jump to navigation

Atheis Juli 30, 2007

Posted by anick in Agama, All Posts, Fundamentalisme, Identitas, Tuhan.
trackback

Agama akan tetap bertahan dalam hidup manusia, tapi layakkah ia dibela?

Christopher Hitchens baru-baru ini menarik perhatian ketika bukunya terbit dengan judul God Is Not Great: Religion Poisons Everything. Penulis Inggris ini—yang yakin bahwa Tuhan tidak akbar dan bahwa agama adalah racun—tak bersuara sendirian di awal abad ke-21 ini. Di tahun 2004 terbit The End of Faith, oleh Sam Harris, yang tahun lalu mempertegas posisinya dengan menyerang agama Kristen dalam Letter to a Christian Nation. Yang juga terkenal adalah karya Richard Dawkins, seorang pakar biologi, The God Delusion, yang mengutip satu kalimat pengarang lain: ”Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan disebut agama.”

Saya belum khatam membaca buku-buku itu, tapi saya telah merasa setengah terusik, tersinggung, berdebar-debar, terangsang berpikir, tapi juga gembira. Baiklah saya jelaskan kenapa saya gembira: kini datang beberapa orang atheis yang sangat fasih dengan argumen yang seperti pisau bedah. Dengan analisa yang tajam mereka menyerang semua agama, tanpa kecuali, di zaman ketika iman dikibarkan dengan rasa ketakutan, dan rasa ketakutan dengan segera diubah jadi kebencian. Dunia tak bertambah damai karenanya. Maka siapa tahu memang dunia menantikan Hitchens, Harris, dan Dawkins. Siapa tahu para atheis inilah yang akan membuat kalangan agama mengalihkan fokus mereka dan kemudian berhenti bermusuhan.

Apalagi ada benarnya ketika Christopher Hitchens bicara tentang iman dan rasa aman. Sepekan sebelum 11 September 2001, hari yang bersejarah itu, ia ditanya dalam sebuah wawancara radio: ”Bayangkan Anda berada di sebuah kota asing di waktu senjakala, dan sejumlah besar orang datang ke arah Anda. Akan lebih merasa amankah Anda, atau justru merasa kurang aman, bila Anda tahu orang-orang itu baru selesai berkumpul untuk berdoa?”

Hitchens, yang pernah berada di Belfast, Beirut, Bombay, Beograd, Bethlehem, dan Baghdad, menjawab, ”Kurang aman.”

Ia tak bicara dari khayal. Ia telah menyaksikan permusuhan antara orang Katolik dan Protestan di Ulster; Islam dan Kristen di Beirut dan Bethlehem; orang Katolik Kroasia dan orang Gereja Ortodoks Serbia dan orang Islam di bekas Yugoslavia; orang Sunni dan Syiah di Baghdad. Beribu-ribu orang tewas dan cacat dan telantar.

Maka bagi Hitchens, agama adalah ”sebuah pengganda besar”, an enormous multiplier, ”kecurigaan dan kebencian antarpuak”.

Tapi menarik bahwa Hitchens tak menyatakan agama sebagai sumber sikap negatif itu.

Dalam hal ini ia berbeda dari Sam Harris. Bagi Harris, konflik antara umat Katolik dan Protestan yang berdarah di Irlandia—yang bermula baru di abad ke-17—bersumber pada teks Alkitab, tak ada hubungannya dengan politik pertanahan di wilayah kekuasaan Inggris masa itu. Harris tak melihat endapan sejarah dalam tiap tafsir atas akidah—dan dalam hal ini ia mirip seorang fundamentalis Kristen atau Islam. Pandangannya yang menampik sejarah akan bisa mengatakan bahwa doktrin Quran itulah yang membuat sejumlah orang menghancurkan Menara Kembar New York dan membunuh hampir 3.000 manusia pada 11 September 2001. Harris tak akan melihat bahwa hari itu ”Islam” identik dengan amarah karena ada kepahitan kolonialisme di Timur Tengah, Afrika, dan Asia, dan kekalahan dunia Arab di Palestina.

Dari sini, memang ada benarnya apologi yang terkenal itu: bukan agamanya yang salah, melainkan manusianya.

Tapi persoalan tak selesai di situ. Orang-orang atheis semacam Hitchens akan bertanya: Jika faktor manusia yang menyebabkan keburukan tumbuh dalam suatu umat, berarti tak ada peran agama dalam memperbaiki umat itu. Jika demikian, jika akidah ditentukan oleh sejarah, dan bukan sebaliknya, apa guna agama bagi perbaikan dunia?

Mungkin sebuah nol. Bahkan melihat begitu banyak pembunuhan dilakukan atas nama agama hari-hari ini, orang memang mudah sampai kepada atheisme Hitchens dan kesimpulannya: agama meracuni segala hal.

Tapi kita dapat juga sampai pada kesimpulan yang lain: jangan-jangan agama memang tak punya peran bagi perbaikan dunia. Perannya memang bisa lain sama sekali—terutama bila dilihat dari awal lahirnya agama-agama.

Dalam ceramahnya yang diselenggarakan oleh MUIS (Majlis Ugama Islam Singapura) bulan Juni yang lalu, Karen Armstrong mengatakan sesuatu yang tak lazim: agama lahir dari sikap jeri (recoil) atas kekerasan. Juga Islam, yang kini tak urung dihubungkan dengan bom bunuh diri, konflik berdarah di Irak, Afganistan, dan Pakistan. Agama ini hadir sebagai pembangun perdamaian di sekitar Mekah, di tengah suku-suku Arab yang saling galak.

Tapi mungkin juga Karen Armstrong bisa menelusurinya lebih jauh: jika agama memang lahir dari rasa jeri akan kekerasan, rasa jeri itu bertaut dengan kesadaran akan ketakberdayaan. Agama sebab itu tak merasa kuasa untuk memperbaiki dunia; ia justru berada di kancah yang tersisih, menemani mereka yang daif—sebuah posisi yang kian tampak dalam keadaan manusia teraniaya.

Tapi kini, dalam mencoba menyaingi gagahnya modernitas, agama cenderung melupakan ”empati asali”-nya sendiri. Orang-orang Islam merayakan Hijrah bukan dengan rasa setia kawan dan bela rasa kepada mereka yang diteror, walaupun Hijrah bermula dari nasib sekelompok minoritas yang dikejar-kejar. Orang merayakan Hijrah lebih sebagai kemenangan. Mungkin dengan tendensi itu, pengalaman kedaifan sendiri terlupa: pekan lalu atas nama ”Islam” orang-orang mengancam para biarawati Karmel yang hendak berkumpul untuk berdoa di lembah Cikanyere di wilayah Cianjur.

Dalam keadaan lupa kepada yang tak berdaya itulah agama bisa jadi tenaga yang dahsyat. Tapi ia juga bisa jadi tenaga yang tak tahu batas. Di saat seperti itu, bukankah para atheis perlu datang dan bersuara?

~Majalah Tempo Edisi. 23/XXXIIIIII/30 Juli – 05 Agustus 2007~

Komentar»

1. Kame - Juli 31, 2007

Agama itu bukan Tuhan,..

2. pangapora - Juli 31, 2007

Ini pengalaman paling buruk bagi saya dalam membaca, atau tepatnya kembali membaca caping. Saya lihat di tulisan ini, GM bergerak dari suatu kesadaran akan citarasa bahasa dan keutuhan humanitas menjadi seorang yang terlalu gamang pada pendirian dunia untuk terus merayakan keberagamaan. GM terdesak oleh suatu otoritarianisme baru yagn saya sebut dengan imperialisme media. GM terkmakan isu-isu yang sama kolotnya dengan keputusan mengakomodasi Atheisme oleh alasan Pengatas Namaan Agama dalam kekerasan. Lalu, jika seorang melakukan peperangan besar-besaran yang memakan berjuta korban tanpa nama agama, tetapi demi sebuah rezim, apakah berarti kemanusiaan seluruhnya harus dituntaskan? Malaikat pun dulu bertanya: Kenapa Kau akan ciptakan mereka Tuhan, manusia yang hanya bisa melakukan pertumpahan darah? ( YM: pangap0ra.)

3. abusilman - Juli 31, 2007

Akankah hal ini membuat kita paham, dimana akhir anda akan memperoleh pelayanan “penerbangan gratis”

4. Anai Merah - Agustus 1, 2007

Pada akhirnya agama menjadi sebuah cita rasa…boleh jadi ia terasa manis laksana gula, bisa pula menjadi pahit bahkan tawar, kembali pada selera masing-masing individu akan cita rasa itu sendiri…

5. wedulgembez - Agustus 1, 2007

whalah…gw udah bosen bin jeleh bin njelehi…kalau udah debat dengan orang debil kayak gitu…..ibarat gw debat dengan setan….mana mau setan masuk agama gw…kekekek …Ngimpiiii (pendapat pribadi….no offense)

6. Ndaru - Agustus 1, 2007

ah.. setan aja ngga mau mas, apalagi . . . 🙂

thanks pak Goen atas ‘cermin’-nya!

7. Dion. S.Soegijoko. - Agustus 2, 2007

Orang-orang yang merasa “sudah beragama” memang sering jadi narsisis dan sulit sadar kalau terjatuh dalam lubang hitam arogansi berkali-kali. Dipikirnya Tuhan yang Esa dapat mereka monopoli sendiri, eksklusif untuk golongannya….sendiri. Argumennya…wow jlimet…met ! puluhan ayat (mungkin lebih…)…plus sekian pendapat pakar….berbagai jaman jadi “tameng”nya. Padahal Tuhan juga Maha Meliputi…………! Jadi malu kan,….kalau Tuhan malah “menyentil” kesadaran kita melalui para atheis ( di rumah-rumah ibadah masih sering dikecam sebagai Kafir) yang notabene juga umat yang disayangi-Nya…….

