jump to navigation

Cesare November 23, 2009

Posted by anick in All Posts, Kisah, Pepeling, Politik, Sejarah.
trackback

Pernah ada sebuah zaman ketika agama, zina, kekuasaan, uang, nepotisme, jual beli jabatan, perang, pembunuhan, dan moralitas campur baur. Itulah abad ke 16 di Italia, ketika Paus Aleksander VI naik Takhta Suci.

Ketika Kardinal Rodrigo Borgia dipilih dengan suara bulat dalam pertemuan para uskup tanggal 10 Agustus 1492, Paus baru ini memilih nama ”Aleksander”—tokoh sejarah ”yang tak terkalahkan”, katanya, mengacu ke sebuah nama penakluk yang tak pernah mengenal Yesus. Upacara penobatannya meriah. Roma menyaksikan dengan penuh kegembiraan barisan panjang kuda putih, 700 pastor dan kardinal berpakaian warna warni, deretan ksatria dan pasukan panah, parade permadani dan lukisan. Di ujung prosesi itu Aleksander kemudian tampak: dalam usia 61 ia tetap gagah, tubuhnya tinggi, penuh energi, dengan sikap percaya diri yang mengesankan.

Di masa itu, tak banyak yang berkeberatan dengan kemewahan itu. Juga tak ada yang mengungkit kehidupan pribadi Sri Paus: ia naik jenjang karier sampai jadi kardinal dalam usia 25 tahun. Tentu saja jalur cepat itu karena Paus Calixtus III adalah pamannya. Yang tak bisa dilupakan adalah bahwa Kardinal Borgia yang pandai memimpin Kuria itu, yang unggul dalam administrasi dan politik, juga ganteng, hangat, bijak bestari, dan memikat hati para perempuan. Pada umur 29 tahun, sang kardinal punya anak gelap pertama. Enam tahun kemudian, seorang perempuan lain jadi ibu dari empat anak yang baru, antara lain Cesare.

Itu memang zaman ketika kehidupan seksual para pe­tinggi Gereja berlangsung tanpa diributkan. Itu juga zaman ketika kedudukan kepausan bisa dimanfaatkan ­untuk mengumpulkan dana dan memberi tempat bagi sanak keluarga. Paus Aleksander memperoleh 30 ribu du­kat uang untuk memberi izin perceraian seorang raja Hunga­ria, menerima bayaran 120 ribu dukat dari 12 kardinal yang dipromosikannya. Sebuah sajak satire pernah ditulis tentang itu: ”Aleksander menjual kunci, altar, dan Kristus.…”

Sang Paus tak peduli. Ia tak mendengarkan apa yang dikatakan orang ramai tentang dirinya. Ia mengukuhkan takhta kepausan, dan untuk itu segala cara ditempuh. Ia beruntung. Ia mendapatkan bantuan dari putranya, Caesar Borgia, sang penakluk yang berhasil memperluas wilayah kepuasan—terutama setelah anak muda itu, dalam usia 22 tahun, melepaskan jabatannya sebagai kardinal dan terjun memimpin peperangan.

Cesare, yang tak kalah rupawan ketimbang ayahnya, bertubuh jangkung dan berambut pirang, adalah lelaki perkasa yang konon mampu membengkokkan sepatu kuda dengan tangan telanjang. Ia bisa merobohkan se­ekor banteng dengan sekali tebas. Ia tak mengenal takut. Ia periang dan cerdik. Perempuan mengaguminya tapi tahu bahwa mereka hanya akan dipergunakan sebentar. Nafsu utama lelaki ini hanya satu: kekuasaan. Ia bisa brutal dan keji, ia bisa cerdik dan culas. Tapi ia bisa me­nenangkan rakyat di bawahnya.

Ia hidup menyendiri di Roma, setengah tersembunyi, hingga begitu banyak desas desus beredar bagaimana ia meracun musuh politiknya, atau memenjarakan orang penting untuk kemudian dilepaskan setelah membayar ribuan dukat. Tak pernah jelas tercatat dalam sejarah, benarkah semua itu dilakukannya. Bagaimanapun juga, ia memang penguasa yang tegas dan efektif, dalam menipu, menjebak, dan membinasakan mereka yang menghambat jalannya. Tapi juga dalam memerintah, ia bisa mengambil hati mereka yang hidup di bawah. Sejarah kekuasaannya, sebagaimana kekuasaan ayahnya, me­nimbulkan perdebatan sampai hari ini, dan tak hanya di Italia: tak adakah dorongan lain dalam dinamika kekuasaan politik, selain mendapatkan dan menggunakan kekuasaan politik?

Machiavelli, yang menulis Il Principe, menggambarkan perilaku Cesare Borgia dengan penuh pujian: ”Ia dianggap kejam… tapi kekejamannya bisa menggabungkan kembali Roamagna, menyatukannya, dan memulihkannya ke dalam suasana damai dan setia….” Cesare bisa menimbulkan rasa takut, tapi juga rasa cinta, dari orang lain. Bagi Machiavelli, seorang penguasa yang harus memilih antara dicintai atau ditakuti, lebih baik memilih yang terakhir. Ia harus bisa mengorbankan cinta.

