jump to navigation

Mall Mei 7, 2007

Posted by anick in All Posts, Amerika, Ekonomi, Elegi, Modernisme.
trackback

JIKA tuan berdiri di salah satu sudut Senayan City, tuan akan tahu bagaimana malam berubah sebagaimana juga dunia berubah. Di ruangan yang luas dan disejukkan pengatur udara, cahaya listrik tak pernah putus. Iklan dalam gambar senantiasa bergerak, bunyi musik menyusup lewat ratusan iPod ke bagian diri yang paling privat, dan lorong-lorong longgar itu memajang bermeter-meter etalase dengan busana dan boga.

Sepuluh–bukan, lima–tahun yang lalu, malam tidak seperti ini. Juga dunia, juga kenikmatan dan kegawatannya.

Hari itu saya duduk minum kopi di salah satu kafe di salah satu mall di Jakarta, dan tiba-tiba saya merasa bodoh: saya tak tahu berapa mega-kilowatt listrik dikerahkan untuk membangun kenikmatan yang tersaji buat saya hari itu. Saya merasa bodoh, ketika saya ingat, pada suatu hari di Tokyo, di tepi jalan yang meriah di Ginza, teman saya, seorang arsitek Jepang, menunjukkan kepada saya mesin jajanan yang menawarkan Coca-Cola dan kripik kentang. “Tahukah Tuan,” tanyanya, “jumlah tenaga listrik yang dipakai oleh mesin jenis ini di seluruh Jepang?”

Saya menggeleng, dan ia menjawab, “Jumlahnya lebih besar ketimbang jumlah tenaga listrik yang tersedia buat seluruh Bangladesh.”

Ia berbicara tentang ketimpangan, tentu. Ia ingin saya membayangkan rumah-rumah sakit yang harus menyelamatkan nyawa manusia di sebuah negeri miskin yang ternyata tak punya daya sebanyak 10 buah mesin jajanan di negeri kaya–mesin yang menawarkan sesuatu yang sebetulnya tak perlu bagi hidup manusia.

Saya merasa bodoh, mungkin juga merasa salah. Seandainya bisa saya hitung berapa kilowatt energi yang ditelan oleh sebuah mall di Jakarta, di mana saya duduk minum kopi dengan tenang, mungkin saya akan tahu seberapa timpang jumlah itu dibandingkan dengan seluruh tenaga listrik buat sebuah kabupaten nun di pedalaman Flores.

Tapi tak hanya itu sebenarnya. Kini banyak orang tahu, ketimpangan seperti itu hanya satu fakta yang gawat dan menyakitkan. Ada fakta lain: kelak ada sesuatu yang justru tak timpang, sesuatu yang sama: sakit dan kematian.

Konsumsi energi berbeda jauh antara di kalangan yang kaya dan kalangan miskin, tapi bumi yang dikuras adalah bumi yang satu, dan ozon yang rusak karena polusi ada di atas bumi yang satu, dengan akibat yang juga mengenai tubuh siapa saja–termasuk mereka yang tak pernah minum kopi dalam mall, di sudut miskin di Flores atau Bangladesh, orang-orang yang justru tak ikut mengotori cuaca dan mengubah iklim dunia.

Dengan kata lain, tak ada pemerataan kenikmatan dan keserakahan, tapi ada pemerataan dalam hal penyakit kanker kulit yang akan menyerang dan air laut yang menelan pulau ketika bumi memanas dan kutub mencair. Orang India, yang rata-rata hanya mengkonsumsi energi 0,5 kW, akan mengalami bencana yang sama dengan orang Amerika, yang rata-rata menghabisi 11,4 kW.

“Saya tak lagi berpikir tentang keadilan dunia,” kata teman Jepang itu pula, “terlalu sulit, terlalu sulit.”

Beberapa tahun kemudian ia meninggalkan negerinya. Saya dengar ia hidup di sebuah dusun di negeri di Amerika Latin, membuat sebuah usaha kecil dengan mengajak penduduk menghasilkan sabun yang bukan jenis detergen, mencoba menanam sayuran organik sehingga tak banyak bahan kimia yang ditelan dan dimuntahkan–tapi kata-katanya masih terngiang-ngiang, “terlalu sulit, terlalu sulit.”