8. kartika - Agustus 2, 2007

Ternyata pengertian atheis dan ‘agamis’ jadi berubah… mana yang atheis dan mana yang beragama?? bisa dibedakan??
wah Pak Goen, harusnya tulisan-tulisan anda gak berada di catatan pinggir, tapi di catatan tengah yang di bold dengan huruf capital, supaya banyak orang ‘agamis yang atheis’ jadi ngerti and gak nduableg lagi…..

9. Agam - Agustus 2, 2007

Sikap keagamaan Pak Gun lebih diwarnai dan dipengaruhi oleh kejiwaan dan pergaulan beliau. Dia terlalu banyak di cekoki oleh bacaan2 sastrawan dan filosof barat. Beliau adalah korban dari kebanyakan baca dan merenung tapi tanpa kedewasaan jiwa. Terkadang jiwa kita memang perlu filter dan proteksi. Tanpa itu, semua akan ngaco!

10. W.N.Padjar - Agustus 2, 2007

Hasil pemikiran selalu perlu dikritik. Dan keyakinan selalu butuh diuji.

Jika saya merasa percaya bahwa saya perlu berbuat baik maka selanjutnya saya akan dihadapkan pada kenyataan yang tampak bahwa berbuat buruk juga bermanfaat. Dan itu bagus karena saya akan menjalani tahap goncangnya keyakinan.

Kalau atheisme muncul sbg reaksi terhadap adanya agama, para penganut agama tidak perlu risau lah.. kecuali kalau yg terjadi adalah sebaliknya.

11. wedulgembez - Agustus 3, 2007

Atheisme berlandaskan pada Darwinisme..untuk lebih jelas baca
http://www.harunyahya.com/indo/buku/menyanggah01.htm

(baca dari A-Z kalau mau lho)

12. Toni - Agustus 3, 2007

Bahkan orang Atheis pun Bertuhan

Benarkah orang atheis itu tidak bertuhan? Jika pertanyaan itu kita kaitkan dengan konsep ketuhanan yang diajarkan Islam, maka sudah pasti jika pertanyaan itu ditolak. Artinya, tidak ada dalam realitas orang yang tidak bertuhan, meskipun secara teori bisa saja orang memproklamasikan dirinya sebagai orang yang tidak bertuhan (atheis).

Tuhan, meminjam Imaduddin’ Abdulrahim (Kuliah Tauhid, 1987), adalah “sagala sesuatu yang dipentingkan sehingga kita rela dikuasai atau didominasi“. Dengan rumusan seperti itu, maka bisa dipastikan jika tidak ada orang yang tidak bertuhan. Semua orang pasti bertuhan, karena dalam kehidupan seseorang pasti ada sesuatu yang mendominasinya, sehingga yang mendominasinya itu amat dipentingkan atau amat ditakuti, melebihi segala-galanya.

Orang atheis, meskipun tidak percaya pada Tuhan, pada dasarnya dia bertuhan. Lantas, siapa tuhannya? Itu sangat tergantung pada apa atau siapa yang mendominasi kehidupannya. Bisa jadi tuhannya berupa ajarannya, pemimpinnya, atau dirinya sendiri. Dalam bahasa Nurcholish Majid (Pintu Pintu Menuju Tuhan; 1996), orang-orang komunis itu ternyata tidak berhasil benar-benar menjadi atheis. Kalau atheis diartikan tidak mempercayai Tuhan dalam kategori agama-agama formal semacam Yahudi, Kristen, Budhisme, Konfusianisme, dan lain-lain, maka memang benar orang komunis itu atheis. Tetapi kalau atheis berarti bebas dari setiap bentuk pemujaan, maka orang komunis adalah orang yang kelompok manusia pemuja yang paling fanatik dan tidak rasional.

Gejala pemujaan ini misalnya bisa dilihat dari pemandangan harian di lapangan Merah Moskow. Deretan panjang orang antre untuk berziarah ke mousoleum Lenin, dengan sikap yang jelas-jelas bersifat “devotional” (pemujaan) seakan meminta berkah kepada sang pemimpin yang jenazahnya terbaring di balik kaca tebal itu.

Memang, pemimpin-pemimpin besar komunis pernah “dipertuhankan” pengikutnya: Stalin di Uni Sovyet (kini, Rusia), Mao Ze Dong (Mao Tse Tung) di RRC, Kim I1 Sung di Korea Utara. Mereka memang tidak mengakui pemimpin-pemimpin itu sebagai “tuhan-tuhan”, tetapi sikap mereka jelas menunjukkan”prosesi” penuhanan.

Fenomena orang bertuhan yang mengaku tidak bertuhan seperti pengikut komunisme ini dapat kita telaah misalnya lewat penuturan AI Qur’an surat AI Jaatsiyah/45:23, “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya”. Oleh karena itu di dalam Al Qur’an tidak dikenal istilah atheis, sekalipun dalam bahasa Arabnya.

Jadi?

13. Toni - Agustus 3, 2007

Dan Komunis pun adalah Agama

Meskipun secara populer disebut ideologi, sebenarnya—dalam perspektif normatif-filosofis—komunisme bisa juga dikategorikan sebagai dien (agama). Karena pada dasarnya Islam memandang setiap strukturisasi pandangan hidup adalah dien (lihat misalnya penggunaan kata dien dalam surat Yusuf/12:76 yang bermakna undang-undang). Dan karena itu, penyandangan gelar dien tidak terbatas pada agama formal saja, melainkan juga pada agama-agama semu (ideologi/isme, atau bahkan aliran kebatinan).

Dalam hubungannya dengan dien lain, Islam telah mengaturnya dengan ajaran toleransi, bahwa mereka tetap diberi kebebasan atas pilihan yang salah itu. Beberapa ajaran yang sangat populer tentang itu misalnya “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)” (Al Baqarahl2256); “Untukmu agamamu dan untukku agamaku” (Al Kafirun/109:6); “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya” (Yunus/10:99).

Oleh karena itu komunisme boleh saja hidup, sebagaimana agama, ideologi, atau kepercayaan lain selain Islam. Inilah yang dimaksud dengan demokrasi agama yang dikembangnkan Islam.

Jadi, jika Islam mempersilahkan komunis (atheis) hidup? MENGAPA HARUS MEMBUNUH PERKEMBANGAN ISLAM?

14. danalingga - Agustus 5, 2007

Wah ternyata memang benar tidak ada sesuatupun yang tidak memberi manfaat. Ya termasuk yang atheis itu tentunya. :mrgreen:

15. Zaki - Agustus 5, 2007

Bahkan Allah SWT menciptakan individu2 Fir’aun, Namruz, Iblis, dan Abu Lahab, menjadi tokoh yang diceritakan dalam kitabNya yang mulia, Quran.
Secara kolektif juga ada kaum2 Luth, Tsamud, ‘Ad, yang terangkum dalam Quran.
Tapi yang perlu diingat, mereka itu semua sama sekali bukan untuk diikuti. Mereka adalah contoh tentang hal2 yang harus dijauhi dan terlarang.
Nah, sekarang terserah siapa yang mau memilih untuk menjadi martir.

Yang membuat saya agak sinis adalah karena kecenderungan atheisme di Indonesia sama sekali bukan konsekwensi dari filsafat. Melainkan sebagai pelarian karena ketidaksanggupan menjalani syariat Islam, Agama mayoritas rakyat Indonesia. Tinjauan filosofis hanya sekedar tool untuk menyamarkan pelarian itu. Karena kita tahu, secara retorika kita selalu mengedepankan agama, iman, taqwa, dsj dalam setiap wacana. Dan sangat alergi dengan sebutan sekuler. Tapi secara real, Agama tak pernah mewarnai moral dan budaya Indonesia. Bahkan dalam kehidupan bernegara, terutama Islam dengan syariat yang ditegakkan dengan sempurna, akan nampak seperti racun terhadap tegaknya NKRI. Para negarawan dan pejabat militer di Indonesia pasti lebih menomorduakan agama daripada negara.

16. dwi sudjatmiko - Agustus 7, 2007

Hidup Ini Pilihan, Bukan?
Begitu Dengan Surga Dan Neraka
Juga Atheis Dan Tidak
Sama Baik Dan Buruk
Anda Pilih Yang Mana?
Jangan Terlalu Panjang Berbicara
Karena Hidup Terlalu Pendek Untuk Dibicarakan
Hidup, Mati
Suka, Benci
Marah, Sabar
Politis dan Apolitis
Mungkin Saya Salah
Tapi Saya Enggan Disalahkan
Karena Hidup Adalah Pilihan Saya
Karena Saya Lahir Sendirian
Begitu Pula Nanti Tiba Waktu Dikafani
Masa Lupa Warna Permainan Catur
Ada Hitam Dan Putih
Mau Caping, Cateng Atau Cagak (Catatan TEgak)
Itu Pilihan Bung GM

17. k'tutur - Agustus 7, 2007

Dalam keadaan lupa kepada yang tak berdaya itulah agama bisa jadi tenaga yang dahsyat. Tapi ia juga bisa jadi tenaga yang tak tahu batas. Di saat seperti itu, bukankah para atheis perlu datang dan bersuara?

—–
Agama terasa perlu ketika tak berdaya – bahkan dalam keyakinan Islam – “Islam baru bisa diterima ketika Nyawa sudah sampai di tenggorokkan”
Namun itu tetap sebuah pilihan – bukan paksaan!

