, menafsir, kira-kira sama dengan proses berfikir teratur mengenai sebuah premis – saya memahami seperti semacam “ijtihad halus”, yang menjadi ciri dari dorongan emisi pengetahuan dari Yang Maha Tahu, agar manusia secara interaktif, integratif dan berevolusi kreatif belajar menata kehidupan bersama (ijma) dalam terang cahaya pengetahuan Tuhan di alam yang fana ini.

bila kita sepakat bahwa kita bicara dan bertindak atas nama kemaslahatan bersama, tentu tidak ada konflik dengan “kepentingan diri-sendiri/golongan – kalau itu masih terjadi sama saja kita tidak pernah bersepakat artinya too many politic dan tidak akan pernah commit. “

16. ibra - Oktober 19, 2009

sejujurnya, bertindak atas nama kemaslahatan diri sendiri itu jauh lebih gampang dimengerti daripada bertindak atas nama kemaslahatan bersama.

dan konflik akan tetap terjadi. dan konflik tidak selalu memiliki tendensi negatif. dan kita kadang juga harus rela melepas harapan bahwa konsensus ideal, atau equlibrium tidak terjadi.

“hidup adalah interpretasi”, begitu kata Nietzsche. saya kurang bisa membatasinya di sini. satu-satunya yang saya tahu sampai jauh seperti ini, bahwa saya tidak tahu apa-apa. saya juga belum menemukan ayat Quran tentang rajam. mohon dikasih tahu.

17. ibra - Oktober 19, 2009

yang saya maksud hukum rajam sampai mati “stoning to death”. seperti cerita di atas. kalau cambuk seratus kali, ya itu betul ada.

18. o - Oktober 19, 2009

Tingkah laku manusia lebih efektif jika berdasarkan simpati, pendidikan , dan ikatan-ikatan sosial, daripada berdasarkan norma-norma keagamaan. Masalahnya, mutu tingkah laku manusia akan rendah manakala hal itu hanya terdorong oleh ketakutan akan hukum neraka dan anugerah surga setelah nanti mati.Al.E (fisikawan).

19. o - Oktober 19, 2009

Ada tiga sumber dasar-dasar moral dan politis yang mengarahkan manusia, yaitu wahyu, hukum alam, dan kesepakatan-kesepakatan sosial. Itulah sebabnya muncul tiga perbedaan dalam keutamaan dan kejahatan, yakni yang bersifat keagamaan, alam dan politis. (Marchese Di Beccaria)

20. o - Oktober 23, 2009

Segala sesuatu yang pernah dilakukan dan dipikirkan manusia selalu berkaitan dengan hasrat terpendam untuk membebaskan diri dari kepahitan-kepahitan. Orang harus senantiasa memupuk hal ini dalam akal dan jiwanya jika ingin mengetahui perkembanganan perubahan spiritual yang berlangsung dalam dirinya.- Jika kita memang manusia, maka kita harus melakukan kebaikan atau kejahatan. Selama kita melakukan kebaikan atau kejahatan berarti kita masih manusia. Dalam pengertian ekstem, adalah lebih baik melakukan kejahatan daripada tidak melakukan apa-apa. Dengan ini, sekurang-kurangnya kita masih hidup.(Albert Einstein).-Kekayaan bukanlah hak yang dikuduskan. Jika si kaya menjadi miskin, itu hanyalah nasib buruk, bukan kejahatan moral. Kejahatan moral muncul jika si miskin bertambah miskin, dimana tertimbun sejumlah konsekuensi yang melukai masyarakat dan moralitasnya. (John E.E.Dalberg). -Ketika berada di padang belantara, kita tatap kota di depan yang bernama kota Kesia-siaan.disitu sedang berlangsung pekan raya, Pekan Raya Kesia-siaan. Dipekan raya itu, segala barang dijual, seperti rumah, tanah, perdagangan, tempat-tempat kehormatan, kenaikan pangkat, gelar, nafsu, kenikmatan, dan kesenangan berbagai macam, seperti pelacuran, pergundikan, perjudian, minum-minuman keras dan entah apalagi. Mereka yang tak bisa melihat jalan selain menunduk akan senantiasa berlepotan lumpur ditangannya, sebab mereka akan selalu terjatuh.(John Buyan)

21. learn japanese online - Oktober 25, 2009

Hukum Yahudi dulu memang keras. Tapi apa masih relevan dengan jaman sekarang??

22. oldpito - November 1, 2009

manusia bukanlah buku yang bisa dibaca dengan terang dan jelas. maka menghakimi manusia secara semena-mena adalah keliru…

23. Ikra - Januari 13, 2010

Saya pernah membaca, entah di mana lupa, yang ditulis Yesus pada waktu itu adalah kesalahan tiap-tiap yang hadir pada waktu itu. Versi ini sangat masuk akal dalam konteks itu menurut saya.

24. Catping GM | gumelar4yoga - Juli 15, 2011

[…] Perajam September 28, 2009 […]

25. kota salju - Juli 24, 2011

yg terpenting adalah tampilnya person(ke individuan) bukan mimesis (bertindak karena meniru dan beroleh dari orang lain)

26. nicholasdammen - September 25, 2011

mengajarkan kita untuk menengok dulu ke dalam hati kita sebelum menghakimi org.

27. Benny - Juni 26, 2012

Sy rasa ia sedang menulis nama mrka serta dosa2 mrka masing2^^

28. edy - Desember 14, 2015

Yesus tak menuliskan apa pun di atas tanah itu. Apa yang ia pikirkan, hanya mewujud dalam bentuk coretan-coretan yang tak bermakna.di sana. Mungkin Ia sendiri pun tak kan bisa mengulanginya.

Bukankah apapun yang kita tuliskan di sana, akan mudah terhapus oleh angin sekali pun, Berbeda halnya dengan apa yang kita katakan,


Tinggalkan Balasan ke ibra Batalkan balasan