Mungkin memang terlalu sulit untuk menyelamatkan dunia. Saya baca hitungan itu: dalam catatan tahun 2002, emisi karbon dioksida dari seluruh Amerika Serikat mencapai 24% lebih dari seluruh emisi di dunia, sedangkan dari Vanuatu hanya 0,1%, tapi naiknya permukaan laut di masa depan akibat cairnya es di kutub utara mungkin akan menenggelamkan negeri di Lautan Teduh itu–dan tak menenggelamkan Amerika.

Ingin benar saya tak memikirkan ketidakadilan dunia, tapi manusia juga menghadapi ketidakadilan antargenerasi. Mereka yang kini berumur di atas 50 tahun pasti telah lama menikmati segala hal yang dibuat lancar oleh bensin, batu bara, dan tenaga nuklir. Tapi mungkin sekali mereka tak akan mengalami kesengsaraan masa depan yang akan dialami mereka yang kini berumur 5 tahun. Dalam 25 tahun mendatang, kata seorang pakar, emisi C02 yang akan datang dari Cina bakal dua kali lipat emisi dari seluruh wilayah Amerika, Kanada, Eropa, Jepang, Australia, Selandia Baru. Apa yang akan terjadi dengan bumi bagi anakcucu kita?

“Terlalu sulit, terlalu sulit,” kata teman Jepang itu.

Ekonomi tumbuh karena dunia didorong keinginan hidup yang lebih layak. “Lebih layak” adalah sesuatu yang kini dikenyam dan sekaligus diperlihatkan mereka yang kaya. Kini satu miliar orang Cina dan satu miliar orang India memandang mobil, televisi, lemari es, mungkin juga baju Polo Ralph Lauren dan parium Givenchy sebagai indikator kelayakan, tapi kelak, benda-benda seperti itu mungkin berubah artinya. Jika 30% dari orang Cina dan India berangsur-angsur mencapai tingkat itu seperempat abad lagi, ada ratusan juta manusia yang selama perjalanan seperempat abad nanti akan memuntahkan segala hal yang membuat langit kotor dan bumi retak. Seperempat abad lagi, suhu bumi akan begitu panas, jalan akan begitu sesak, dan mungkin mobil, lemari es, baju bermerek, dan perjalanan tamasya hanya akan jadi benda yang sia-sia.

Mungkin orang harus hidup seperti di surga. Konon, di surga segala sesuatu yang kita hasratkan akan langsung terpenuhi. Itu berarti, tak akan ada lagi hasrat. Atau hasrat jadi sesuatu yang tak relevan; ia tak membuat hidup mengejar sesuatu yang akhirnya sia-sia.

Tapi akankah saya mau, seperti teman Jepang itu, pergi ke sebuah dusun di mana tak ada mall, tak ada bujukan untuk membeli, dan hidup hampir seperti seorang rahib? Di mall itu, saya melihat ke sekitar. Terlalu sulit, terlalu sulit, pikir saya.

~Majalah Tempo Edisi Edisi. 10/XXXIIIIIII/07 – 13 Mei 2007~

Komentar»

1. ibra - Mei 10, 2007

Ekonomi memang tumbuh karena dunia didorong keinginan hidup yang lebih layak. Dalam ilmu ekonomi, kata “Lebih layak” mulai dipertanyakan dalam kajian social welfare.