18. Zaki - Agustus 8, 2007

“Tapi kita dapat juga sampai pada kesimpulan yang lain: jangan-jangan agama memang tak punya peran bagi perbaikan dunia. Perannya memang bisa lain sama sekali—terutama bila dilihat dari awal lahirnya agama-agama.”

SECARA TIDAK LANGSUNG INI ADALAH POLA PIKIR KEMENYAN DAN JIMAT PENINGGALAN ZAMAN PRABU2 JAWA
MENGANGGAP ISLAM TONGKAT SAKTI YANG PUNYA TUAH SEPERTI DI SINETRON2 HIDAYAH.

KENAPA SEORANG GM TERKADANG BISA JUGA SEBODOH ITU???

19. danalingga - Agustus 8, 2007

*lirik komen di atas*

Oh jadi agama nggak sesakti itu toh? jadi agama bukan solusi toh?
Heh ngapain saya repot repot beragama kalo gitu coba? 😆

20. zaki - Agustus 9, 2007

“Dari sini, memang ada benarnya apologi yang terkenal itu: bukan agamanya yang salah, melainkan manusianya.”

Komentar:
Dikalangan intelektual ada kecenderungan untuk menyalahkan apologi terkenal itu. Apologi itu memang terdengar klise seperti khutbah.

“Tapi persoalan tak selesai di situ. Orang-orang atheis semacam Hitchens akan bertanya: Jika faktor manusia yang menyebabkan keburukan tumbuh dalam suatu umat, berarti tak ada peran agama dalam memperbaiki umat itu. Jika demikian, jika akidah ditentukan oleh sejarah, dan bukan sebaliknya, apa guna agama bagi perbaikan dunia?”

Komentar:
Apakah anda tidak melihat: sejauh mana agama mewarnai kehidupan dan tingkah laku umat tersebut? Sejauhmana mereka mengamalkan agama sehingga agama pantas dibebani tanggung jawab terhadap perbaikan moral dan rekayasa sosial dari umat yang rusak itu? Jika anda menyimpulkan bahwa agama tidak punya daya magis untuk menghentikan suatu keburukan dalam masyarakat maka anda bisa juga menyimpulkan bahwa keburukan yang tumbuh dari umat tersebut bisa dianggap sebagai pengamalan agama. Artinya, jika seorang bapak hanya melihat saja ( tidak melarang) anaknya mencuri, maka sama halnya bapak tersebut menyuruh anaknya mencuri.

Betapa provokatif!

Dalam Islam, Shalat (bagian dari agama) itu bisa mencegah perbuatan mungkar. Nah, apakah ketika ada orang yang rajin shalat dan naik haji tapi masih korupsi, maka shalat itu dianggap seutuhnya sebagai sesuatu yang sia2 sehigga lebih baik ditiadakan seperti menghapus sebuah departemen di pemerintahan karena dianggap tidak berfungsi? Kenapa kita tidak berpikir untuk mempertanyakan sejauhmana intensitas dan kekhusyukan si koruptor tersebut dalam melaksanakan shalatnya?
Contoh lagi: Jika ada orang yang dikasih mobil lalu ketika dikendarai menabrak seseorang dijalan, maka apakah mobil itu yang harus disalahkan? Betapa konyol ketika ada kesimpulan bahwa mobil di seluruh dunia harus dimusnahkan karena banyak terjadi kecelakaan lalulintas, dan secara lantang menyalahkan apologi Bukan-mobilnya yang-salah-tapi-manusianya. Kenapa kita tidak pernah melihat begitu banyak manfaat mobil bagi orang2 yang tertib dan pandai mengemudi?

Pantaskah agama disalahkan dan dibebani tanggung jawab sementara dalam kenyataannya agama hanya digunakan sebagai simbol dan pelengkap yang bersifat elementer? Dan ketika agama disalahtafsirkan, apakah agama harus dipersalahkan karena secara gaib tidak mampu mengontrol arah pikiran manusia?

21. Toni - Agustus 10, 2007

Brainstorming GM

Apa yang dikemukakan oleh GM dalam Catatan Pinggir “Atheis”, itu kalau di pelatihan kami hanyalah bagian kecil dari materi Tuhan, yang biasa kami sampaikan dengan metode brainstorming.

Pada intinya peserta diajak untuk berpikir seekstrem mungkin tentang agama dan tuhan. Pentingkah agama? Atau adakah tuhan?

Tapi kami tidak berhenti di situ. Kami mencoba mencari jawaban mendasar tentang masalah-masalah itu.

Pada akhirnya kami temukan jawaban, bahwa Islam adalah kebenaran yang sangat sesuai dengan fitrah manusia, sekaligus memberikan kepuasaan akan dahaga akal pikiran yang selama ini menjadi kelangkaan di kalangan umat beragama (Islam), karena cara memahami agama yang tidak tepat.

Jadi, masalahnya bukan agama (Islam) yang salah, melainkan cara pemahaman pada agama (Islam) itu yang kurang tepat.

Karena itu dalam tradisi kami, Islam harus dipahami dari tiga masalah pokok, yaitu Tuhan, Alam, dan Manusia.

Terima kasih.

22. Zaki - Agustus 11, 2007

Nabi yang sudah “ketemu langsung” dengan Allah saja (tepatnya hari ini 27 rajab), harus berjuang mati2an, dengan darah dan jiwa, untuk memperoleh kemuliaan Islam.

Ketika nabi Ibrahim AS menjalani proses kreatif untuk mencari sosok Tuhan yang lain, karena ia anggap patung bikinan papinya tak bisa berbuat apa2, pertama2 ia menganggap bintang sebagai tuhan, terus bulan yang lebih besar, terus matahari yang lebih besar dan terang. Tapi semuanya tenggelam juga. Allah SWT menghargai keraguan Ibrahim dengan tidak langsung menyodorkan konsep baku tentang tauhid. Ia menyuruhnya mengumpulkan 4 ekor burung ayam (lambang egoisme), merak (lambang keangkuhan), gagak(lambang ketamakan) dan merpati(lambang primordialisme), untuk kemudian ditumbuk sampai hancur dan dikepal menjadi 4 bagian. Perjuangan mencari Tuhan ternyata belum selesai. Ia harus meletakkan ke 4 kepal daging itu di empat puncak gunung. Baru kemudian secara ajaib menemuinya lagi setelah beliau memanggilnya keempatnya satu per satu.

Kita memang terbiasa dengan budaya instant, apalagi para filosof yang gemar merenung tapi malas bekerja, yang menginginkan Islam memberi suatu kekuatan ghaib besar pada dirinya, sementara yang dia lakukan tak lebih dari membaca literatur dan menggandeng namanya dengan Islam dalam secarik KTP. Ini adalah budaya jimat, takhayul dan kemenyan, dimana hanya dengan secarik kain dan sekepul asap, jin akan datang memberinya setumpuk uang. Ah! ternyata filosof dan GM kadang2 bisa bermental dukun juga.

Manusia itu bukan batu bung, ia punya potensi, tenaga, akal, jiwa, dan pikiran. Maka ketika mereka tidak menggunakan akal, jiwa dan pikiran mereka untuk menyembah dan mengingatNya, tak ayal Ia akan menganggap kita seperti batu dan akan membiarkan kita tenggelam dalam ironi dan tragedi, karena Allah tidak melihat lagi kebaikan dalam diri manusia itu.

23. aW@l.com - Agustus 11, 2007

Atheis bisa menjelma menjadi beragam definisi, tergantung konteks dimana kita membicarakannya. lepas dari definisi yg beragam itu, Atheis disini menurutku definisi dari keyakinan Dzat yg super power yg diyakini mengontrol smua alam jagat raya ini.
aku tergugah dg tulisan Ahmad Wahib, ketika dia gelisah dg keadaan dunia sekarang yg serba morat-marit. ada yg mengaku benar dan paling benar dan tidak ada yang mau disalahkan. dimana fikih masih menjadi persoalan substansial dalam kehidupan beragama di era sekarang. Ia mengatakan “Mungkin seorang Muhammad akan membuat Fikih2 yg baru jika datang pada dunia sekarang”. mana yg benar apakah agama yg akan menyesuaikan peradaban ataukah peradaban yg akan menyesuaikan agama..?!?!?
Bagi Marx Agama adalah Candu Dunia ketika manusia hanya pasrah dan tak mau berusaha keras dlm hidup karena batasan-batasan dogmatis. Tuhan-pun telah mati kata Sartre. Fanatisme skali lagi menjelma menjadi momok dalam agama. Kebenaran absolut trasa menjadi milik individu atau sekelompok orang maupun golongan diantara mereka saja. keterbukaan dalam berdialog tak lagi tercipta. Agamapun terkotak-kotak hanya untuk kalangan mereka saja. tidak ada semangat untuk Rahmatan Lil Alamin.

24. numpang komen - Agustus 13, 2007

@Zaki
kok kayak kebakaran jenggot ya hehe…
Tiap orang boleh milih mo gmn toh?
Kok sampe keluar kata2 makian (BODOH) sih?
Urus diri masing2,
coba ga ganggu orang lain,
pasti adem deh dunia 😉

25. Toni - Agustus 14, 2007

Agama Sumber Konflik?

