jump to navigation

Pagoda Maret 26, 2007

Posted by anick in Agama, All Posts.
trackback

Agama dimulai dengan senyap. Tak seorang pun hadir di dekat Budha malam itu. Setelah enyah balatentara Mara, gergasi gaib yang mencoba mengusiknya, Budha melanjutkan meditasi. Akhirnya sampailah ia pada “ empat kebenaran luhur….”

Agama dimulai dari hening dan sebuah saat yang dahsyat. Budha di bawah sebatang pohon di Bodh Gaya, Musa di puncak Sinai, Muhammad di Gua Hira: tiap situasi hadir sebagai situasi terpuncak, momen yang tak lazim, ketika seseorang mengalami kehadiran sesuatu yang Maha Lain, yang numinous, sebagaimana digambarkan Rudolf Otto: misterius, menakutkan, memukau. Di abad ke-5, atau 500 tahun sebelumnya, Santo Agustinus mengucapkan perasaan yang mirip: “Dan aku gemetar dengan kasih dan ngeri”.

Agama dimulai dengan gemetar, ada rasa kasih dan ngeri, ada amor dan horror — tapi tampaknya sesuatu dalam sejarah manusia telah menyebabkan ia berakhir dengan sesuatu yang rapi: konstruksi. Berabad-abad setelah sang numinous, kita pun menyaksikan sesuatu yang tak lagi mengungkapkan senyap. Di hadapan kita kenisah yang megah, mesjid yang agung, gereja yang gigantis, patung emas yang terbujur 14 meter, pagoda dengan pucuk yang berkilau – dan umat yang makmum, berdesak..

Tampaknya pengalaman religius seseorang (dalam kategori William James, “seorang jenius”) akhirnya selalu dicoba diabadikan dengan sesuatu yang kukuh – yang sebenarnya fantasi tentang yang kekal. Atau yang menjulang – yang sebenarnya fantasi tentang yang luhur. Atau yang gemerlapan – yang sebenarnya fantasi tentang yang indah mempesona.

Tidak, kita tak perlu terburu mengecam. Fantasi itu akhirnya toh menghasilkan seni bangun yang mengesankan: Gereja Sacré-Coeur, Pura Besakih, Qubbat as-Sakrah, Borobudur, dan ribuan pagoda yang dari langit Bagan tampak bak deretan bringin hutan di sebuah dataran Myanmar. Fantasi itu buah rindu. Ia tanda damba, takjub dan takzim kepada yang kekal, luhur, dan mempesona – sesuatu yang mau tak mau akan muncul terus, sebab yang dirindukan mustahil tercapai..

Maka fantasi adalah jejak ketak-mampuan mencapai..Ia mempertegas sebuah subyek yang muncul sebagai kekurangan. Tapi juga dengan mudah fantasi bisa jadi pengganti hal yang tak terjangkau tangan, tak terpeluk hati – seperti berhala yang menggantikan Rupa yang jauh.

Manusia, subyek dalam kekurangan, makhluk yang didefinisikan oleh ingin – bukankah itu menunjukkan benarnya cattāri ariyasaccāni?

Ada adalah sengsara, adalah dukkha, begitulah menurut “empat kebenaran yang luhur”. Dukkha itu disebabkan karena kita tak tahu dan kita terikat. Kita hidup dengan hasrat akan milik dan milik atas hasrat.

Sebenarnya agama pernah dimaksudkan untuk membebaskan kita dari semua itu. Tapi apa lacur: agama, yang bermula pada senyap dan berakhir dengan konstruksi, juga akhirnya hanya jadi simptom sebuah kerisauan: merasa diri subyek yang utuh dan permanen, orang-orang beragama tak henti-hentinya berusaha menaklukkan ruang-dan-waktu, merampat yang-lain di dalam dan di luar diri.

Itu terutama terjadi ketika konstruksi, bukan sepi, mengambil alih – dan tak hanya berupa mesjid dan candi, tapi juga lembaga dan hukum-hukum.