Pareto memang memperkenalkan tingkat efisiensi dari kesejahteraan ekonomi tanpa menyinggung hal tersebut. Dalam kata sederhana, desain pareto tentang efisiensi hanya terbatas “asal tidak merugikan orang lain”.

sampai kemudian Rawls memberikan garis lebih jelas tentang ukuran “Lebih layak” terletak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang miskin.bukan hanya sesuatu yang kini dikenyam dan sekaligus diperlihatkan mereka yang kaya, seperti yang GM sebut dan maksudkan.

dalam kajiannya tentang social welfare, ilmu ekonomi menjelajahi banyak segi untuk mencapai hal tersebut. adapun bila kenyataannya kondisi Equilibrium memang belum tercapai, itu adalah hal lain. social wafare memberikan gambaran tujuan yang jelas tentang apa yang sebaiknya terjadi dan akan terjadi.

kini, kajian tersebut menjadi semakin baik dengan banyak menggabungkan bidang lain selain ekonomi. semuanya ditujukan untuk membuka kemungkinan-kemungkinan cara untuk kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.

juga kemungkinan bila anda berniat pergi ke dusun yang tenang, tapi tetap mendapatkan fasilitas selayaknya hidup di kota besar…

itu tidak terlalu sulit, rasanya….terutama bila anda tahu betul caranya berfilsafat, membaca, menulis, berdiskusi, mengajar, dan bersenang-senang. dengan ilmu ekonomi pula, anda bisa membantu menurunkan kemiskinan tanpa harus menghabiskan energi untuk berbela sungkawa, tapi tetap memiliki hasil nyata, dan tetap jujur.

tidak terlalu sulit, ko…..

2. ibra_ - Mei 10, 2007

Ekonomi memang tumbuh karena dunia didorong keinginan hidup yang lebih layak. Dalam ilmu ekonomi, kata “Lebih layak” mulai dipertanyakan dalam kajian social welfare.

Pareto memang memperkenalkan tingkat efisiensi dari kesejahteraan ekonomi tanpa menyinggung hal tersebut. Dalam kata sederhana, desain pareto tentang efisiensi hanya terbatas “asal tidak merugikan orang lain”.

sampai kemudian Rawls memberikan garis lebih jelas tentang ukuran “Lebih layak” terletak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang miskin.bukan hanya sesuatu yang kini dikenyam dan sekaligus diperlihatkan mereka yang kaya, seperti yang GM sebut dan maksudkan.

dalam kajiannya tentang social welfare, ilmu ekonomi menjelajahi banyak segi untuk mencapai hal tersebut. adapun bila kenyataannya kondisi Equilibrium memang belum tercapai, itu adalah hal lain. social wafare memberikan gambaran tujuan yang jelas tentang apa yang sebaiknya terjadi dan akan terjadi.

kini, kajian tersebut menjadi semakin baik dengan banyak menggabungkan bidang lain selain ekonomi. semuanya ditujukan untuk membuka kemungkinan-kemungkinan cara untuk kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.

juga kemungkinan bila anda berniat pergi ke dusun yang tenang, tapi tetap mendapatkan fasilitas selayaknya hidup di kota besar…

itu tidak terlalu sulit, rasanya….terutama bila anda tahu betul caranya berfilsafat, membaca, menulis, berdiskusi, mengajar, dan bersenang-senang. dengan ilmu ekonomi pula, anda bisa membantu menurunkan kemiskinan tanpa harus menghabiskan energi untuk berbela sungkawa, tapi tetap memiliki hasil nyata, dan tetap jujur.

tidak terlalu sulit, ko…..

3. swanvri - Mei 10, 2007

“terlalu sulit, terlalu sulit ” :((

4. Zaki - Mei 10, 2007

Ujung2nya, GM bicara tentang surga. Itu adalah ekspresi bawah sadar tentang obsesinya terhadap keadilan yang mustahil bisa di dapatkan di dunia. Bagaimanapun juga kita, mau atau tidak, terpaksa atau rela, harus kembali yakin terhadap hari akhir dan pengadilan terakhir. Secara fitrah, manusia hanya akan tenang jika mengaitkan sesuatu, terutama dalam ketidakberdayaan, dengan kematian dan hari akhir. Apa boleh buat, kita tak bisa berpaling.

5. W.N.Padjar - Mei 10, 2007

Dan kita juga tidak bisa berpaling dari kenyataan bahwa ilmu pengetahuan juga yang ngebantu kita ngatasi masalah (meskipun tidak seluruhnya dan selalu melewati tahap kegagalan).