Rasasanya, tidak ada yang bisa membedung agresifitas (pemeluk) agama-agama. Berbagai kerusuhan yang silih berganti (Ketapang, Kupang, dan Ambon [juga Poso]), menunjukkan akan hal itu. Meskipun diduga kuat bahwa pertentangan antar¬pemeluk agama (Islam-Kristen) itu hanyalah, meminjam Koordinator Badan Pekerja Kontras Munir (Adil, 3-9 Pebruari 1999)¬ wilayah tempur bagi pertarungan para elit politik di Jakarta, tetapi sesungguhnya secara empirik harus kita akui bahwa agama memiliki peran dominan di dalamnya.

Jika klta berkenan melongok sejarah dan melihat konflik antar¬agama di wilayah negara lain, maka akan kita dapati kenyataan yang sama. Sejarah Perang Saliba dalah potret pertentangan panjang antar-pemeluk agama (Islam-Kristen). Juga Perang Bosnia (Katolik-¬Islam); Pertentangan Panjang Palestian-Israel (Islam-Yahudi); Irlandia (Katolik-Protestan); India (Hindu-Islam); Srilangka (Hindu-Budha); Burma (Budha-Islam), Sudan (Islam-Kristen); dan sebagainya adalah daftar panjang tentang konflik yang sangat kental nuansa agamanya.

Tidak salah jika dikatakan bahwa unsur-unsur lain (politik kekuasaan atau kriminal) dalam konflik antar-agama, hanyalah sekedar pemicu; sentimen agama-lah yang sesungguhnya berbicara.

Kita lihat, mengapa konflik kecil yang melibatkan Yoppy dengan Usman, dan kemudian, pemuda Batumerah dengan pemuda Mardika-menjadi besar? Tidak lain karena Yoppy, juga pemuda Mardika, beragama Kristen sedangkan Usman beragama Islam¬ juga pemuda Batumerah (kronologi Tregedi Ambon silahkan baca Abadi 8 Januari – 3 Pebruari 1999, juga Tekad 1-7 Pebruari 1999). Provokator atau apalah namanya, tidak akan mampu membesarkan kasus kecil itu, jika Yoppy bertengkar, misalnya, dengan Johanes yang sama-sama Kristen.

Provokator baru bisa menciptakan kerusuhan besar karena kecerdikannya memainkan sentimen agama, dengan berbagai isu yang menyangkut kehormatan agama (gerejadi bakar,misalnya). Ketika itulah agresifitas pemeluk agama menemui puncaknya. Seperti yang dialami pemuda Ambon, 1 Syawal 1419 H yang lalu: “Jawa, Bugis, Makasar, dan Buton biadab! Hablsi orang lslam!” Mereka lalu meluluh-lantakkan segala sesuatu yang dianggap (milik) orang Islam: nyawa, rumah (isinya), pertokoan, kendaraan termasuk becak, masjid dan fasilitas pendidikan (mereka tidak membakar, setidak-tidaknya mecoba membakar, pertokoan yang pemiliknya orang Cina).

Lantas dengan demikian apakah para pemeluk agama yang salah dalam menafsirkan ajaran agama sehingga membangkitkan semangat konflik? Ataukah malah agama itu yang justru mengajarkan konflik?

Secara normatif agama-agama menyatakan bahwa ajarannya tidak mengandung unsur konflik. Seruannya adalah damai dan sejahtera. Konflik baru “halal” jika keadaan terpaksa yaitu saat menghadapi tekanan dan perlawanan musuh.

Atas dasar itu, maka tidak banyak yang berani mengangkat (ajaran) agama sebagai faktor pemicu konflik. Tuduhan kemudian dialihkan kepada varian-varian lain di luar agama, misalnya (kepentingan) politik, (kesenjangan) ekonomi, (pertentangan) suku¬-ras, dan sebaginya. Jika toh masih dikaitkan dengan agama biasanya hanya sebatas pada pemeluknya (biasanya tuduhan berbunyi: kekerdilan pemeluk dalam memahami ajaran agama).

Tetapi, sekali lagi, secara empirik kita selalu diperlihatkan bahwa banyak konflik yang mengandung sentimen agama-apapun alasannya, menyerang atau mempertahankan diri dari serangan. Oleh karena itu, secara jujur harus kita akui bahwa agama adalah salah satu sumber konflik sebagaimana juga paham hidup yang lain; apakah itu komunisme, kapitalisme, atau nasionalisme (negara bangsa). Tidak ada paham atau ajaran, bahkan komunitas, yang steril dari unsur konflik. Kita lihat konflik di era Perang Dingin; bukankah itu representasi dari konflik komunisme (atau sosialisme) dengan kapitalisme? Jauh sebelumnya, kapitalisme (imperialisme) telah menancapkan kaki-kaki konfliknya di berbagai belahan dunia. Kita tengok pula konflik Irak-Iran; bukankah itu adalah cermin konflik nasionalisme? Demikian juga konfrontasi tempo dulu antara Indonesia dengan Malaysia; bukankah ini konflik antar-(negara bangsa) Indonesia dengan (negara bangsa) Malaysia?

Jadi tidak add jika kemudian kita menolak adanya unsur konflik dari agama. Sama tidak adilnya dengan menutup realitas bahwa di luar agama masih banyak sumber konflik. Yang kemudian menjadi pertanyaan besar adalah, mengapa agama yang selama ini selalu diidentikan dengan kedamaian dan kesejahteraan juga (harus) memilki wajah konflik? Tidak mudah menjawabnya. Tetapi beberapa pertanyaan berikut perlu mendapat perenungan mendalam! Pertama, benarkah Tuhan menurunkan banyak agama (dan semuanya benar)? Kedua, tidakkah realistis dan logis bahwa Tuhan itu hanya menurunkan satu agama sebagai pembawa kebenarannya? Ketiga, dibenarkan tidak pemeluk sebuah agama (yang benar tadi) menghancurkan pemeluk agama lain (yang salah)? Keempat bolehkah pemeluk sebuah agama (yang benar tadi) membela agamanya dari segala gangguan?

Tentu, pertanyaan-pertanyaan di atas, sulit dijawab jika kita tidak mengkaji agama-agama secara benar; dalam arti melalui pencarian yang didasari oleh objektivitas, bukan lewat pemahaman doktriner yang turun-temurun. Sementara jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat penting bagi eliminasi kontlik yang bersumber dari agama.

Adalah tugas kita, bagaimana agar potensi konflik dalam agama itu tidak sempat benar-benar menjadi konflik! Perlu dikembangkan sikap toleransi yang benar. Misalnya kita punya konsep toleransi seperti ini: “Boleh kamu hidup dengan agama kamu (yang salah itu) dan biarkan kami hidup dengan agama kami (yang benar ini) [OS AI Kaafirun]. Jika itu kamu langgar, maka kami siap berkonflik dengan kamu. Dan itu adalah bagian dari kebenaran. Sedangkan kebenaran lebih tinggi nilainya dari kedamaian.”

26. syalsabil - Agustus 15, 2007

Manusia yang tidak punya agama adalah orang yang tolol dan merugi. Kenapa saya katakan tolol sebab agama adalah sebuah petunjuk jalan untuk kembali kepada Tuhan dalam keadaan selamat.
Merugi karena orang yang bersangkutan telah menyia-nyiakan hidupnya dalam ketidak pastian terombang-ambing dalam lautan kehidupan yang pasang surut.
Baca dan pahami isi kandungan Al Quran, yang didalmnya memuat banyak hal tentang kehidupan mulai dari kondisi alam semesta yang sampai sekarang manusia sudah mulai melihat bukti kebenaran isinya mulai dari awal kejadian manusia di dalam rahim, kondisi alam bumi, alam raya dan juga alam gaib yang kesemua itu ada dalam Al Quran. Untuk alam gaib sampai sekarang alat canggih manusia belum bisa mendeteksi keberadaannya yang sangat banyak dan berkeliaran disekitar kita.
Jika anda masih juga belum percaya adanya alam gaib silahkan datangi paranormal atau kyai, minta pada mereka untuk mendatangkan makhluk gaib itu dan sentuhlah kalau ingin nyakin benar ajak berjabat tangan atau suruh jin itu menampar wajahmu sebagai bukti bahwa mereka juga bisa menyakitimu(menyentuh).
Kalau ingin tahu ajaran tentang islam yang benar lihat prilaku para tokoh alim yang hidupnya tidak mengejar duniawi.Sebab kyai atau ustad tidak identik dengan gambaran prilaku umat islam yang sebenarnya apalagi dijaman sekarang yang ilmu agamanya hanya dipakai untuk mencari duniawi. bukan mencari keridhoan Allah. sehingga tidak sedikit kyai yang memasang tarif untuk bisa dipanggil berceramah. juga banyak yang sekarang cenderung mencari jabatan atau kekuasaan untuk menyamankan hidupnya.
Ingat…! haai ustad atau kyai, ilmu yang kau dapatkan tidak untuk mencari uang tapi lebih untuk keselamatan dirimu di dunia dan lebih penting untuk kehidupanmu di akherat, teramasuk didalmnya; keluargamu dan yang lebih umum untuk umat manusia.
Dan jika kalian masih ragu kebenaran Al Quran. silahkan pelajari dan mintalah petunjuk Tuhan dengan cara berdiam diri ditempat sunyi dalam kondisi malam hari di ruang khusus. insya allah jika kamu benar-benanr sangat ingin maka cepat atau lambat akan datang petunjuk itu. selamat mencoba. Jangan mecela atau meremehkan dulu sebelum mencoba,oke!
Hidup ini perjuangan dan ujian. jika kita berhasil kita akan menikmati hasilnya baik di dunia maupun di akherat.
Tidak sedikit kyai yang gagal dalam mengarungi ujian kehidupan.Yang pada akhirnya mereka terjerumus dengan bujukan syaitan (jin jahat). Tapi banyak para mantan preman yang akhir hayatnya malah menemukan kebaikan melebihi para kyai yang tersesat itu. jadi benar bahwa derajat manusia di hadapan Allah Tuhan semesta alam itu tidak tergantung pada jabatan, kekayaan, kebaikan fisik atau banyak ilmunya. tapi cukup dengan keimanan dan ketakwaan yang hal ini bisa dimiliki oleh siapa saja; bisa orang miskin, orang kaya, ahli agama, orang biasa setingkat kuli panggul atau petani.