Salahkah Machiavelli? Hegel memuji pemikir politik Italia dari abad ke 16 itu dalam hal ”kesadarannya yang tinggi tentang hal hal yang niscaya dalam membentuk sebuah negara”. Semuanya harus bisa diperalat, juga agama. Machiavelli mengambil teladan dari Numa Pompilius yang memimpin Roma: untuk menjinakkan sebuah masyarakat yang ganas dengan cara yang damai, Numa memakai agama sebagai ”penopang yang paling perlu dan pasti bagi tiap masyarakat yang beradab”.

Tapi tampak, bagi Machiavelli dorongan pertama bukanlah dorongan religius, bukan untuk mendekatkan diri kepada Kebaikan yang Kekal, melainkan dorongan politik: berkuasa dan melahirkan ketertiban. Nilai nilai yang dianjurkan Tuhan tak penting kecuali untuk itu. Tak mengherankan bila seorang pengagumnya menyebut dia irrisor et atheos, ”seorang atheis yang membawakan satire” dalam filsafatnya tentang kekuasaan.

Machiavelli tak salah: ia membongkar apa yang nyata dalam kehidupan politik, bukan apa yang seharusnya. Sebab apa yang seharusnya (yang berdasarkan sesuatu yang transendental) pada akhirnya ditentukan tafsirnya oleh siapa yang di dunia ini menang atau ingin menang.

Tapi kita dengan mudah bisa menunjukkan, Machiavelli tak lengkap. Hidup tak hanya tumbuh dalam ketertiban dan kekuasaan. Pengalaman menunjukkan, hidup juga punya momen yang transendental. Ada yang menggugah entah kenapa dari saat yang ”ethikal”: ketika kita merasa bertanggung jawab untuk adil, terutama kepada orang lain, terutama kepada yang menderita.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 23 November 2009~

Komentar»

1. Delizz Bangun Budi - November 27, 2009

di tempat yang jauh dari Roma adalah Majapahit dengan Raja Rajasanagara menunjukkan kejayaannya. tata, titi, tentrem, lohjinawi 1(satu) abad sebelum Paus Alexander VI ditakbiskan.

akhir abad XX sampai sekarang apa yang dirasakan Bangsa kita tak beda dengan zaman Paus Alexander VI. apa ini sebuah pusaran waktu, grafik naik turun moral kebenaran dan keadilan, Tantular akan terlahir kembali ???

2. j.fz - November 27, 2009

paus alexsander VI sangat ahli dalam berpolitik, atas peranannya membuat vatikan disegani tidak di federal italia, tapi juga eropa, ia memiliki anak, anjing galak cesare.

3. j.fz - November 27, 2009

dengan mengadu raja2 eropa, dan keluarga bangsawan italia membuat posisi vatikan kuat, dan memiliki tentara sendiri dg anjing cesare sebagai panglimannya.

4. j.fz - November 27, 2009

dg pertimbangan vatikan yang dibawah kekuasaan persatuan italia atau persatuan italia dibawah kekuasaan vatikan. juga ancaman dari luar prancis, ottoman, spayol, kerajaan eropa timur, britany, saxon. saya kira apa yang dilakukan paus alexsander VI dan anjingnya upaya untuk mempertahankan eksistensinya walaupun dengan meghalalkan segala cara.

5. Buzztanto - November 28, 2009

Machiavelli itu ada kesamaannya dengan filsafat politik Ibnu Taymiyah yang pernah mengambil ungkapan bahwa 100 tahun dengan raja tiran, lebih baik dari pada satu hari tanpa raja. Yang sentral bukan nilai etiknya, tapi kepemimpinannya.

Raja-raja hampir semuanya menganut triumvalisme. Machievalli sendiri berpikir secara triumvalistis dengan konsekuensi kemenangan pemikirannya diantara pemikiran lainnya. Nah, Machiavelli itu sendiri Machiavellian.

Sebenarnya pemikirannya tentang politik mempunyai pola defense mechanism. Politik adalah bagaimana bertahan (segala cara) dari masyarakat yang buas.

Selama ada ruang publik, sejelek-jeleknya/setiran-tirannya pemimpin tetap yang ada dipermukaan adalah sisi kebaikannya. Jika tak ada ruang publik, maka sebaik-baiknya pemimpin tetap saja yang berjalan adalah sisi kejahatannya.

Zaman Cesare zaman ketika belum terbentuk ruang publik. Maka pilihannya berpusat pada Tuhan atau raja tiran? Pada saat itu mungkin saja Machiavelli benar.

