jump to navigation

Macet November 12, 2007

Posted by anick in All Posts, Indonesia, Politik, Sejarah.
trackback

Jalan raya adalah sejarah politik.

Di Indonesia, cerita ini dimulai di tahun 1808. Untuk persiapan perang, Daendels membangun ”jalan raya pos” sepanjang 1.000 kilometer antara Anyer di Jawa Barat dan Panarukan, kemudian disambung sampai Banyuwangi di Jawa Timur. Ia, seorang opsir tinggi kerajaan Prancis, yang diangkat Maharaja Louis Bonaparte untuk memegang kekuasaan di Jawa, berencana membuat infrastruktur militer buat memperlancar gerak pasukan. Ia harus menghadapi serbuan Inggris.

Dengan tangan besi, Daendels memaksa agar proyek itu rampung dalam setahun. Ribuan orang di Pulau Jawa mati karena dikerahkan untuk kerja rodi. Pemberontakan timbul tapi ditindas. Kita tak akan melupakan kekejaman itu—seraya memanfaatkan hasilnya. Jalan yang disebut Daendels La Grande Route itu kini sebuah monumen tentang kekuasaan yang efektif dan brutal.

Jalan raya adalah sejarah politik dan kebrutalan. Di sanalah kekuasaan dikukuhkan, seperti dilakukan Daendels dan para penguasa di abad ke-20 dan 21. Tapi di sana pula kekuasaan disanggah. Di tahun 1966, di Jakarta, para mahasiswa ”turun ke jalan”, sebuah istilah yang kini masuk ke dalam kamus politik Indonesia, dan sejak itu aksi yang serupa berkali-kali terjadi, menjatuhkan rezim Soeharto, menggagalkan rancangan undang-undang ini dan itu. Selamanya dengan korban: ada yang mati ditembak, remuk dipukuli, ada bangunan yang dirusak.

Ketika kota bertambah penting dalam percaturan politik, jalan raya jadi arena tersendiri. Di sana mereka yang ingin mengubah kehidupan menemukan pengeras suara alternatif, ketika forum yang tersedia (parlemen, mahkamah, media) tak punya sambungan lagi dengan orang ramai.

Tema ini tak cuma ada dalam cerita Indonesia. Sejak jatuhnya monarki di Mesir, sejak Nasser memimpin, di Timur Tengah para analis politik selalu memasang radar mereka ke arah ”the Arab streets”. Kata ”streets” di sini sama dengan ruang tempat rakyat berdesak-desak, bersua, bertemu, mendengar, bicara, bergembira, marah, benci, tentang segala sesuatu yang menyangkut negeri mereka, bangsa mereka, kelas mereka. Mereka tak membentuk partai, tak berwujud ”NGO”. Tapi mereka sebuah faktor yang tak dapat diabaikan. Di Arab Streets, tak ada tempat bagi para politikus di parlemen yang bukan dipilih, juga bagi kepala negara yang kehilangan legitimasi. Revolusi bisa meletus dari kawahnya.

Sejarah politik tentu saja tak hanya terdiri dari kejadian yang gemuruh dan spektakuler. Asef Bayat mengamati satu gejala dalam politik Iran yang tak banyak dilihat. Dalam Street Politics: Poor People’s Movements in Iran (terbit di tahun 1997), ia menyebutnya the quiet encroachment of the ordinary. Dalam uraian Bayat, proses itu tak punya dampak politik yang langsung. Tapi masuknya kaum miskin dari pedalaman ke Teheran, yang sering tak mendapat tempat dalam lapangan hidup dan percakapan, diam-diam adalah sebuah perubahan tersendiri. Para penguasa yang di atas tak dengan sendirinya guyah. Tapi di bawah, tulis Bayat, ”praktek yang sehari-hari dan bersahaja itu mau tak mau akan beralih ke ranah politik.”

Saya ingat sebuah esai pendek Orhan Pamuk setelah ia berkunjung ke Teheran. Ia menyewa mobil dengan seorang sopir. Di tengah lalu lintas yang kacau itu si sopir mengeluh di kota itu semua orang tak patuh aturan. Tapi tak urung ia sendiri kemudian melanggar hukum dengan memotong jalan, sebuah laku yang terlarang.