Tidak perlu jadi pesimis, juga jangan jadi optimis. Lakukan aja apa pun upaya menegakkan keadilan. Takkan pernah sia-sia sekalipun kematian tiba sebelum hasil usaha belum terasa.

Karena harga tuan semata-mata hanya ada pada ihktiar tuan untuk memberi andil pada kebaikan bersama.

6. Aiz - Mei 11, 2007

sebuah pilihan, la’ibun wa lahwun.

7. an-Nadzif - Mei 12, 2007

Kita diberi pilihan. Dan kita disuruh memilih. Menjadi seorang wajar, yang tak tahu apa-apa, yang hidup untuk makan, minum, buat anak, dan mati. Atau menjadi pembohong. Atau menjadi pesakitan.

Tak ada diantara kita yang tak mau dan tak bisa merasakan enaknya kopi mall, sayang saya hanya pernah merasakan kopi tubruk di warung tangkringan seberang jalan. Pun pasti kita mau berjoged di gebyar jutaan watt seberang Monas. Dan itu benar-benar hal yang sungguh tidak sulit.

Tapi sunggukah ada, seorang yang menikmati gelegar kenikmatan dengan secangkir cappucino di hadapannya, sambil dengan iseng berfikir tentang anak pengemis yang meringkuk di gubuk kertas belakang mall.

Kita hidup untuk mencari kenikmatan, mereguknya. Adakah orang tolol yang berfikir untuk hidup dalam keberfikiran tentang kesusahan, kebinasahan, kekalahan. Pemerataan itu hanya sebuah kata, dan tak berarti lebih dari itu.

Tapi ternyata kita tak bisa melupakan surga. Sepenggal ingatan yang tak mau pergi sebagai hantu. Anehnya, kita bisa begitu saja lupa tentang neraka. Yah…mungkin karena sudah cukup kita saksikan neraka di sini, di belakang mall, bawah jembatan, di balik kelopak Monas.

Kita tak pernah bisa merasakan surga, walau hanya bayangannya. Maka kita pun rindu. Karena sesuatu yang tak hadir kadangkala lebih nyata kehadirannya dari apa yang selalu nongkrong di depan mata.

Kita hanya bermain-main disini -kata mas Aiz (la’ib berarti permainan)- tapi siapa sebenarnya yang ikut sebagai pemain, jadi sutradara, atau yang berperan sebagai produser. Saya, Anda, atau mereka. Entahlah, yang jelas jauh lebih besar dari kita yang main jadi bolo dupakan. Diseret-seret, ditarik-tarik, ditunggangi. Kadangkala oleh “pemain lain” tapi lebih sering oleh diri kita sendiri. Betapapun kita menyangkalnya, dan segagah apapun kita mengakui diri.

Tuhan sungguh Maha Taktis.
Dan -meminjam bahasa Zaki- kita tak bisa berpaling.

8. hilman - Mei 14, 2007

yaahh…..memang terlalu sulit, terlalu sulit…..!!!

9. munggur - Mei 20, 2007

Sulit memang.

Apakah memang semuanya harus seimbang? Justru, alam sudah memiliki konsepsi tersendiri tentang ketimpangan. Ada Yin dan ada Yang.

Justru menjadi pertanyaan, mengapa negara terbelakang tak mengimbangi negara maju. Ada apa? Mengapa gerangan seperti itu.

Wajar bila ada sekelompok manusia yang ingin menjadi ‘lebih layak’ seperti hukum dominasi dan kompetisi dari ‘wejangan Om Darwin’.

Bukan begitu?

10. hareem - Mei 20, 2007

mungkin ketika kita tak lagi bermain pendulum, tak akan ada lagi simpangan kanan dan kiri… ketika (itu) kita berhenti. maka ‘keseimbangan’–seperti juga istilah ‘sempurna’–hanya tinggal sebuah gagasan.

11. muli - Mei 22, 2007

Sulit memang kalau targetnya menyelamatkan dunia. Apalagi kalau tuan sendirian. Target itu biarlah untuk Nabi-nabi. Kita yang manusia biasa, biarlah melakukan apa yang kita bisa untuk membuat dunia sedikit lebih baik daripada kemarin.

