jump to navigation

Srebrenica Juli 25, 2011

Posted by anick in All Posts, Islam, Perang.
trackback

Di sebuah tempat yang dulu tak dikenal dunia, sekitar 8.000 muslim dibunuh. Sejak itu Srebrenica, sebuah kota kecil pegunungan di sebelah timur Bosnia dan Herzegovina, jadi sebuah nama yang menakutkan. Atau menjijikkan. Atau memalukan. 

Di situlah selama tujuh hari di pertengahan kedua Juli 1995, Jenderal Ratko Mladic, panglima tentara yang berdarah Serbia, menjalankan apa yang jadi kehendak dan rencananya. Mungkin baginya inilah penyelesaian final untuk persoalan masa depan Bosnia, seperti endgültige Lösung Hitler untuk masalah Yahudi: orang-orang Bos­nia yang bukan Serbia, terutama yang muslim, harus dihabisi.

Mladic memang perwujudan klise tokoh algojo dalam cerita picisan: tambun dan kasar, ia pernah diceritakan membunuh seseorang dengan tangan telanjang—setelah ia meyakinkan si korban bahwa tak akan terjadi apa-apa, sambil ia melatih otot-otot tangannya untuk membinasakan si tahanan. Ketika pasukannya mengepung Kota Sarajevo, ia perintahkan pasukannya untuk meningkatkan gempuran artileri secara ber-“irama” sampai pikiran penghuni kota itu “terpelintir”.

Dalam salah satu sajaknya, penyair Bos­nia Abdullah Sidran menyebut Mladic sebagai “monster dengan epaulet”. Orang lain menamainya “jagal dari Srebrenica”.

Semula Srebrenica adalah wilayah yang terlindung: orang-orang muslim menemukan tempat yang aman di sana. Ada pasukan PBB yang menjaga orang-orang yang melarikan diri dari perang etnis di Yugoslavia yang pecah itu. Terutama mereka yang melarikan diri dari pembantaian, yang tahu bahwa kaum “nasionalis” Serbia akan menghabisi mereka.

Tapi Juli itu keadaan berubah. Sejak pekan pertama bulan itu, pasukan Serbia mengepung. Berangsur-angsur Srebrenica kehabisan bahan bakar. Persediaan makanan menipis. Dalam Postcards from the Grave Emir Suljagic mengisahkan bagaimana ratusan orang dengan tali dan kapak mendaki tebing yang terjal di atas kota, menuju hutan untuk mencari kayu buat menyalakan api, jauh sebelum kabut hilang….

Di tengah pengepungan itu, pasukan PBB yang bertugas di sana, satu kontingen tentara Belanda yang terdiri atas 600 personel dan tak bersenjata berat, mencoba bertahan. Komandan mereka, Letkol Karremans, meminta ke Panglima Pasukan PBB, Jenderal Bernard Janvier dari Prancis, agar mendapat dukungan dari udara. Tapi yang terjadi adalah kecelakaan prosedur: permintaan Karremans untuk mendapat bantuan udara ternyata ditulis di formulir yang salah. Akhirnya memang dipenuhi, tapi terlambat.

Karremans memang mendapatkan bantuan lain. Dua pesawat tempur F-16 Belanda menjatuhkan dua bom di atas posisi pasukan Serbia yang mengepung. Tapi tentara di bawah Mladic telah berhasil memiliki kartu kuat tersendiri: sebelumnya mereka telah menyerang satu pos pasukan PBB dan menahan 30 prajurit Belanda. Jenderal Serbia itu mengultimatum: jika pengeboman diteruskan, tahanan itu akan mereka bunuh.

Sekitar dua jam setelah itu, menjelang sore hari 11 Juli, Mladic dan tentaranya memasuki Srebrenica. Malamnya ia memanggil Karremans untuk menemuinya dan mendengarkan sebuah tuntutan: orang-orang muslim harus menyerahkan senjata mereka atau dihabisi. Direkam oleh juru kamera Serbia, di malam itu Karremans mengangkat gelas, bersulang dengan Mladic. Terdengar suaranya: “Saya seorang pemain piano. Jangan tembak sang pianis.” Dan Mladic menjawab, entah bergurau entah tidak: “Tuan seorang pianis yang buruk.”

Yang mungkin bisa dikatakan: opsir Belanda itu komandan pasukan yang buruk. Pasukannya meninggalkan Srebrenica, membiarkan orang-orang muslim mulai ditembaki. Tanggal 13 Juli, pembunuhan mulai dilakukan di sebuah gudang dekat Desa Kravica. Di hari yang sama, Karremans menyerahkan 5.000 muslim ke tangan Mladic, untuk dipertukarkan dengan 15 prajurit Belanda yang ditahan di Nova Kasaba. Tiga hari kemudian, mulai masuk laporan pembantaian….

Dan Karremans tak melaporkan peristiwa itu ke atasannya. Seorang wartawan Belanda, Frank Westerman, pengarang buku Srebrenica: Het zwartste scenario, menulis: di saat perpisahan resmi, Karremans bahkan menerima sebuah cendera mata dari Mladic: “Yang ini buat istri saya?” tanyanya, tersenyum.