27. ibra - Agustus 15, 2007

saya tidak melihat ada yang kontradiktif…

28. kinko - September 15, 2007

semuanya itu berawal dari sebab akibat, ketika seluruh kekacauan dan kekerasan terjadi di muka bumi ini atas nama agama, manusia mncoba mencari alternatif dan solusi untuk sebuah kebaikan dan kebenaran sejati, dan manusiawi sekali apabila seorang berusaha untuk menemukan sesuatu yang dianggap ideal dan true.

29. pak de - Maret 13, 2008

Ah..begitu banyak orang yg salah faham membaca tulisan2 GM. Keyakinan beragama (saya yakin) tidak akan rusak hanya karena caping. Tak perlu takut. Baca caping dengan santai (tapi tetap sambil berpikir & merenung tentunya). Jangan belum apa-apa sudah pakai emosi. Biasa po’o maaas 😀

30. Idham dharma - Maret 27, 2008

bapak-bapak yang terhormat, apa ngebahasnya nggak kejauhan atau cuma mau numpang beken biar dibilang tulisannya selevel caping. Elok barangkali kalau kita bisa mengundang GM untuk mengomentari tulisannya karena lebih banyak yang dia tidak tulis ketimbang yang ditulis.
Sesak juga dada ini ketika orang menilai dengan semena-mena tentang orang lain sementara tulisan GM mungkin pendapat mungkin pula sebenarnya sekedar pertanyaan? Ada pula yang mampu bilang dia Bodoh…masyaallah

31. kamat - Maret 27, 2008

dan ada juga yg bilang GM harus bertobat..

32. syam - Maret 31, 2008

he..he..ada yang bilang GM harus bertobat? masyaallah…..sejak kapan sampeyan beli surga dan neraka dari Tuhan pak? Sejak sampeyan kurang baca sepertinya…..

33. geRes - April 1, 2008

weleeeeeeeeeeeeeeeeehhhhhh
opo iki??? 🙂

34. ery_gbn - Mei 28, 2008

Membaca Caping ini saya jadi menganggap para ateis lebih kepada suara yang “mengoreksi” daripada suara yang menentang.Memang tak ada yang tak bermanfaat. Thanks atas pencerahannya.
@Toni
Sory….komentar anda seringkalai panjang..tapi kurang berisi….(sekali lagi sory)
@Zaki
Kok anda salah faham melulu ya terhadap tulisan GM….seringkali menyimpulkan tulisan GM dengan cara yang naif dan ceroboh…baca lagi!

35. husni - Mei 28, 2008

kalo kita percaya pada pernyataan bahwa “pengarang telah mati,” maka caping mas Goen ini sudah jadi milik kita bersama. jadi, komentar apapun, bahkan yang tak berisi atau numpang beken sekali pun, tak apa.
kamarin malam, saya ngaji bareng Novri di JIL tentang buku yang mengulas ayat “tidak ada paksaan dalam agama”. meski sebagian yang dibaca (karna bahasa arab dan waktunya mepet), paling tida ada dua hal bisa ditangkap:
1. tidak ada paksaan dalam (ber)agama. karenannya tidak ada paksaan pula untuk kafir atau atheis.
2. tidak ada paksaan dalam agama layaknya tidak ada paksaan dalam cinta.
bila batin melalui permenungan sudah menyimpulkan bahwa institusi agama sudah taka dapat menolong manusia, dan memilih ateis, sama sekali tak masalah. dalam beberapa Caping mas Goen beberapa kali saya menangkap bahwa manusia selalu dalam proses. karenannya sangat boleh bila ada perubahan keyakinan dalam diri kita. toh itu bagian dari pernyataan batin, sebentuk penyerahan diri yang lebih baik. bahkan bila seseorang ateis karena ingin dipuja dan dipuji orang.

36. bowo - Juni 2, 2008

Setan Itu hapal dan memahami secara menyeluruh isi quran, injil, weda, zabur, dan semua kita suci di dunia, dan menggunakannya sebagai salah satu cara untuk membujuk manusia agar saling berperang. Berhatil-hatilah wahai manusia jangan terjebak pada bujuk rayunya.

37. bowo - Juni 2, 2008

jangan teradu domba wahai para pemeluk agama

38. aceng husni - Juni 2, 2008

mas, identifikasi setan itu apaan ya? setan itu abstrak, ga berbentuk. kita bisa beda pendapat loh soalnya. dan mungkin ini juga akan menjadi sumber pertengkaran dan peprangan. jangan-jangan setan itu kata “abstrak” itu ya? tapi Tuhan juga abstrak, apa bedanya dengan setan? apa Tuhan juga sumber adu domba itu? mana pun pilihan mu, bebas. sebebas memilih cinta.

39. BODRONOYO - Juni 9, 2008

Caping dan Komentar Anda sekalian sangat berbobot bagi saya yang orang kebanyakan ini.

Setelah saya coba2 untuk berpikir ala filsuf materialis yang bebas, saya menemukan bahwa mempertanyakan ADAnya Tuhan sama saja dengan TIDAK MENYADARI EXISTENSI DIRI.
Hukum2 alam menyiratkan bahwa tidak ada dzat yang menjadi dengan sendirinya.
Perekatan materi2 terkecil yang tidak hidup menjadi suatu bentuk kehidupan berupa virus ataupun sel tunggal, adalah keajaiban. Kekompakan sel2 membentuk kehidupan manusia yang berakal budi, sungguh patut direnungkan kembali oleh orang2 atheis.

40. Brahmachari - Oktober 7, 2008

Konon, trilogi Star Wars mengajarkan spiritualisme tertinggi: “May The Force be with you”

Tuhan itu sebuah force, dorongan di alam semesta yang menggerakkan atom-atom hingga hati dan akal manusia. Ia tak tinggal dalam singgasana dan istana. Ia tak berbentuk tak berkelamin. Ia ada di mana pun

Tuhan…..Sang Hyang Keresa Tunggal

41. melao - Oktober 11, 2008

atheis dan theis sebenarnya sama saja……….
hanya tuhan orang atheis lebih sedikit dari theis..

42. moglista - Februari 23, 2009

@Zaki

komentar anda tentang mobil, membuat saya penasaran, dalam hal ini, agama itu mobil atau pengemudi?
kalau mobil, ow, berarti agama adalah “alat” manusia, dan kalau pengemudi berarti agamalah yang mengendalikan mobil untuk menabrak orang???

begitu bodoh diri anda!

43. massto - Februari 24, 2009

om goen sebenernya cuma mau bilang,..lembaga agama sudah gagal dalam membawa kemajuan,kedamaian,..ato dalam bahasa kerennya..cinTa..

lalu,..yang dangkal bilang,..biang kerok masalah semua kemanusiaan adalah..ajaran agama..!!
padahal sejarah adalah jawabnya..kepentinganlah yang melatar belakangi segala keruwetan itu..politik cuy..

sudah lama kita lepas dari nilai2 sejati nusantara,..
padahal kalo mo jujur,.. penghuni nusantara selalu menyembah sesuatu,..dari batu, pohon, kuburan, jimat, pangkat, jabatan, dlsb2..

mungkin saya atheis?
ato mungkin juga theis?

ahhh…aku cuma bisa belajar tunduk…

44. isoelaiman - Februari 25, 2009

Saya kagum dengan bacaan GM dan kalimat apiknya. Bener-bener masih “enak dibaca dan perlu”. Dan analisanya atas karya Hitchen di alinea pembuka caping ini sangat menarik. Yang saya pahami pada caping kali ini dan juga komentar-komentar tentang Atheis ini sederhana saja. Bahwa, karya manusia itu adalah produk akal, perasaan, imajinasi, tindakan dan perenungan atas realitas. Apakah realitas itu? Reality is things in them self. Realitas itu adalah sesuatu dalam dirinya sendiri. Ketika ilmuwan meneliti realitas, sedapat mungkin ia memahami realitas itu. Kemudian ia mendeskripsikan sesuatu itu dan menjelaskannya apa yang dipahaminya. Namun, tetap, ia bukan realitas itu sendiri. Itu adalah pemahaman ia terhadap realitas. Paling banter mendekati realitas. Realitas itu tetap dalam dirinya sendiri. Inilah batas akal, batas kebudayaan. Tak pernah bisa menembus lebih dari itu. Demikianlah realitas yang dideskripsikan oleh Hitchens, Harris dan Dawkins yang dipaparkan GM.
Di Atheis ini, realitas bahwa agama itu dilihat sebagai pendorong pemeluknya untuk saling bunuh, baku hantam, itu realitas. Realitas getir, pahit. Itu juga yang dilihat Darwin, dan para ilmuwan lain. Penghebatan akalnya, menghantar dirinya dalam kegelapan realitas Ilahiah. Lantas bilang, kemudian untuk apa agama dizaman ini?
Silih berganti Rasul dan Nabi, meneguhkan bahwa Allah menyayangi manusia agar tak menjadi sampah neraka. Ini hakekat realitas. Dan itu semua ada di Al-Qur’an. Dengan membaca dan menghayati Al-Qur’an, dan dengan petunjuk Allah, kita pasti menemukan jawabnya.
Akal manusia tak pernah dapat membayangkan adanya realitas seperti ini. Di akhirat, Allah menyapa manusia, “Dimanakah raja-raja manusia di dunia dulu”. “Dimanakah berhala-berhala yang kalian sembah dulu –juga nafsu-nafsu yang kalian berhalakan–?. “Saat ini Aku (Allah) melupakan kalian, sebagaimana kalian dahulu melupakanku”. Dan itu realitas akhirat. Itu semua ada di Al-Qur’an. Dan, orang mukmin yang yakin akhirat, meyakini realitas itu.
Meski itu tak masuk di akal ilmuwan, karena dianggap tidak empiris, tidak nyata. Dan, bagi orang yang tak beriman menganggap bahwa hal itu sebuah ilusi, khayal, dan tak masuk akal. Bahkan mereka memicingkan sebelah mata, dan realitas ini pun ada dalam Al-Qur’an.
Syahdan, caping GM yang berjudul Atheis itu, membenarkan apa yang tertera dalam Al-Qur’an bahwa ada manusia penghujat agama atas nama akalnya semata. Dan, GM itu hanya ingin mengetengahkan “ada-nya” hujatan manusia. Maka, pertanyaan GM dipembuka Atheis bahwa, “Agama akan tetap bertahan dalam hidup manusia, tapi layakkah ia dibela?” Dua pernyataan, pertama pengakuan, kedua keraguan. Ini kebalikan dari syahadat, yang peniadaan, kemudian peneguhan.
Karenanya, perlu dijawab, ya, GM agama layak dibela. Dan, pembelanya hanya orang yang beriman, siapa pun, dimana pun dan kapan pun. Karena , “bila Anda membela Allah, maka Allah akan membela Anda dan meneguhkan imanmu”.

