jump to navigation

Origami Agustus 16, 2012

Posted by anick in All Posts.
Tags: ,
51 comments

Seorang penulis sejarah yang baik tahu bahwa ia seorang penggubah origami. Ia membangun sesuatu, sebuah struktur, dari bahan-bahan yang gampang melayang. Sebab bahan penyusunan sejarah sesungguhnya bagaikan kertas: ingatan.

Ingatan tak pernah solid dan stabil; ingatan dengan mudah melayang tertiup. Seperti kertas, ketika ia menampakkan diri di depan kita, sebenarnya dalam proses berubah. Kita yang menemukannya juga berubah: dengan kepala yang tak lagi pusing atau menatapnya dengan mata yang tak lagi lelah; kertas itu sendiri sedang jadi lecek atau sumbing, lembap atau menguning.

Origami, di situ, mengandung dan mengundang perubahan. Berbeda dengan kirigami, ia dilipat tanpa direkat ketat dengan lem atau dijahit mati. Ia bernilai karena ia sebuah transformasi dari bahan tipis dan rata jadi sebuah bentuk yang kita bayangkan sebagai, misalnya, burung undan. Dan pada saat yang sama, ia mudah diurai kembali. Begitu juga penulisan sejarah: ia bernilai karena ia mengandung pengakuan, masa lalu sebenarnya tak bisa diberi bentuk yang sudah dilipat mati.

Saya selalu teringat ini tiap 17 Agustus.

Hari itu telah jadi sebuah institusi. Kita memberinya nama dan merayakannya dalam sebuah lagu (“Tujuh belas Agustus tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita…”). Ada yang menjadikannya indikator sebuah revolusi (dengan “R”) dan berbicara tentang “Revolusi Agustus”. Di sekitarnya disusun ritual: tiap pukul 09.00 teks Proklamasi dengan tulisan tangan Bung Karno yang bergegas itu dibacakan kembali. Momen 67 tahun yang lalu itu seakan-akan patung pualam yang tak boleh lekang dan lapuk.

Manusia memerlukan itu: patung, ritual, dan upacara. Tapi itu juga yang membuat kita memandang masa lalu sebagai sebuah bentuk yang disederhanakan dan diperindah—seperti origami. Di balik 17 Agustus sebagai sebuah ingatan yang dilembagakan, ada keadaan dan kerja yang tak terhitung ragamnya: para pemuda yang dengan semangat berapi-api dan jantung berdebar mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk berani tak patuh kepada penguasa Jepang; Bung Karno dan Bung Hatta yang dengan sabar tapi cemas mengikuti desakan itu—dan kemudian menyusun teks yang di sana-sini dicoret itu; sejumlah orang yang tak disebut namanya yang mengawal kedua pemimpin itu kembali dari Rengasdengklok; orang-orang yang menyiapkan bendera merah putih, pengeras suara, rekaman, upacara sederhana, dan berdoa….

Kerja (dan tak jarang dengan kesalahan dan kebetulan) dalam ragam yang tak habis-habisnya itu bahkan belum bisa membuat suara Bung Karno jadi sebuah gaung yang tak mati-mati, ke seluruh Indonesia, ke hari-hari mendatang. Setelah beratus tahun menunggu, tiba-tiba datang satu saat ketika kolonialisme jebol dan orang Indonesia bisa berkata bahwa dirinya “merdeka”.

Sejarah, di balik origami yang rapi itu, tak semuanya rapi. Ia punya elemen yang disebut Bung Karno “menjebol”. Kata itu menunjukkan sebuah aksi; bukan “penjebolan”, bukan “jebolan”, bukan sebuah kesimpulan, atau hasil ataupun keadaan. “Menjebol” menyiratkan sebuah keyakinan yang ada dalam proses. Tapi ia justru bermula seakan-akan mematahkan waktu di tengah.

Ia, jika kita pakai pandangan Badiou, adalah sebuah “kejadian”: tiap ikatannya dengan dunia yang-utuh, dengan situasi yang satu, patah. Kejadian itu seakan-akan ditakik dari hidup kita yang sehari-hari dan “lepas ke bintang-bintang”.