Salam,
Budi Hartanto

6. sidiq Hakiki - November 30, 2009

Mas GM selalu menemukan celah atas segala bentuk teori yang mapan dan digandrungi manusia, termasuk teori Machiavelli. satu sisi, ia memahami teori ini dengan hati-hati, di sisi lain, ia mampu melampauinya dengan sangat ringan, “Tapi kita dengan mudah bisa menunjukkan, Machiavelli tak lengkap.”

konsep baru dari GM –yang melampaui teori dari tokoh semacam Machiavelli–ditunjukkan dengan kata-kata yang sangat indah dan menyentuh, “Ada yang menggugah entah kenapa dari saat yang ”ethikal”…

7. sidiq Hakiki - November 30, 2009

saya butuh no. hp mas GM. sangat senang jika anda dapat menuliskan no. hp mas GM ke email saya. saya butuh wawancara dengannya perihal kepentingan studi saya, yang hendak meneliti pandangan-pandangan teologisnya.

8. j.fz - November 30, 2009

Hakikat kekuasaan adalah mengatur, seperti apa yg dilakukan oleh, Cesar, Talleyrand, Henry Kissinger, Bismarck, FDR, Chatherine IV, Charlamagne, Isabel, Cromwell, King Henry, ‘si sembilan nyawa’ revolusi Prancis Josef F, Mao, Tan Malaka, Liu Pang, Meiji, Hatta , Paus Alexsander VI, Paus II, The Great Alexsand, Ghandi…….. beliau2 ini selalu memberi ‘efek yang luar bisa’ .

9. j.fz - November 30, 2009

ralat
‘efek yang luar biasa”
seperti kisah ‘raja Midas’ zaman Yunani kuno

10. j.fz - November 30, 2009

gaya Machiavellian yang paling sempurna dilakukan oleh FDR. dalam keadaan sakit folio dan lemah jantung, FDR mampu membawa AS keluar dari massa melaise, memenangkan 4 pemilu , memimpin PD II, dan mengatur tata dunia baru (PBB).

11. arya - November 30, 2009

Kala dunia “apa yang seharusnya” kehilangan makna ethical-nya. Kala kepastian dunia “apa yang senyatanya” dijadikan sebagai tameng atas nama ketertiban, maka ketika itu pula setiap pasal dan ayat hukum jadi pasal2 mati. Jadi pasal tinta hitam di dunia yang makin kelam dan terus-menerus melukai ada yang ethical atau apa yang adil

12. apsearch - Desember 4, 2009

Kekuasaan adalah amanah yang harus dijaga dan dijalankan sepenuh hati….bukan sebaliknya

13. mare - Desember 7, 2009

sy jadi makin ngga senang dengan penguasa ,,,
semoga aja demokrasi di Indonesia berjalan semakin dewasa
menuju ke pemerintahan dari rakyat ,untuk rakyat

14. zul azmi sibuea - Desember 8, 2009

kita berubah secara evolutive, perlahan tapi pasti – kita sedang mengubah paradigma, ngomong aja terus dan rasakan bahwa anda sedang berubah.saya ingin mengatakan bahwa : kita evaluasi, kritisi, bicarakan “apa adanya” menuju “bagaimana seharusnya” sebagai sebuah proses yang berevolusi saat ini sedang menyelinap “embedded” dalam diri kita sendiri – kita sedang berubah mengikuti seperti apa yang kita pikirkan.benarkah????

15. wemmy al-fadhli - Desember 8, 2009

massa rakyat kita skarang niy setengah PSK, separo bencong, sisanya lekonng..
pemimpin2 kita para mami dan papi..
konsumennya jelas dollar luar negeri
bukankah pemantik berupa hegemoni seksual (termasuk “kegagahan” cesare dan sang paus tsb), daya tarik libido kekuasaan dan $$, menrupakan nilai tambah ke-eko-no-mi-an utama yg tak ‘kan kunjung habis2nya untuk dimodifikasi, dieksplorasi ke berbagai bentuk dan ke berbagai kontexs?

16. novi irama ayu - Desember 8, 2009

penguasa bukan berarti seenaknya melakukan apapun, justru itu penguasa harus bisa memberikan contoh yang baik bagi rakyatnya

17. Andrie-SekolahVirtual - Desember 8, 2009

Keberanian rakyat melalui media online yang susah di rem oleh penguasa.
Harus bisa menjadikan modal bagi penempeleng penguasa yang merusak rakyat dengan hegemoninya.

18. tomo - Desember 10, 2009

Artikel yang sangat bagus.. 4 thumbs up

19. Tweets that mention Cesare « Catatan Pinggir -- Topsy.com - Mei 17, 2010

[…] This post was mentioned on Twitter by Hasmi Hashim. Hasmi Hashim said: Bacaan pagi Sabtu – Salahkah Machiavelli? – "Cesare": Caping – GM http://bit.ly/cKu7Ik […]

20. kota salju - Juni 18, 2011

apabila yang indah dan magis (:agama) sudah diperalat, kehidupan akan tercekal. pria kejam akan lebih disukai daripada pria baik hati.


Tinggalkan komentar