Kuyakin itu,
walau seribu agnostik,
juga para terhormat,
pengomentar caping,
bahkan
bila pun GM,
dan fans-nya
termangu
tersebab akal
yang diciptakan-Nya?

45. bha_boe - Februari 28, 2009

maap nech,,

q baru ja gabung, jd kurang tw pokok pembicaraannya..
hehehe…

tolong…
ada gak ya yg mau ngejelasin k aq??????
🙂

46. citra - Maret 27, 2009

atheisme = pecundang

atheisme selalu mengoarkoan humanisme dan nyatanya atheisme ak pernah dapat menghargai sebuah dasar dari humanisme yakni saling menghargai. Buktinya kebanyakan para aheis selalu menghujat agama dan tuhan nya para theis.

47. Dylan mustafa - April 22, 2009

Yg jelas kita msh bisa bersuara lantang skg ini meragukan agama dan Tuhan krn kt msh sehat walafiat…tp pikirlah ketika masa sehat tlh hilang dan datang masa sakit…teringat sy pada cak nur…apa daya kita ini yg cm hamba Allah yg lemah…kpd siapa kt akan berserah diri dan meminta tolong?
Wassalam

48. Zul Azmi Sibuea - Mei 5, 2009

apakah benar kita melihat bahwa keberagamaan tak lagi berman-fa’at untuk kehidupan manusia ??
apakah benar kita melihat bahwa orang beragama tak lagi berman-fa’at untuk kehidupan manusia ??
masih banyak pertanyaan-pertanyaan elementer ;ain yang bisa disusun untuk lebih tajam mencari dan mengidentifikasi sisi mananya keberagamaan itu yang sering menimbulkan ketegangan/antagonisme
asal saja tidak digeneralisir, bahwa setiap muncul ketegangan , kerusuhan, pembunuhan, pokoknya semua disebabkan oleh kewahaman seperti yang dilansir oleh GM ”Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan disebut agama.” lalu disimpulkan atas nama agama boleh menyerang agama lain
saya hanya mengamati bahwa para pluralis, dan multikulturalis sangat mudah mengambil kesimpulan , atau mempunyai sensing yang over-sensitive untuk menilai bahwa setiap akar permasalahan selalu bermula dari fundamentalisme agama, padahal akar masalahnya disebabkan oleh keadaan sebaliknya. misalnya :
karena kemiskinan yang sangat terstrukturlah yang menyebabkan
nya beroleh perlindungan pada fundamentalism. miskin harta,
miskin pendidikan, misking fasilitas umum yang semestinya
diperoleh, miskin relasi sosial karena dijepit oleh kapitalisme
negara. dalam hal ini fundamentalisme bukan lah sebab , tetapi
akibat kemiskinan. fundamentalisme adalah ruang aman bagi mereka yang terusir dari society yang tak lagi bersahabat ini.
karena itu, mesti kembali beragama, kembali bertuhan, kembali bertobat, kembali bertauhid – hanya illuminasi ketauhidan yang menerangi dan berefleksi pada tindakan manusia yang bisa menyelamatkan manusia dari saling cengkeram dan saling mangsa, ilumunasi dan refleksi itu yang kemudian kita sebut moral dan etika yang sumbernya adalah ilmu tuhan yang tertuang dalam kitab suci.
jangan waham – karena akan membawa kita pada atheis.

49. deni oktora - Agustus 26, 2009

banyak kaum Agama (Theist) yang mengkritisi akan keberadaan kaum Atheists serta argumen-argumen dan filosofi dasar Atheists. bahkan banya kaum Agama yang melecehkan teori-teori evolusi darwin sebagai pepesan kosong belaka. namun bila seorang Atheists mengkritisi umat beragama ( Yahudi, Islam, Kristen) maka tak jarang mereka menjadi berang , defensif, bahkan berubah menjadi vandalis. mereka anggap itu sebuah penghinaan Terhadap Tuhan mereka.

disini jelas, menurut dawkins, harris dan hitchens kalau kaum beragama sedang mengalami gejala DELUSIONAL TINGKAT AKUT MASSAL.

salut untuk dawkins, harris, dan hitchens. kami lebih membutuh mereka yang pro humanism daripada orang macam baasyir dan habib rizik.

50. ubed - September 5, 2009

klo menurut saya orang2 yg pemahaman agamanya fundamentalis
saya lebih setuju dengan kata2 pak azumardi azra mntan rektor UIN sarif hidayatullah,bahwa mereka berbuat seperti karena kepentingan politik yg di justifikasikan oleh agama

51. MagicStix - Desember 9, 2009

Makasih,

Guam Page.

52. MagicStix - Desember 9, 2009

KENAPA SEORANG GM TERKADANG BISA JUGA SEBODOH ITU?

53. DBsai - Desember 10, 2009

sakral…….’ah, darah……oh, ajaran…….’teruskan, dendam……’jangan, kebencian….’yah.

54. wem - Desember 16, 2009

kulebih suka kalo yg gratheist,,

Dibonsai - Desember 16, 2009

‘ketika saya berhadapan dengan Tuhan, saya adalah muslim. ketika saya berhadapan dengan manusia saya bukan muslim’ Tan Malaka-kongress IV Komunis

55. wemblogspot - Januari 5, 2010

ehm jugaa

56. guamnetwork - Mei 15, 2010

Makasih atas cerita nya, WCL.

57. anung - September 25, 2010

setan menangis apa tertawa ya baca tulisan ini? anda sdh tahu jawabannya, pak goen!

58. Buy Google Android Tablet PC - Juli 13, 2011

Woah! I’m really loving the template/theme of this site. It’s simple, yet effective. A lot of times it’s very hard to get that “perfect balance” between usability and visual appearance. I must say you’ve done a fantastic job with this. Also, the blog loads extremely fast for me on Safari. Superb Blog!

59. kota salju - Juli 16, 2011

saat dimana kita lupa akan keadaan yang tak berdaya, saat itulah akan timbul tenaga yang melebihi batas, coz agama datang untuk melindungi mereka yg tak berdaya.

60. buku dakwah - Oktober 31, 2011

sungguh Allah kan terus menjaga agamaNya

61. Shaadiqiin"DikinBatam"Wangsa - Agustus 11, 2013

Atheis buat saya jadi ragu karEna memilik dua agama orangtuaku contoh artis cantik yuki kato orangtua adalah atheis kalo nikah siapa walinya apa ibunya apa penghulunya yang jadi saksinya