12. heri limbung - Mei 22, 2007

soal pertentangan, di indonesia hal ini sering terjadi. saya tinggal di di kalimantan barat, daerah yang sangat jauh dari pusat indonesia. di sini listrik hampir tiap hari mati, jalan banyak yang rusak, buta huruf di mana-mana, banyak sekolah rubuh. padahal kalbar pernah menjadi penyumbang devisa sangat besar bagi indonesia. dulu hutan kalbar yang lebat ditebangi untuk kemudian diangkut ke Jakarta. hutan gundul dan kalbar tak dapat apa-apa. itulah ketimpangan. bandingkan bagaimana konsumsi energi antara jakarta dan kalbar. bandingkan juga bagaimana kesejahteraannya. bandingkan bagaimana tingkat pendidikannya. bandingkan bandingkan.

13. Zaki - Mei 23, 2007

Bandingkan juga bencana banjir yang di akibatkan oleh illegal logging. Siapa yang mengambil manfaat dari illegal logging dan siapa yang menderita akibat banjirnya. Dan semua ini akan belangsung terus sampai…………

14. Udin Batang - Mei 26, 2007

Bung GM, seandainya saya diberi kolom khusus seperti Catatan Pinggir seperti Anda, mungkin nasib saya tidak sepedih dan sepenat ini. Atau sekali waktu rubrik yang selama ini Anda kuasai itu dibiarkan kosong dan siapapun diberi kebebasan untuk mengisinya, mungkin sekali waktu saya akan mengirim tulisan ke rubrik itu, meskipun saya juga tidak yakin tulisan saya akan dimuat (ini tergantung dari selera dan subjektivitas redaktur). Saya bisa bercerita tentang bagaimana selama ini berjuang menggapai cita-cita hidup untuk mempertahankan desah napas, bisa makan saja sudah alhamdulillah, seperti cita-cita kebanyakan orang miskin. Sangat sederhana bukan?
Sampai sekarang Bung. Rumah saya masih remang-remang. Belum bisa pasang listrik sendiri. Di rumah saya hanya berisi dua bolam masing-masing 5 watt, itupun kalau jam 20.00 ke atas yang satu dimatikan demi efisiensi. Pasalnya, strum listrik masih nyalur milik tetangga sebelah. Jadi sangat jauh dari gemerlap lampu di Mall seperti yang Anda ungkap dalam Catatan Pinggir.
Ini realitas. Bukan hanya bayang-bayang. Bukan pula ungkapan ngarang. Dan apa yang saya ceritakan itu hanyalah sebagian dari penggalan nasib yang saya alami. Hanya ketegaran yang mampu membuat saya bisa bertahan.
Saya percaya, Anda selama ini selalu berjuang mengkritisi keadaan. Tetapi barangkali masih ada sesuatu yang luput dari perhatian Anda sendiri. Pernahkah Anda mengkritisi keadaan Anda sendiri, bagaimana Anda mengelola potensi untuk bisa menolong orang lain? Katakanlah menyisihkan sebagian kekayaan Anda untuk membahagiakan orang yang butuh pertolongan?
Saya tahu, Anda berjuang dalam lingkup pemikiran. Begitu banyak ide-ide yang Anda lempar ke publik dan sebagian menyusup ke otak generasi masa kini. Anda mengajarkan kepada banyak orang agar memiliki jiwa memberontak, mendorong orang untuk selalu gelisah memikirkan keadaan sekeliling.
Di daerah saya masih banyak orang hidup susah. Bahkan terpaksa makan nasi aking lantaran tak mampu membeli beras. Mereka menempati gubuk reyot dan lapuk dimakan usia. Mereka dihinggapi penyakit berbahaya, tetapi merasa rikuh untuk berobat ke puskesmas atau Rumah Sakit, meskipun ada hak berobat secara gratis. Mereka enggan melakukannya karena trauma pada perlakuan petugas kesehatan yang memandang sinis orang miskin yang datang berobat.
Tetapi saya tak bisa menolong mereka karena keadaan saya tak jauh dari mereka. Ini ketimpangan Bung. Sudah saatnya Anda berjuang dalam tataran fisik, langsung terjun ke lapangan menyantuni mereka. Sisihkan sebagian materi Anda untuk menolong mereka.