Di sini, saya ingin berhati-hati dengan hiperbol. Kata “bintang-bintang” bisa terasa terlampau melambung, tak bersentuhan dengan bumi. Salah satu kelemahan Badiou ialah memberi kesan bahwa dalam politik, “kejadian”, l”événement, begitu luar biasa sehingga harus ada orang-orang militan yang lahir sebagai subyek dalam Kebenaran. Sementara itu kita tahu, 17 Agustus bukanlah sesuatu yang secara ontologis terpisah dari situasi waktu itu. Sama salahnya dengan menganggap Peristiwa 30 September sebagai bukti “kesaktian” Pancasila, kita akan keliru bila menganggap detik ketika Proklamasi itu dimaklumkan adalah sebuah momen yang muncul bagaikan mukjizat.

Kita memang bisa menyebutnya sebagai “Revolusi”. Tapi tiap ingatan tentang revolusi selalu terdiri atas bagian yang sudah melayang terbang, atau melapuk—seperti kertas.

Bersamaan dengan itu, kata “revolusi” membawa imaji melodramatik, pertentangan penuh gairah dan gundah, yang sering mengharukan tapi juga melenceng. Monumen yang banyak dibangun di Indonesia—prajurit bersenjata, pemuda membawa bambu runcing—membayangkan kekerasan sebagai bagian esensial dalam “Revolusi” itu, meskipun di bulan Agustus 1945 itu tak ada pertempuran apa pun. Yang sering dilupakan, bahkan sebuah revolusi yang eksplosif datang dari perubahan-perubahan yang tidak heboh: politik mikro. Tak semuanya menarik, ganjil, atau heroik.

Itu sebabnya, “merdeka” adalah proses. Dalam bahasa Indonesia, kata sifat kadang-kadang bisa juga berfungsi menjadi kata kerja: daun adalah hijau dan itu juga berarti daun menghijau. Maka “Indonesia merdeka” dapat berarti “Indonesia adalah merdeka”, tapi juga bisa berarti “Indonesia menjalankan kemerdekaan”. Seperti “menjebol”, kerja itu masih berlangsung.

Pernah ada lelucon pahit. Seseorang yang setelah 17 Agustus 1945 nasibnya tak jadi lebih baik, bahkan memburuk, bertanya: “Kapan merdeka selesai?” Jika kita lihat “merdeka” adalah sebuah laku, pertanyaan itu tak akan ada. Sebab laku itu—yang berlangsung dalam sejarah sebagai proses—tak punya titik yang tetap di depan untuk dituju. Titik itu, untuk jeda, harus tiap kali diputuskan kembali.

Itu sebabnya kita perlu membayangkan origami itu tak mati. Dalam bentuk seekor burung undan, kita bayangkan ia terbang tinggi.

~Majalah Tempo Edisi Kamis, 16 Agustus 2012~

Batman Agustus 6, 2012

Posted by anick in Film, Pepeling.
21 comments

Batman tak pernah satu. Maka ia tak berhenti. Apa yang disajikan Christopher Nolan sejak Batman Begins (2005) sampai dengan The Dark Knight Rises (2012) berbeda jauh dari asal-muasalnya, tokoh cerita bergambar karya Bob Kane dan Bill Finger dari tahun 1939. Bahkan tiap film dalam trilogi Nolan sebenarnya tak menampilkan sosok yang sama, meskipun Christian Bale memegang peran utama dalam ketiga-tiganya.

Tiap kali kita memang bisa mengidentifikasinya dari sebuah topeng kelelawar yang itu-itu juga. Tapi tiap kali ia dilahirkan kembali sebagai sebuah jawaban baru terhadap tantangan baru. Sebab selalu ada hubungan dengan hal-ihwal yang tak berulang, tak terduga—dengan ancaman penjahat besar The Joker atau Bane, dalam krisis Kota Gotham yang berbeda-beda.

Sebab itu Batman bisa bercerita tentang asal mula, tapi asal mula dalam posisinya yang bisa diabaikan: wujud yang pertama tak menentukan sah atau tidaknya wujud yang kedua dan terakhir. Wujud yang kedua dan terakhir bukan cuma sebuah fotokopi dari yang pertama. Tak ada yang-Sama yang jadi model. Yang ada adalah simulacrum—yang masing-masing justru menegaskan yang-Beda dan yang-Banyak dari dan ke dalam dirinya, dan tiap aktualisasi punya harkat yang singular, tak bisa dibandingkan. Mana yang “asli” tak serta-merta mesti dihargai lebih tinggi.

