jump to navigation

Buku April 26, 2010

Posted by anick in All Posts, Pepeling.
trackback

— untuk Hari Buku, 2010

Buku bisa bertaut dengan trauma, setidaknya dalam pengalaman saya.

Ketika saya berumur hampir enam, tentara pendudukan Belanda menangkap ayah dan menggeledah seisi rumah. Di hari itu, setelah bapak diikat tangannya dan dinaikkan ke atas truk, kami sekeluarga duduk ketakutan. Satu kejadian masih saya ingat: dua orang serdadu mengangkut sejumlah buku dari kamar kerja ayah dan melemparkan jilid-jilid itu ke dalam sumur.

Saya tak tahu buku apa yang dibuang, dan kenapa. Yang penting bagi saya hanya ini: seorang serdadu mematahkan bedil kayu mainan saya dan membuangnya juga ke dalam sumur.

Buku dan senapan mainan: tanda permusuhan? Beberapa puluh tahun kemudian seorang kakak saya yang dekat dengan ayah (saya agak jauh dari beliau) ingat bahwa di perpustakaan bapak ada buku dengan sampul bergambar Karl Marx. Mungkin kitab macam itu yang harus ditiadakan. Juga senjata, serius ataupun tidak.

Sebab ada beberapa buku yang tak disentuh. Di antaranya sebuah kamus Wesbter terbitan 1939 bersampul hitam (di halaman pertama ada tandatangan bapak dengan pena celup) dan sebuah buku sejarah Inggris.

Dari kamus tebal itu saya temukan sebuah ilustrasi: empat orang mengangkat sebuah kotak. Karena saya tak mengerti apa fungsi sebuah kamus, saya duga di sana digambarkan orang yang harus mengangkat mayat. Kelak saya tahu, gambar itu hendak memperjelas arti kata palanquin.

Buku yang satu lagi bersampul hijau daun. Di dalamnya banyak gambar berwarna. Saya tak pernah lupa dua di antaranya.

Pertama, ilustrasi yang teliti mirip foto, yang menggambarkan seorang lelaki tertidur dengan pakaian lengkap, sementara dua lelaki bermantel merah berdiri menatap wajahnya yang pulas. Waktu itu saya menafsirkannya sebagai gambar seorang lelap yang dikunjungi dua hantu. Setelah saya bisa membaca bahasa Inggris, saya tahu, itu adalah adegan dari sejarah Inggris abad ke-17: Raja Charles I semalam sebelum dibawa ke Menara London untuk dipenggal. Salah satu “hantu” dalam gambar itu mungkin kepala penjara.

Gambar kedua: seorang lelaki tergeletak di sebuah medan yang sunyi. Seorang perempuan duduk di sampingnya; tangannya yang satu menahan darah ke luar dari luka lelaki yang telentang itu, tangannya yang lain mengepalkan tinju kemarahan. Bercak darah merah tampak. Kemudian saya tahu, itu adalah lukisan pembantaian orang Skot oleh pasukan Inggris di wilayah Glen Coe pada 13 Februari 1692. Wanita itu meneriakkan dendam.

Pembantaian, amarah, orang yang didatangi hantu, empat pengusung mayat, buku-buku yang dibuang ke sumur sementara ayah diikat…Saya tak tahu sedalam apa trauma itu membekas. Mungkin ia memperoleh ekspresi lain: rasa gairah saya kepada buku dengan sampul tebal.

Saya dan kakak juga menemukan buku-buku bersampul kukuh karya Karl May tentang Winnetou. Kami tak tahu milik siapa, sebab ayah agaknya lebih suka Karl Marx ketimbang Karl May. Di dalamnya ada ilustrasi tokoh Apache itu di tengah rimba yang magis danidyllic.

Tergerak oleh bentuk buku yang mengesankan tapi tak bisa kami nikmati isinya itulah kami mulai memesan Winnetou Gugur dan Suku Mohawk Tumpas (yang terakhir ini terjemahan atas karya James Fennimore Cooper The Last of the Mohicans ) dari Noordoff Kolff di Jakarta, cabang dari penerbit yang berkantor di Groningen, Belanda.

Hari datangnya buku pesanan lewat pos selalu hari yang ditunggu dengan tegang: kami hampir selalu berebut siapa yang akan membaca lebih dulu.

Seperti halnya pada anak lain, pada saya buku adalah pesawat ajaib: tinggal di kota kecil tanpa gedung bioskop, hanya dengan buku saya memasuki dunia lain yang sebenarnya tak pernah tertembus. Tiap kali, dunia itu berubah, berbeda, berkembang, namun selalu terasa akrab.

Saya tak pernah bisa sepenuhnya membayangkan sosok Winnetou, tapi saya menangis ketika menjelang pertempuran terakhir, ia tahu ia akan “pergi ke padang perburuan yang kekal”. Saya menangis untuk Si Jamin dan Si Johan yang teraniaya di sebuah sudut Batavia yang jauh. Saya sedih untuk Si Dul yang hidup di Jakarta yang belum pernah saya lihat, ketika ayahnya, seorang sopir, mati kecelakaan dan ketika ia dicerca habis-habisan oleh engkongnya karena di hari Lebaran ia berpakaian pandu, dengan topi dan sepatu, bukan sarung dan songkok. Air mata saya keluar untuk Sampek dan Engtai yang mati dalam cerita yang saya ikut dengarkan waktu beberapa buruh pabrik rokok di rumah sebelah membacanya dalam bahasa Jawa bergiliran dari sebuah buku tulis.