Yang umumnya tak disadari ialah bahwa konstruksi disusun harus dengan kekuatan yang terhimpun. Siasat dan alat harus dikerahkan – persis seperti ketika kita membangun imperium dan mengurus bisnis. Kalkulasi akan dibuat atas segalanya, termasuk waktu. Maka waktu tak lagi momen ajaib seperti di situasi terpuncak ketika aku gemetar dengan “kasih dan ngeri”. Waktu jadi sesuatu yang bisa dipetak-petak dan diukur.

Persis di situlah yang sekuler merasuk ke dalam yang religius: orang menghitung abad, mendepa seculum. Waktu, seperti uang, harus dikuasai dan dipunyai.

Saya kira Stephan Batchelor benar ketika ia mengatakan, “Salah satu akibat dari proses formalisasi dan pelembagaan agama adalah agama jadi tersedot kembali ke dalam dimensi punya”.

Batchelor, yang mengumandangkan lagi tema Gabriel Marcel, pemikir Katolik dari Prancis. itu, tampaknya melihat dengan masygul betapa kegiatan menghimpun milik ternyata lebih mendesak ketimbang tafakur menghayati hidup. Ia agaknya sadar, juga dalam kehidupan beragama berabad-abad lamanya, orang lebih tergerak oleh dimensi “punya” (to have) ketimbang oleh dimensi “ada” (to be).

Maka Budhisme Batchelor adalah Budhisme yang kembali kepada to be. Ia tak punya dan tak dipunyai lembaga: ia tinggalkan mazhab Tibet dan ia pilih Zen, dan ia menulis Budhism without Belief (1997). Batchelor, orang kelahiran Skotlandia yang sejak berumur 18 belajar di Dharmasala – pusat Budhisme Tibet selama Dalai Lama dalam pengasingan – pada mulanya seorang biksu yang serius. Tapi enam tahun setelah ia ditahbiskan, ia melepas jubahnya.

Saya kira karena baginya sebuah lembaga mirip sebuah kuil yang megah: fantasi tentang keagungan yang lupa bahwa dirinya adalah fantasi. Dan seperti pagoda Shwe Dagon di Yangon, yang pucuknya meruncing 100 meter berlapiskan emas, si lembaga agama menyembunyikan jejak sekuler yang ikut membentuk kuasanya.

Tapi jejak itu tak hilang. Sore itu saya mengelilingi Shwe Dagon. Di pelbagai sudut orang berdoa. Di sebuah serambi puluhan orang mendatangi loket penyumbang.

Tapi bisakah orang terbebas dari dukkha, ketika mereka sebenarnya kian tersangkut di sana? Saya ingat U Po Kyin. Pejabat pengadilan dalam novel Burmese Days George Orwell ini — korup, licik, ambisius, rakus, buncit – seorang pembangun pagoda yang baik. Ia ingin terlepas dari hukuman Sang Budha atas dosa yang tiap hari dibuatnya. Baginya, hidup adalah soal transaksi: ada asumsi semua bisa diukur dan semua akan tetap. Tapi mungkinkah?

Segala hal, wahai, pendeta, terbakar. Mata terbakar, bentuk terbakar, kesadaran mata terbakar..”.

Kalau tak salah, itu suara Sang Budha.

~Majalah Tempo  Edisi. 05/XXXIIIIII/26 Maret – 01 April 2007~

Komentar»

1. kuyazr - April 3, 2007

Saya pikir Buddha terlalu sempurna, saya lebih cocok dengan Muhammad SAW yang lebih “real”. Bahwa menjadi manusia itu tidak perlu menjadi pendeta yang suci, “membuang” segala yang berhubungan dengan dunia. Tapi menggunakannya sesuai yang dituliskan untuk…nah ini… yang sering kita abaikan…kebaikan kita nanti. Nanti. Nanti. Memang susah sungguh. Penantian yang sungguh lama.