Sebab kreativitas berbeda dari orisinalitas. Kreativitas berangkat ke masa depan. Orisinalitas mengacu ke masa lalu. Masa yang telah silam itu tentu saja baru ada setelah ditemukan kembali. Tapi arkeologi, yang menggali dan menelaah petilasan tua, perlu dilihat sebagai bagian dari proses mengenali masa lalu yang tak mungkin dikenali. Pada titik ketika masa lalu mengelak, ketika kita tak merasa terkait dengan petilasan tua, ketika itulah kreativitas lahir.

Saya kira bukan kebetulan ketika dalam komik Night on Earth karya Warren Ellis dan John Cassaday (2003), Planetary, sebuah organisasi rahasia, menyebut diri “archeologists of the impossible”.

Para awaknya datang ke Kota Gotham, untuk mencari seorang anak yang bisa membuat kenyataan di sekitarnya berganti-ganti seperti ketika ia dengan remote control menukar saluran televisi. Kota Gotham pun berubah dari satu kemungkinan ke kemungkinan lain, dan Batman, penyelamat kota itu, bergerak dalam pelbagai penjelmaannya. Ada Batman sang penuntut balas yang digambarkan Bob Kane; ada Batman yang muncul dari serial televisi tahun 1966, yang dibintangi oleh Adam West sebagai Batman yang lunak; ada juga Batman yang suram menakutkan dalam cerita bergambar Frank Miller. Dan semua itu terjadi di gang tempat ayah Bruce Wayne dibunuh penjahat—yang membuat si anak jadi pelawan laku kriminal.

Satu topeng, satu nama—sebuah sintesis dari variasi yang banyak itu. Tapi sintesis itu berbeda dengan penyatuan. Ia tak menghasilkan identitas yang satu dan pasti. Dan lebih penting lagi, sintesis itu tak meletakkan semua varian dalam sebuah norma yang baku. Tak dapat ditentukan mana yang terbaik, tepatnya: mana yang terbaik untuk selama-lamanya.

Sebab itu Kota Gotham dalam Night on Earth bisa jadi sebuah alegori. Ia bisa mengajarkan kepada kita tentang aneka perubahan yang tak bisa dielakkan dan sering tak terduga. Ia bisa mengasyikkan tapi sekaligus membingungkan. Ia paduan antara sesuatu yang “utuh” dan sesuatu yang kacau.

Dengan alegori itu tak bisa kita katakan, mengikuti Leibniz, bahwa inilah “dunia terbaik dari semua dunia yang mungkin”, le meilleur des mondes possibles. Bukan saja optimisme itu berlebihan. Voltaire pernah mencemoohnya dalam novelnya yang kocak, Candide, sebab di dunia ini kita tetap saja akan menghadapi bermacam-macam kejahatan dan bencana, 1.001 inkarnasi The Joker dengan segala mala yang diakibatkannya. Kesalahan Leibniz—yang hendak menunjukkan sifat Tuhan yang Maha Pemurah dan Pengasih—justru telah memandang Tuhan sebagai kekuasaan yang tak murah hati: Tuhan yang hanya menganggap kehidupan kita sebagai yang terbaik, dan dengan begitu dunia yang bukan dunia kita tak patut ada dan diakui.

Kesalahan Leibniz juga karena ia terpaku kepada sebuah pengalaman yang seakan-akan tak akan berubah. Padahal, seperti Kota Gotham dalam Night on Earth, dunia mirip ribuan gambar yang berganti-ganti di layar, dan berganti-ganti pula cara kita memandangnya.

Penyair Wallace Stevens menulis sebuah sajak, Thirteen Ways of Looking at a Blackbird. Salah satu bait dari yang 13 itu mengatakan,

But I know, too,
That the blackbird is involved
In what I know

Memandang seekor burung-hitam bukan hanya bisa dilakukan dengan lebih dari satu cara. Juga ada keterpautan antara yang kita pandang dan “yang aku ketahui”. Dan “yang aku ketahui” tak pernah “aku ketahui semuanya”. Dengan kata lain, dunia—seperti halnya Kota Gotham—selamanya adalah dunia yang tak bisa seketika disimpulkan.