15. GM dan positif thinking « environmentalist community - Mei 26, 2007

[…] menulis tentang isu besar, pemanasan global.  Dari sudut pandang seorang GM tentunya. Juga dengan dengan gaya berceritanya yang mengalir […]

16. chalid - Juli 5, 2007

satu lagi prosa reflektif yang indah; khususnya mengenai surga..
“..bahwa hasrat menjadi tidak relevan lagi ketika semuanya terpenuhi”

.. frase itu menampar semua orang yang berfikir tentang satu finalitas kenikmatan, yang sungguh tidak pernah ada;
sebab kenikmatan itu datang dalam detik pemuasan yang memupus rasa penasaran akan penantian,
dan ketika masa penantian itu semakin pendek jedanya, atau bahkan tidak relevan lagi,

…lalu apa yang tersisa untuk disebut sebagai “nikmat”?

…what a thought 🙂

17. yuli ernawati - Juli 31, 2007

“terlalu sulit dan terlalu mengerikan ….”
membayangkan 25 tahun ke depam anak saya baru berumur 28 tahun. dia harus benar-benar bergerak dan berjuang untuk mempertahankan hidupnya.
tapi dengan membaca tulisan ini mengingatkan saya untuk memberikan yang terbaik buat anak saya supaya kelak dia tetap sanggup bertahan dan juga mempunyai kenangan yang indah tentang masa lalunya meski lahan bermainnya sudah habis dijadikan mall-mall….

18. mone - November 23, 2007

yeahhh…memang,benar-benar sulit….

meski, kadang menjadi sangat sedih dengan hal-hal semacam itu: ketidak adilan, bumi yang rusak, panas yang gak karuan, etc…

kadang berpikir mengenai solusi, tapi sekali lagi, banyak dari kita takut keluar dari kemapanan yang telah kita capai.

19. faiz - Januari 26, 2008

sebauah dunia baru kah Mall?

20. Andria - April 4, 2008

@Udin Batang
GM udah banyak bermanfaat kok mas untuk orang banyak…GM bukan superman mas..terlalu sulit-terlalu sulit!!..

21. audie - Mei 25, 2008

terlalu sulit,terlalu sulit memang…untuk orang lain,
bahkan untuk diri sendiri.

22. Brahmachari - Agustus 1, 2008

@ Kang Udin:
Haruskah kebahagiaan “distandardisasi”? pernahkah berpikir bahwa hidup “kekurangan” adalah suatu pilihan juga? mestikah kita menjustifikasi seorang rahib/bhiksu/fakir/siapapun yang memang sengaja hidup seperti itu adalah orang yang tidak bahagia?

-seorang ‘rahib’ yg hidup di tengah2 masyarakat-

23. Frida - Februari 8, 2011

Bukan inconvenient truth yang membuka pikiran saya tentang pemanasan global, tapi tulisan ini. Tulisan ini benar2 mengubah mindset saya, bahwa pemanasan global bukan soal teknis lingkungan, tapi soal cara hidup dan kemanusiaan. dan bahwa mengurangi keinginan hedonisme juga punya dampak untuk sesama manusia, bukan cuma diri sendiri. Thx GM.

24. Candy Castaneda - Februari 21, 2011

you are my aspiration , I own few web logs and occasionally run out from to post : (.

25. kota salju - Oktober 29, 2011

masalahnya adalah beranikah kita keluar dari kemapanan yang telah kita capai? untuk menawarkan solusi kecil yang nyata. hmmmm. terlalu sulit, terlalu sulit.

26. This Web site - April 8, 2014

blu electronic cigarette Mall | Catatan Pinggir

27. Kolom Goenawan Mohamad: Mall | [sebelahkedutaan] - April 25, 2016

[…] Baca lengkap klik link berikut. […]


Tinggalkan komentar