62. Teismeateismenobukti Pemikir Bebas - Agustus 30, 2013

Setiap jaman dengan aneka ragam peristiwa yang di alami manusianya sebagai fakta alamiah ilmiah, universal, telah menelanjangi dirinya, berbicara dan membuktikan bahwa; sesedikit atau sebanyak apapun pluralitas manusia dengan populasinya hingga manusia telah berjumlah 7 milyar menurut data PBB pada desember 2011, maka tidak akan bisa di satukan ke dalam satu konsep kebenaran hukum ketuhanan lokal dari agama lokal apapun dan darimanapun, baik itu dari kebenaran hukum ketuhanan lokal agama Yudaisme dan agama Kristen dari Yahudi, agama Islam dari Arab Saudi, agama Hindu dan Budha dari India, agama Khong Hu Chu dari Cina, agama Shinto dari Jepang atau dari manapun. Karena isi dari konsep hukum agama agama ketuhanan lokal atau teisme tersebut termasuk prinsip ateisme, agnostik ataupun pemikir bebas, nampak sangat jelas “bertarung kebenaran” tidak hanya untuk survive tetapi juga nampaknya berupaya untuk saling menguasai di dalam ruang waktu seleksi hukum alam dengan rantai makanan pisik dan kehendak bebas manusia sebagaimana “pertarungan kebenaran” mahluk hidup lainnya yang tidak bisa di hindari oleh siapapun dari antara mereka. Determinasi pertarungan kebenaran? Haruskah akal yang di banggakan manusia sebagai kelebihan, kecerdasan bahkan di anggap kemuliaan oleh manusia beragama tidak di gunakan untuk memanusiakan manusia? Manusia telah membinatangkan manusia jika akal di gunakan sebagai kekerasan untuk saling bantai membunuhmatikan pisik dan psikis manusia, sehingga Aristoteles dengan definisinya ”homo est animal rasionale”, manusia adalah binatang berakal, telah melengkapi pengamatan Xenophanes bahwa “jika kuda memiliki akal, maka kuda akan menggambarkan tuhannya sama seperti kuda” sebagai fakta realitas yang kemungkinan bisa berakhir atau tidak bisa berakhir.
Oksigen, zat beracun yang memberikan diri sesuai porsinya sebagai fakta kebenaran universal dari bagian alam semesta yang menghidupkan siapapun dengan kedamaiannya, dan juga kejahatan dengan kekerasannya telah menerjemahkan arti diri mereka, tetapi ada banyak manusia yang lebih suka menikmati kejahatan dengan kekerasannya sebagaimana nikmatnya zat aditif psiko narkoba, tanpa rasa sesal, tidak peduli terhadap efek kekerasan dan kejahatan yang di nikmatinya, psikopat?
Kekerasan tidak memanusiakan manusia pelaku kekerasan, manusia korban kekerasan dan nilai universalitas hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Tetapi jika ada realitas awal sebagai sumber yang menjadi penyebab utama adanya alam semesta dengan peristiwa interaksi dan reaksi berbagai ragam perilaku isinya, maka bisa di pastikan bahwa, realitas awal tersebut pasti bukan tuhan tuhan lokal dari agama lokal apapun yang ada di dunia ini yang tidak hanya berbeda beda asal usul geografis, nama, sifat, kehendak dan hukum hukum ketuhanan lokalnya saja, tetapi juga berbeda beda model penciptaan alam semestanya yang terlihat jelas sangat tidak sesuai dengan fakta ilmiahnya realitas alam semesta yang ada. Para tuhan lokal di dalam setiap kitab suci agama lokal apapun dan dari manapun telah diciptakan dan di peralat para pengarangnya untuk menguasai pisik dan psikis manusia lainnya dengan ungkapan ungkapan psikologis yang menenangkan dan menakutkan berupa surga kenikmatan hidup kekal dan neraka penyiksaan hidup kekal agar di percaya dan di patuhi. Apalagi Yahwe Ellohim atau Yesus dari Yahudi dan Allah dari Mekah Arab Saudi sebagai tuhan tuhan lokal di wilayah lokalnya masing masing yang di ciptakan dan di peralat oleh watak narsis rasis fasisnya para pengarang Taurat Injil AlQuran untuk saling bertarung kebenaran dalam upaya menguasai manusia di seluruh dunia.

63. More about the author - April 8, 2014

eliquids Atheis | Catatan Pinggir

Teismeateismenobukti Pemikir Bebas - Juni 8, 2014

Ayat ayat kitab suci agama apapun yang terkait dengan nilai universal kemanusiaan tentang cinta kasih sayang, mengasihi sesama manusia, menjadi rahmat bagi sekalian alam; tidak akan mampu mengurangi, tidak akan mampu menghentikan, tidak akan mampu meniadakan fanatisme, rasa tidak suka, kebencian dendam kesumat dan upaya saling menguasai dalam perang pisik maupun psikis yang dianggap suci antar kelompok agamais dengan ataupun tanpa yel yel histeria mengatasnamakan superioritas tiap tiap Tuhan dan kebenaran hukum ketuhanan definitifnya masing masing, bila ayat ayat kekerasan saling menistakafirkan iman ketuhanan yang berbeda, menghina manusia yang tidak percaya, disertai perintah kekerasan dan perang pisik maupun psikis yang merusak nilai universal kemanusiaan, saling membinatangkan manusia, tidak memanusiakan manusia, masih tetap ada, tidak dilenyapkan dari tiap tiap kitab suci agama ketuhanan apapun.

Lenyapkan ayat ayat kitab suci agama ketuhanan apapun yang saling menistakafirkan iman ketuhanan yang berbeda, menistakafirkan manusia yang tidak percaya, maka, hukum ketuhanan definitifnya manusia teisme apapun akan terbukti saling memanusiakan manusia, tidak saling membinatangkan manusia.

Kalau memang memiliki etika moral yang mengutamakan nilai universal kemanusiaan sejati tentang cinta kasih sayang, mengasihi sesama manusia, rahmat bagi sekalian alam, saling menghormati, saling menghargai, saling memanusiakan manusia, seharusnya ajaran superioritas kebenaran hukum ketuhanan apapun tidak perlu di bela dan dilengkapi dengan ayat ayat saling menistakafirkan iman ketuhanan yang berbeda, menistakafirkan manusia yang tidak percaya disertai perintah kekerasan dan perang pisik maupun psikis untuk memengaruhi, menguasai dan menjadikan keberagaman menjadi satu ragam dengan ajaran kebenarannya saja.

64. Teismeateismenobukti Pemikir Bebas - Juni 8, 2014

Bagi manusia jujur merdeka yang selalu setia pada kejujuran dan kemerdekaan daya pikir otaknya dalam mencari kebenaran universal sejati tentang ada atau tidak ada sesuatu yang diduga sebagai penyebab utama atau bukan penyebab utama adanya alam semesta, pokok persoalannya adalah;

1. Bukan hanya sekadar pada rasa percaya atau tidak percaya, tetapi, pada benar atau tidak benar tentang ada atau tidak ada sesuatu yang diduga sebagai penyebab utama atau bukan penyebab utama adanya alam semesta.

Karena, jika pokok persoalannya yang di utamakan terlebih dahulu adalah hanya sekadar pada rasa percaya atau tidak percaya, bukan pada benar atau tidak benarnya, maka, ada atau tidak ada sesuatu yang diduga sebagai penyebab utama atau bukan penyebab utama adanya alam semesta hanya akan ada di sebatas dugaan tanpa bukti apapun tentang itu, bukan fakta aksioma, bukan Kebenaran universal.

2. Apakah tiap tiap Tuhan definitifnya manusia teisme yang di tawarkan agar di percaya sebagai pencipta dengan iming iming surga menenangkan jiwa dan hukuman neraka menakut nakuti jiwa menurut hukum ketuhanan definitifnya masing masing manusia teisme ras suku lokal apapun yang ternyata berbeda beda, termasuk perbedaan hukum ketuhanan dalam Taurat Injil Quran agama Yudaisme, Kristen, Islam dari Yahudi dan Arab Saudi adalah;
Kebenaran universal yang bukan berasal dari hasil definitifnya daya pikir otak manusia?

Ataukah hanya sekadar Tuhan Tuhan definitif dari hasil kreativitas daya pikir kehendak bebas manusia yang memang terbukti berbeda beda sifat dan kehendak dalam hukum ketuhanan definitifnya sesuai dengan hukum di wilayah budayanya masing masing?

Semua hukum ketuhanan definitifnya tiap tiap manusia teisme yang berbeda beda tersebut, sesuai ataukah tidak sesuai dengan fakta aksioma realitas alam semesta dengan segala fenomena yang ada dan terjadi?

Tuhan seperti apalagi yang akan didefinitifkan oleh manusia teisme sudah menciptakan tiap tiap Tuhan definitif mereka tersebut dengan segala perbedaan hukum ketuhanan definitifnya masing masing yang berbeda beda sehingga terjadi konflik saling tidak percaya, saling menidakkan, saling meniadakan hingga mereka saling serang dengan teriakkan histeris perang suci saling membunuhmatikan kehendak bebas pisik dan psikis dengan mengatasnamakan perintah Tuhan definitifnya masing masing yang bukan mengurangi, tetapi justru semakin menambah banyaknya jumlah ketidakteraturan dalam alam semesta?

Keadaan seperti apa sebelum ada segala sesuatu?
Ada atau tidak ada sesuatu yang dianggap sebagai penyebab utama atau bukan penyebab utama sebelum keadaan itu?

Karena tidak terdefinisikan, tidak akan mungkin bisa didefinisikan, maka, definisi atau jawaban apapun tentang itu, hanya akan tetap ada di sebatas dugaan belaka tanpa bukti apapun, apalagi bila mahluk apapun dan siapapun dia itu adanya ateisme termasuk semua Tuhan definitifnya manusia teisme dan manusia teisme itu sendiri, walaupun dianggap atau mengaku sebagai nabi, tidak pernah ada disana.

Maka, jika tidak pernah ada disana; jujur, jangan bohong, tidak jujur, jangan mengada ada dengan dugaan hanya di sebatas tafsir bersayapnya bahasa metafora ilmu ketuhanan agama teisme apapun.