Setelah saya dewasa, saya bisa mengaitkan trauma masa lalu itu dengan pengalaman selanjutnya dengan buku. Saya bisa menyimpulkan: buku mati karena ia dihentikan di perjalanan ke dalam hidup kita, seperti ketika ia hilang dilemparkan ke dalam sumur. Tapi cerita tak berakhir.

Sejak 1958, Presiden Sukarno mengubah Indonesia jadi “demokrasi terpimpin” dan “ekonomi terpimpin”. Atas nama “Revolusi” (kata yang memukau itu), Negara mengambil alih dunia penerbitan. Apalagi yang terkait dengan modal asing. Oktober 1962 penerbit seperti Noordoff Kolff dihentikan; ia digantikan perusahaan negara yang disebut “Noor Komala”. Yang memimpin seorang birokrat. Balai Pustaka, yang bisa bersaing dengan bagus menghadapi penerbit milik asing, sejak itu dikendalikan seorang jenderal. Ketika kertas, percetakan, transportasi dan hampir seluruh kehidupan ekonomi jadi “terpimpin”, banyak hal macet. Usaha penerbitan dalam negeri yang terkemuka, seperti Djambatan, yang menerbitkan sebuah atlas yang monumental, terjerembab dan tak pernah bisa pulih lagi sejak itu.

Arus buku berantakan. Tak ada lagi buku yang sampulnya terasa hangat dan bau kertasnya berwibawa tapi ramah. Jenisnya kian kehilangan ragam. “Demokrasi Terpimpin” juga memulai sejarah kekuasaan yang dengan sekali gebrak melarang sederet buku – sejarah yang berlanjut hingga kini.

Waktu itu, satu-satunya penghibur adalah karya berjilid tebal terbitan Uni Soviet yang dijual murah di toko buku milik PKI. Masih ada Dostoyewski, Turgenev dan Tolstoy – dalam terjemahan Inggris dan diterbitkan oleh Moscow Foreign Publishing House — tapi tak lengkap. Tak saya dapatkan The Brothers Karamasov atau Fathers and Sons. Moskow punya sensornya sendiri.

Saya teringat pagi di tahun 1947 itu: dua tentara pendudukan membuang sejumlah jilid ke sumur. Tapi saya juga tak bisa melupakan para buruh rokok yang membaca cerita bergiliran dari sebuah buku tulis. Buku mati, tapi tak bisa mati semuanya. Ia punya trauma dan nostalgianya sendiri. Ia punya cerita yang selalu muncul kembali.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 26 April 2010~

Komentar»

1. gigihpambudi - Juni 22, 2010

makasih infonya…

judul: Gigihpambudi’s Blog
alamat: http://www.gigihpambudi.wordpress.com
peranti: wordpress

blog ini berisi tentang informasi dan untuk layanan diskusi. Jadi blog ini layak dikunjungi.

2. thio - Juli 2, 2010

thanks utk infonya dan kesediaannya utk diskusi

3. dimas - Juni 9, 2011

minta pb

4. JPU - Juni 9, 2011

nostalgia buku,
baca caping ini, saya teringat pada waktu SD tahun 1980-an, Alm.Bapak (seorang Guru SD di Madiun), siang kepulangannya dari mengajar,selalu kami tunggu2…karena pada bocengan sepedanya selalu akan ada buku2 bacaan untuk kami. seingat saya seri Si Saba, kemudian buku2 BP, buku2 tentang petualangan anak-anak indonesia, komik2 wayang, kami 6 bersaudara selalu berebut memperoleh yang paling tebal,baru dan belum ada stempel dari SD Bapak…
Kompas, jayabaya, penyebar semangat adalah bacaan saya saat teman-teman sekelas mengeja “I – N – I I – B – U B – U – D – I”
menginjak kelas 5-6 SD buku bacaan kami berubah ke serial komik tintin, majalah hai, karl may dg Old Sut n Winetou-nya..semua kami dapat dari pinjam ke teman, tukar dengan kelereng, atau ke perpustakaan daerah madiun..Karya Karl May itu kami temukan di lemari perpus bawah pojok, kumel, seperti ga ada yang pinjam…buku dari bapak terus berlanjut
menginjak SMP-SMA bacaan kami pindah ke Kho Ping Ho, serial Sepasang Rajawali – She Suma dll, berebut sama mas saya…majalah Hai tetep pinjam ke teman…buku-buku lainnya sdh ga pernah lagi, pagi siang malam Kho Ping Ho, sampai mata minus 2,5
Kuliah, saya mulai cari/gerilya dari temen untuk dicopy buku2 Pak Pram, tapi yang paling terkesan adalah dapat bukunya M Iqbal (?) (Tokoh NU yang mati muda) judul lupa dan”Catatan seorang demonstran” (bukunya Gie).. tapi memang ga ada yang ngalahkan tetralogi yang Pak Pram…wis dapatnya dengan perjuangan, isinya Luar biasa
semua itu ga pernah saya beli….dari mulai Si Saba sampai Bumi Manusia, ga pernah beli…hidup keluarga bapak yang sederhana tak ada anggaran untuk beli buku..
makanya gaji pertama honorer saya belikan buku, bea siswa S2 di jogja habis buat beli buku..(maaf ya Bappenas) rincian penggunaan anggaran laporan saya itu omong kosong…uangnya untuk beli buku n nonton teater gandrik klo pentas di jogja
sekarang “jeda beli buku” anggarannya untuk susu anak2 saya..janji saya ke yang sulung “mbak bisa baca..bapak langganan Bobo”
sekarang mbak baru bisa mengeja konsonan vokal konsonan…alhamdullilah
sekarang saya download e-book aja dulu…juga bookmark Caping ini

makasih BAPAK…atas serial Si Saba-nya


Tinggalkan komentar