2. W.N.Padjar - April 3, 2007

Agama dalam sejarahnya selalu menampilkan wajahnya yang paradoks: diperuntukkan bagi peningkatan kualitas spiritual individu manusia tetapi dari waktu ke waktu (karena diperlukan kondisi zaman sejalan dengan meningkatnya jumlah penganut) ajaran agama dibentuk oleh pendapat dan kekuatan orang banyak, atau oleh orang yang punya kekuasaan pengetahuan atau politik.

Dalam Islam, pertentangan itu telah lama diwakili oleh orang-orang yang mengutamakan fiqih (hukum formal) untuk membentuk konvensi dalam kehidupan bersama , dan di sisi lain wajah Islam direpresentasikan orang-orang yang menjalani ajaran sufisme yang berorientasikan penghayatan kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari secara intens. Keduanya seringkali saling menafikan pada titik yang ekstrim.

Ini problem yang sangat klasik.

Tapi anehnya, dengan wajahnya yang tidak tunggal dan terkesan saling bertentangan itu, dan malah belakangan seringkali dipermak oleh ide-ide sekuler, sampai sekarang agama tetap lebih laku ketimbang ateisme.

3. swanvri - April 5, 2007

nampaknya agama memang sudah harus dibubarkan……….. 😦

asalngomong - Juni 10, 2010

like this….^^

4. zombie - April 7, 2007

agama terasa….emhh…. begitu berat tuk diselami, terkadang dia memaksa kita untuk menjadi takut, berani, tersenyum, bahkan tampak ‘ndeso ala tukul’. agama juga terus membelah diri demi kelanggengan. karena ia melahirkan mimpi akan ketenangan untuk penyatuan. agama…??? memerangkap kita dalam sepi hingga kita terbunuh di dalamnya.
karena agama akan selalu menjadi misteri, melayang bersama waktu… juga kata tak tuntas mengajaknya damai,,,: )

5. melao Kamisama - April 13, 2007

Agama, sepertinya sudah banyak dilupakan esensi religiusnya dan lebih banyak memilih untuk mejadikan agama sebagai sesuatu yang sekuler, dengan mewujudkannya dalam hukum-hukum pemerintahan, bahkan alasan untuk membunuh orang lain secara massal, alias perang
mungkin beragama tanpa “agama” adalah jalan keluar ?

6. zaki - April 13, 2007

Kali ini GM memandang Islam sebagai salah satu dari sekian banyak tata nilai dan norma yang pernah ada di dunia, suatu sudut pandang yang menggambarkan kegamangan religiusitas GM. Apakah GM memang seperti itu selama ini memandang Islam? Saya menyayangkannya jika dengan pengalamannya yang begitu panjang dan kompleks itu telah membawa GM pada pandangan seperti itu terhadap Islam. Gua hira bukan awal dari Islam tapi persentuhan pertama antara manusia dan Islam. Dan segala arsitektur indah di negeri2 islam bukanlah akhir atau puncak dari Islam tapi wujud dari apresiasi dan manifestasi temporer umat Islam saat itu. Islam bukan seperti bunga yang tumbuh, mekar dan layu, tapi sebuah titah yang telah sempurna sejak awal. Dan kita sering terkecoh dengan menangkapnya berdasarkan apresiasi dan manifestasi sebuah rezim.

7. apihati - April 17, 2007

agama adalah misteri yang berakhir pada pahala pahala emas
kita hanya seorang prajurit penjalan dengan api dan air di tangan
sampai akhir..sampai akhir..

8. heri - April 17, 2007

Agama terasa sulit untuk ditransliterasikan ke dalam sesuatu yang konkrit (dunia nyata, red). Agama seumpama sebuah kitab. Manusia itu pembaca yg berasal dari asal yg plural. Ada hal yg ‘dilebihkan’. Ada yg kurang ‘terbaca’ , dan ada pula yg luput.