Dengan ide wahyu delusionis dari pengalaman irasional pribadi berupa epifania atau penampakkan dan bisikkan bisikkan gaib, absurd dalam mimpi pada saat tidur maupun semedi tapa brata atau pada saat terjaga tidak tidur yang tidak bisa disaksikan oleh satu saksi hidup lainnya, Taurat=Ajaran manusia teisme ras Semitik Yahudi mengatakan di Kejadian 1: 1 bahwa:

“pada mulanya Yahwe Ellohim (Tuhan lokal di Yahudi, bukan Allah tuhan lokal di Arab Saudi) menciptakan langit dan bumi”

Pengarang Taurat Yahudi coba berupaya menjelaskan bahwa, Yahwe Ellohim Tuhan definitifnya, telah lebih dulu ada dengan sendirinya sebelum ada langit bumi, sebelum ada segala sesuatu, tetapi, ternyata tidak punya kemampuan sedikitpun untuk menjelaskan tentang keadaan seperti apa sebelum ada segala sesuatu, termasuk sebelum dan pada saat Yahwe Ellohim diduga ada dengan sendirinya. Karena, Yahwe Ellohim Tuhan definitifnya pengarang Taurat dan pengarang Taurat itu sendiri memang tidak pernah ada disana. Sehingga ungkapan kata eyeh asher eyeh, aku adalah aku, creatio ex nihilo, logos, pada mulanya adalah firman, alfa dan omega, yang awal dan yang akhir, transenden, gaib, absurditas tanpa satupun rincian data akurat tentang itu, justru semakin membuktikan tidak jujur bohongnya mereka sebagai dugaan mengada ada yang hanya ada di sebatas model tafsiran bersayapnya bahasa metafora ilmu ketuhanan mereka.

Sama dengan seperti itu juga semua Tuhan definitifnya manusia ras suku lokal apapun baik itu dengan nama Brahman dalam Weda agama Hindu suku India, Zeus dari suku Yunani dan para Tuhan definitif manusia teisme lainnya, termasuk Allah dan dzat wajibal wujudnya dalam Quran Muhammad dengan rukun iman agama Islamnya yang mengamini dan mengimani ide wahyu delusionis pengarang Taurat tentang penciptaan langit bumi selama 6 hari oleh Yahwe Ellohim Tuhan definitifnya pengarang Taurat.

Karena tidak pernah ada disana, hanya ada di sebatas dugaan, imajinasi, psikotik dan delusionisnya otak para manusia pendefinisinya, pemersonafikasinya dan pemujanya masing masing saja, tidak ada di milyaran otak manusia yang bukan pemujanya, tidak ada di milyaran otak manusia ateisme, agnotisme dan pemikir bebas, maka, data tentang keadaan seperti apa sebelum ada segala sesuatu tersebut, tidak pernah terjawab oleh semua Tuhan definitifnya manusia teisme apapun, baik dengan model transenden, absurd, gaib berwujud roh atau dzat, ada dengan sendirinya, creatio ex nihilo, logos absurditas, ide, kehendak, metafisika dan lain sejenisnya, maupun dengan model fisika, imanen, berupa nur, cahaya, api, angin, petir, manusia Yesus Kristus dari Yahudi, manusia dewa Krisna dari India, kosa kata Allah dari bahasa Arab Saudi, kosa kata Tuhan dari bahasa suku lokal apapun, manusia dewa dewi dalam mitos Yunani, Romawi dan lain sejenisnya dalam dongeng lisan maupun dongeng tulisan di tiap tiap kitab agama ketuhanan definitifnya manusia teisme suku lokal apapun.

Bahkan di kawasan sungai Amazone Brasil, suku Piraha dengan bahasanya tidak ada kosa kata tuhan, hantu, roh atau dzat gaib yang diduga ada dengan sendirinya, tanpa dongeng penciptaan tentang apapun, tanpa surga neraka tetapi bisa hidup bahagia tanpa stress, depresi, schizophrenia tidak psikotik, tidak psikopat. Dan ada banyak individu atau kelompok manusia lainnya seperti suku Piraha di berbagai wilayah terasing dengan bahasa tanpa kosa kata tuhan, hantu, tanpa roh atau dzat gaib yang diduga ada dengan sendirinya, tanpa mitos penciptaan apapun, tanpa surga neraka.

Tuhan seperti apalagi yang akan di definitifkan manusia teisme sudah menciptakan ada banyak Tuhan definitifnya manusia teisme tersebut yang ternyata hanya ada di sebatas dugaan, imajinasi, psikotik dan delusionisnya otak tiap tiap manusia teisme dengan segala perbedaan hukum ketuhanan definitifnya sesuai hukum di wilayah budaya masing masing, tetapi tidak ada di otak manusia seperti suku Piraha, tidak ada di otak milyaran manusia ateisme, agnostisme dan pemikir bebas?

Otak adalah benda konkrit yang ada dalam kepala manusia.

Akal adalah aktivitas abstraknya otak yang bisa diinderai dideteksi oleh indera dan otak manusia itu sendiri, juga bisa dideteksi oleh teknologi sains kedokteran.

Otak berpikir, maka otak ada, walau menduga tentang sesuatu yang tidak ada di ruang waktu alam semesta.

Kecuali manusia teisme mampu hadir di keadaan seperti apa sebelum ada segala sesuatu atau di balik adanya alam semesta, maka, sesuatu yang tidak ada di ruang waktu alam semesta tetapi diduga ada sebagai penyebab utama adanya alam semesta, tidak akan pernah bisa ada, walau dugaan manusia teisme memaksakannya harus ada di balik misteri adanya alam semesta atau di keadaan seperti apa sebelum ada segala sesuatu.

Karena tidak seperti keberadaan otak dengan akalnya dalam kepala manusia, hanya ada di sebatas dugaan belaka, maka, walau dugaan tentang adanya Tuhan definitif manusia teisme diposisikan ada di dunia maya ataupun di balik misteri adanya alam semesta;
Tuhan dugaan tersebut akan tetap sebagai benda absurd, tidak bisa diinderai, tidak bisa dideteksi oleh indera dan otak manusia walau dengan sains dan teknologi super canggihnya. Sehingga, tidak bisa dianalogikan dengan akal, elektromagnetik, atom, partikel, kuark dan benda abstrak alam semesta lainnya yang bisa diinderai, dideteksi oleh indera dan otak manusia dengan sains dan teknologi super canggihnya.

Ada atau tidak ada Tuhan yang diduga sebagai penyebab utama atau bukan penyebab utama adanya alam semesta hanyalah hasil aktivitas otak manusia yang disebut akal, hanya di sebatas dugaan belaka, ketika mengamati, merenungi dan coba mengungkap misteri di balik adanya alam semesta dengan segala fenomenanya yang ada dan terjadi, tanpa bukti apapun tentang itu. Karena siapapun dia itu adanya manusia ateisme, agnostisme, termasuk semua Tuhan definitifnya manusia teisme apapun dan manusia teisme itu sendiri yang dianggap atau mengaku sebagai nabi, memang tidak pernah ada di balik misteri adanya alam semesta.

Seandainyapun ada, penyebab utama adanya alam semesta sebagai realitas kebenaran universal, bisa dipastikan tidak akan terpersonafikasi oleh semua sifat pragmatisme manusia berbentuk apapun, pasti bukan tuhan definitif jelmaan personafikasi semua sifat pragmatisme manusia teisme apapun.

Karena, semua Tuhan definitifnya manusia teisme agama apapun yang hanya ada di sebatas dugaan, hanyalah sekadar wujud personafikasi dari semua sifat pragmatis tiap tiap manusia teisme dengan segala perbedaan hukum ketuhanan definitifnya, sesuai dengan hukum di wilayah budaya ras suku lokal masing masing yang hanya berlaku bagi individu dan kelompoknya saja, sebagai kebenaran lokalnya saja, tidak berlaku bagi kelompok yang berbeda, tidak berlaku universal, bukan kebenaran universal, saling menidakkan dan saling meniadakan Tuhan definitifnya masing masing yang memang berbeda, hingga saling bunuh mematikan kehendak bebas pisik dan psikis dalam teriakkan histeria perang suci ketuhanan definitif manusia, atas nama atau mengatasnamakan perintah hukum Tuhan definitifnya masing masing.

Energi yang terbuang menguap untuk menata atur ketidakteraturan menurut kebenaran lokal tiap tiap hukum ketuhanan definitifnya manusia teisme yang saling perang tersebut, justru bukan mengurangi, tetapi semakin menambah banyaknya jumlah ketidakteraturan dalam jagad raya semesta.

Tuhan seperti apalagi yang akan didefinitifkan manusia teisme sudah menyiptakan berbagai perbedaan hukum ketuhanan definitif antar manusia teisme hingga saling perang kehendak bebas pisik dan psikis yang memang sudah terjadi, menjadi fakta autentik sejarah peradaban manusia yang tidak terbantahkan semakin menambah banyaknya jumlah ketidakteraturan di ruang waktu alam semesta?

Ternyata, semua Tuhan definitifnya tiap tiap manusia teisme yang hanya ada di sebatas dugaan manusia teisme=semua manusia teisme itu sendiri, tidak punya kemampuan apapun untuk membebaskan diri dari konsep rantai makanan kehendak bebas pisik dan psikis mahluk hidup sebagai determinasi alam dengan hukum seleksinya.

Dengan segala fenomena yang ada dan terjadi, alam dan hukum seleksinya itulah sumber informasi kebenaran universal yang akan mengungkapkan dan buktikan kebenaran universalnya sendiri tentang ada atau tidak ada sesuatu yang diduga manusia sebagai penyebab utama atau bukan penyebab utamanya, melalui super jeniusitas otak manusia yang di produksi oleh hukum seleksi alam itu sendiri sesuai tahapannya. Kapan itu akan terbukti, belum bisa diketahui oleh manusia teisme dan ateisme untuk beberapa generasi ke depan dalam bilangan tahun, abad mungkin juga milenium atau seterusnya hingga jawaban tentang itu terurai sampai pada titik akhirnya.

lala - Juli 27, 2015

atheisme itu udah gak jaman lagi, manusia post modernis kembali meyakini keberadaan Tuhan.

65. Más material - Juli 22, 2014

Más material

Atheis | Catatan Pinggir


Tinggalkan komentar