Tak berarti pengalaman adalah sebuah proses yang tak pernah tampak wujud dan ujungnya. Pengalaman bukanlah arus sungai yang tak punya tebing. Meskipun demikian, wujud, ujung, dan tebing itu juga tak terpisah dari “yang aku ketahui”. Dunia di luarku selamanya terlibat dengan tafsir yang aku bangun dari pengalamanku—tafsir yang tak akan bisa stabil sepanjang masa.

Walhasil, akhirnya selalu harus ada kesadaran akan batas tafsir. Akan selalu ada yang tak akan terungkap—dan bersama itu, akan selalu ada Gotham yang terancam kekacauan dan keambrukan. Itu sebabnya dalam The Dark Knight Rises, Inspektur Gordon tetap mau menjaga misteri Batman, biarpun dikabarkan Bruce Wayne sudah mati. Dengan demikian bahkan penjahat yang tecerdik sekalipun tak akan bisa mengklaim “aku tahu”.

Majalah Tempo, Edisi Senin, 06 Agustus 2012~

Kakawin Juli 30, 2012

Posted by anick in Kisah, Perempuan, Sastra, Sejarah.
Tags: ,
27 comments

Pada suatu hari, di taman paviliun istana, Marmmawati, permaisuri, menemukan sebait puisi di kelopak sekuntum bunga pudak. Terpesona, ia pun menyalinnya. Lalu ia cepat-cepat kembali ke kamar. Gerimis turun. Dalam kesendiriannya, ia baca sajak itu dengan setengah berbisik.

Dan kesalahpahaman pun terjadi.

Baginda Jayawikrama mendengar suara bisik itu ketika ia memasuki kamar. Ia tahu baris-baris itu sebuah sajak cinta. Ia curiga: istrinya pasti punya seorang kekasih yang sedang dirindukannya. Dengan murka ia menuduh Marmmawati selingkuh. Ketika permaisuri mengatakan bahwa puisi itu dikutipnya dari bait yang ditulis seseorang di kelopak pudak, baginda meminta bukti.

Tapi kembang itu tertinggal di luar, di halaman, dan gerimis telah menghapus huruf-huruf di kelopaknya.

Malam itu Raja Jayawikrama mengusir Marmmawati. Dan dengan tangis yang pedih, perempuan itu kembali ke pertapaan orang tuanya di tepi hutan.

Beberapa hari kemudian, ia dengar perang pecah dan Jayawikrama gugur. Segera, dengan kereta berkudanya Marmmawati bergegas ke lapangan tempat pertempuran paling sengit terjadi. Di sana mayat bergelimpangan. Marmmawati turun dari kereta untuk mencari jenazah suaminya. Tapi ia tak menemukannya….

Saya petik dan susun kembali cerita itu dari sebuah karya Mpu Tantular di abad ke-14, Sutasoma. Adegan itu dikisahkan kembali oleh Helen Creese dalam Perempuan dalam Dunia Kakawin, yang baru terbit (Pustaka Larasan, Denpasar, Juni 2012).

Creese, sarjana peneliti sastra Jawa Kuna dan Bali, khususnya memaparkan percintaan, perkawinan, dan seksualitas dalam sastra Jawa sejak abad ke-9 sampai dengan Bali dan Lombok abad ke-19. Meskipun versi Indonesia dari studinya ini agak kurang luwes, saya masih bisa mendapatkan petilan-petilan yang mempesona dari khazanah lama itu. Fragmen Sutasoma itu hanya salah satu contohnya.

Dari sekitar 30 karya yang ditelaahnya, Creese memfokuskan diri pada kehidupan perempuan dalam kakawin. Tapi akhirnya tak hanya itu; faset lain tampak ke permukaan.

Yang pertama-tama adalah sebuah kualitas puitik yang tak ada lagi dalam karya sastra Jawa di abad ke-18 dan 19. Wedhatama, Wulangreh, dan Kalatida adalah ikon sastra Jawa sampai kini. Tapi karya-karya tembang itu—dari zaman Ranggawarsita, Mangkunegara IV, dan Yasadipura—terasa datar jika dibandingkan dengan, misalnya, Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh di abad ke-12.