Apalagi saat ini agama seolah dilembagakan, dibendakan, laiknya bangunan manusia. Ia seolah masuk dalam ceruk yg tidak sebagaimana mestinya. Ya, pada akhirnya saya agak sepakat dengan lontaran kawan, saya,”Agama saya adalah kemanusiaan [dan ketuhanan] (tambahan dari saya)”.

9. Javid Nama - April 18, 2007

P A G O D A…..
A G A M A……..

Selain dimensi to have religion dan to be religious; barangkali kita mesti tambahkan satu lagi, yaitu: to live together within religions.

10. Candra - April 20, 2007

@Zaki: Kita tidak bisa berharap banyak Sang GM bisa lebih apresiatif terhadap agama Islam (pemeluk teguh) seperti yang pernah dibukukannya beberapa caping dengan terma penyaliban yesus. Saya pun sangat menyesalkannya. Apalah lacur–seraya mengutip diksi Sang GM–Kita sebagai pembaca caping Sang GM harus tetap bisa memposisikan dia sebagai suara lain dari dunia Islam yang heterogen di nesia yang indo ini. (Maaf, Sang GM itu beragama Islam atau tidak, ya?)

11. an-Nadzif - April 27, 2007

Setiap agama adalah fantasi, atau bahkan spekulasi. Tanpa kepercayaan, bahkan kitab sucipun tak punya legitimasi. Tetapi bukankah seorang atheispun selalu punya ruang kosong dimana dia menempatkan “agama”nya, sekalipun dengan nama lain.

Dibawah ketelanjangan yang murni, sekarang ini bukan kita yang berharap disucikan agama tapi agamalah yang merintih untuk kita sucikan. Agama adalah kepercayaan, keteguhan, ketak terbatasan. Maka ia tidak berhak disandingkan dengan kekuasaan, dominasi, pemaksaan, individualitas, dan segala apapun yang bersifat terbatas. Agama hanya layak bertahta di ruang kosong…………

12. takeonepicture - Juni 10, 2010

Makasih, TakeOnePicture.

13. edy - Februari 20, 2012

Dari mana datangnya agama?

Agama, datang dari konstruksi bahasa. Maka tak heran, kalau agama, kehilangan ruh ke-ilahian-nya. Ia muncul dari sebuah tujuan yang terkalkulasi dan terorganisasi dengan njelimet.
Di sana, orang tak lagi berfikir tentang “sangkan paran”, asal muasal hidup – dan untuk apa hidup ini. Di sini, pertanyaan yang sering kali muncul adalah; apa ini, mau dibawa ke mana, dan dapat apa kita.

Karena itu, setiap tindakannya terkalkulasi dengan perhitungan untung-rugi. Tak terkecuali dalam hubungan dengan Tuhan. Pahala dan dosa, masuk dalam kalkulasi itu.

Inilah, yng sering kali terasa hilangnya ketulusan itu. Kita tak lagi ikhlas memberi. Kita pun sering kali tak benar-benar berkorban.

14. kota salju - Februari 21, 2012

salah satu orang yang tidak tersangkut di dimensi “punya / milik” adalah tukang parkir, mobil-mobil bagus berdatangan ke tempatnya, dia biasa-biasa saja, mobil pada menghilang satu per satu dari dirinya sampai habis sama sekali, dia nggak kecewa, biasa-biasa saja. karena dia tidak terjebak dalam dimensi “milik”.

konsep “milik / punya” itu sebenarnya hanya formalitas untuk menertibkan hidup. konsep sejatinya adalah “titipan”.

edy - Februari 21, 2012

Bung kota salju, apa kabar.

Milik/punya, dalam arti kebendaan, betul. Ia (tukang parkir itu) bahkan “terlarang” untuk berpikir itu. Tapi, milik, dalam arti tanggung jawab, rasanya gak begitu.


Tinggalkan komentar