Tapi mereka yang jadi korban tak diam. Dua muslim Bosnia yang keluarganya dibantai Mladic berusaha mengajukan kasus itu ke pengadilan negeri Den Haag. Persis 16 tahun setelah kebuasan di Srebrenica itu, para hakim Belanda memutuskan: Negara Belanda memang bertanggung jawab atas kesalahan tindakan tentaranya yang membiarkan ribuan orang tak bersenjata dibantai.

Persis 16 tahun juga dunia menyaksikan Mladic bisa dibawa ke Den Haag, untuk diadili di Mahkamah Internasional.

Hari-hari ini, sebuah negeri sedang merasa malu dan menebus kesalahan di masa lalu: kesalahan bangsa sendiri terhadap mereka yang datang dari negeri jauh, dengan iman dan sejarah yang berjarak. Di saat seperti itu, “liyan” tak hanya berarti mereka yang bukan-kami, tapi juga “sesama” yang tak berbeda dari kami. Di wajah-wajah yang tak berdaya di depan para algojo, di deretan kepala yang berlubang ditembak, di tumpukan jasad yang dibantai hanya karena asal-usul yang janggal dan biodata yang beda, seorang muslim di Srebrenica menyerupai seorang Yahudi di kamp Auschwitz.

Srebrenica berlumur darah karena orang macam Mladic tak hendak mengakui bahwa mereka yang paling lemah dan paling dianiaya yang justru mengingatkan apa yang menakjubkan dalam manusia: sebuah pertalian yang tak tampak.

Majalah Tempo Edisi 25 Juli 2011

Komentar»

1. Syaifuddin Gani - Agustus 3, 2011

Terima kasih sekali atas tulisan ini Mas Goen. Sangat menyentuh dan mengharukan. Sebuah tulisan/esai ternyata bia juga memanggil empati paling dalam pada diri seorang manusia. Sebuah tulisan dapat menguak sebuah kekejian yang hampir dilupakan… Salam.

2. kota salju - Agustus 4, 2011

sebuah pertalian yang tak tampak.

guys, apa arti sesama?

3. Loker Seni - Agustus 5, 2011

Emang kalo sastrawan Indonesia Otaknya Jenius….
Semangat Mas Goen Untuk tetap menorehkan tinta hitam…..

4. Nuraeni - Agustus 15, 2011

good luck terus..!!

5. Reza Mustafa - Agustus 20, 2011

ya, seperti Bang S. Gani katakan. ini tulisan menimbulkan empat. Keterusan empat, walaupun keadaan yang dilukiskan dalam tulisan terjadi pada waktu yang lalu. dan inilah, saya rasa, kelebihan sebuah tulisan sastra. dia terus hidup, walau membaca suatu keadaan yang berlalu dalam kurun waktu yang telah sangat lalu sekalipun. salam!

Reza Mustafa - Agustus 20, 2011

Ralat. maaf, ada huruf yang tertinggal. empat ketinggalan i di belakangnya. empati maksudnya. hehehe…

6. idrusbinharunun - Agustus 20, 2011

Srebrenica , luka kita semua.

Mladic seperti toekang jagal. mengerikan…

7. Indo Culture - September 14, 2011

tulisannya menarik sekali pak,,,,

8. edy - September 18, 2011

Apa arti negara sebenarnya; ketika yang berbeda dianggap musuh, dan yang tak sama adalah ancaman di kemudian. Ada suatu yang hendak dipertahankan. Kemurnian, adalah hal yang harus terus di kawal. Apa pun boleh ada, kecuali yang berbeda. Sikap Ekslusif, tampaknya yang hendak di kukuhkan oleh Ratko Mladic. Dan negara, diam-diam,ada di sana, bersamanya.

Ada pun bagi Karremans,sebenarnya, ia tak cuma menerima cenderamata. Tapi juga bingkisan, 8.000 mayat kaum muslim itu.

9. mati muda - September 25, 2011

akan berulang lagi secara sistematis…
Selama umat manusia bernapas…

10. Firdauus - Oktober 31, 2011

terima kasih atas tulisan ini,,,sangat berguna dan bermamfaat

11. meutuah - Desember 10, 2011

Terima kasih atas penulisan artikel ini, semoga dapat bermamfaat bagi semua orang yang mengalami masalah dengan cintanya, harapan untuk kedepannya tambah sukses terus..

12. Herizal Alwi - Desember 13, 2011

Nice Job
🙂

13. Mutiah - Januari 2, 2012

konspirasi etnis dan agama.

14. srebrenica…. | Unity For ALL - Maret 1, 2012

[…] Srebrenica  […]

15. Edi Miswar Mustafa - Maret 23, 2013

Cerita yang tak pernah membosankan untuk disesali. Dan, adalah hayal yang menyengat ubun yang sisa serta derai kesedihan tak berperi. Terima kasih Bang Gun (Goen).

16. alafasy - Desember 2, 2013

saya kagum bngt ni?

17. hargahp - September 23, 2014

wahhhh gokillll nihhhh

18. laptopkamera - September 23, 2014

supppperrrrrrrrr

19. MakaNasi.com - Juli 4, 2020

Di luar semua perbedaan entah dari suku, agama, atau dari mana, yang pasti mereka punya satu kesamaan, yaitu manusia. Hal itu yang sering dilupakan, mungkin pelajaran menjadi manusia harus diakanan.


Tinggalkan komentar