Wedhatama, apalagi Wulangreh, terlampau dibebani fungsi didaktis. Yang satu untuk memberi pedoman anak muda tentang laku rohani yang baik; yang kedua sebuah petunjuk bagi para anak priayi. Kekuatan literer kedua buku itu, kalau ada, hanya tampak pada bunyi, permainan aliterasi, dan kekayaan si­nonim. Kita tak akan menemukan keleluasaan membangun deskripsi yang imajinatif seperti dalam Bharatayudha ini:

Panjang garis awan bercampur ke dalam merah menyala ­cakrawala

Seperti darah merendam pakaian merah pengantin yang ­diperkosa.

Dengan sepasang kalimat itu, hadir suasana erotik, sekaligus brutal. Kita masuk ke dalam sebuah masa ketika alam sangat dekat dan akrab dengan gairah manusia. Seperti ditunjukkan ­Creese, dalam Kunjarakarna karya Mpu Dusun di abad ke-14, misalnya, asosiasi antara yang alami dan yang seksual muncul kuat. Di sanalah hidup daya puitiknya. Sebatang pohon yang tampak di sela-sela kabut adalah perempuan telanjang yang berdiri di depan kekasihnya, sebuah dahan adalah lengan perempuan yang menghindar dari pelukan, dan selubung awan yang turun dari pucuk gunung adalah kain yang dilepaskan.

Dalam kakawin, yang erotik tak pernah jadi “kotor”. Tapi pada saat yang sama, seperti dalam contoh di atas, ia bisa berbaur dengan yang buas. Dalam Bharatayudha, kata Creese, “Majas seksual kadang-kadang menggema dalam peperangan.” Kegaduhan pertempuran, misalnya, dipandang sebagai “jeritan dan desahan sang wanita” dalam pergulatan di ranjang.

Di situ pula faset lain tersingkap: hubungan kekuasaan. Di hampir semua kakawin, perempuan hanya dianggap berarti ketika, seperti dalam cerita Marmmawati, ia adalah contoh kesetiaan mutlak kepada suami. Dalam hubungan seks, ia jadi obyek. Adegan “pengantin yang diperkosa” tak hanya sekali muncul. Khususnya di kalangan aristokrasi, perempuan hidup dengan kendali yang ketat atas hasrat. Kekuatannya terbatas dalam daya mengontrol diri sendiri.

Hanya perempuan yang bukan manusia yang punya keinginan, inisiatif, dan kapasitas untuk menikmati berahi. Dalam Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa dari abad ke-11, kita ketemu dengan bidadari Tilottama (“kulitnya warna telur kupas, payudaranya kental”) yang “berpengalaman dalam seni merayu”; dengan Arjuna bidadari itu bisa “merasakan puncak kenikmatan”. Dalam Drupadiwiwaha, Hidimbi, seorang raksasi, yang kemudian melahirkan Gatutkaca, dengan kehendaknya sendiri tidur bersama Bhima.

Tapi kekuasaan dan kekerasan tak selamanya ada. Klimaks kenikmatan seksual bisa bertaut dengan yang rohani. Bahkan dalam Tutur Kamadresti, sebuah panduan erotik dari Bali, tahapan terakhir dari asmara adalah asmaratantra, saat penyatuan mistik. Dengan kata lain, di dunia kakawin, yang erotik dan yang sensual diterima dengan bebas sebagai bagian dari keindahan, sebagai bagian dari kekerasan, dan juga dari yang spiritual.

Dunia yang paradoksal itulah yang menyebabkan kakawin jadi puisi yang hidup. Dalam dunia puisi, tak ada satu elemen pun yang sendirian menguasai ruang. Puisi adalah gema dari kombinasi dan kontradiksi yang tak terduga-duga.

Itukah yang tak ada—entah kenapa—sejak Jawa memasuki abad ke-15? Sejak datang Islam dan kemudian kemenangan orang Eropa? Saya cuma menduga: ketika tak ada kombinasi dan kontradiksi yang diakui, puisi para Mpu tak lahir kembali.

~ Majalah Tempo Edisi Senin, 30 Juli 2012~