Begitulah, kata Pamuk, di arus lalu lintas Teheran itu justru ”kehadiran agama” paling terasa: tiap kali ribuan orang tak mematuhi hukum, tiap kali mereka berhadapan dengan para ayatullah yang menerapkan dalil Kitab Suci buat segala segi kehidupan. Mereka sedang berkonfrontasi dengan hukum syariah yang mengawasi perilaku mereka terus-menerus. Nah, tatkala di belakang setir itulah, kata Pamuk, mereka mendapatkan satu-satunya saat untuk bisa menafikan semua itu—sebagaimana orang-orang Teheran yang diam-diam menikmati alkohol dan percakapan bebas di ruang privat mereka.

Dengan kata lain, Pamuk juga telah menunjukkan bagaimana jalan raya adalah sebuah arena politik—setidaknya the politics of the ordinary. Sayang, Pamuk tak memandang perkara ini lebih jauh; ia tak melihat bahwa politik dari hal-yang-biasa-saja itu adalah bagian dari gerak sejarah yang selalu menggagalkan keserakahan. Ketika para sopir Teheran melanggar aturan lalu lintas, mereka sebenarnya menunjukkan bahwa ambisi Negara untuk menertibkan hanya sia-sia. Mereka sebenarnya menolak sikap para mullah yang tak puas-puasnya menghendaki ”ketaatan” atau ”kesucian”. Tapi mereka juga memprotes sikap rakus para pengendara mobil (ternyata juga mereka sendiri) untuk merebut tiap celah avenue.

Jalan raya adalah sejarah politik—yang sebenarnya juga sejarah keserakahan dan perebutan. Dengan kata lain, sejarah kelangkaan. Kota-kota di Indonesia kian lama kian dirundung macetnya lalu lintas. Macet adalah indikasi bahwa ruas jalan tak cukup—sebuah kelangkaan akibat gagalnya para penghuni kota membebaskan diri dari jeratan ”empat-M” yang menggerakkan kota-kota Indonesia: modal, milik, mobil, dan mode.

Adapun modal juga yang membuat mobil berubah: ia tak sekadar sebuah alat transportasi; ia juga sebuah pesona. Dari waktu ke waktu mobil tampil seakan-akan baru: ia berubah karena sebuah ”musim” berubah dan konon selera juga berubah. Pada saat yang sama, komoditi yang memancarkan pesona itu bertaut dengan hasrat untuk memiliki. Dan karena pesona itu selalu merangsang kekurangan, ada dorongan untuk terus-menerus memiliki—tak hanya satu.

Maka lahirlah kelangkaan. Sejarahnya belum selesai. Di jalan raya, keserakahan masih berkibar, perebutan ruang masih berlangsung. Pergulatan politik untuk membebaskan diri dari ”empat-M” masih akan terus. Mungkin sampai akhirnya jalan raya musnah, lingkungan runtuh, dan orang berteriak: ”Kita celaka!”

~Majalah Tempo Edisi. 38/XXXVI/12 – 18 November 2007~

Komentar»

1. dokterpenulis - November 12, 2007

jalan. jalan. jalan. entah kenapa kita selalu rindu berjalan.
kita boleh sebut dan bangun itu menjadi jalan politik. jalan suci, jalan sesat. jalan gelap. jalan terang. jalan aspal. jalan berbatu. atau sekadar jalan tanah gembur tepi pematang sawah.
dengan segala interprestasi. dengan perang. dengan cercaan. dengan keyakinan. dengan darah. dengan air mata.
kupikir kita ini memang dilahirkan buat jadi pejalan.
ditakdirkan malah.
minimal jalan lempang menuju kuburan.
dan itu bebas macet bung!

2. kamat rubakat - November 13, 2007

di jakarta ini mau berangkat kerja aja harus siap mental dan stamina untuk bertempur di jalanan merebut ruang lewat, melebihi persiapan untuk kerja itu sendiri. di jakarta ini berangkat dan pulang kerja sepertinya selalu menuntut pertaruhan hdup mati, bukan oleh pekerjaannya itu sendiri.

di jakarta ini, yg bertugas menyediakan fasilitas jalan serakah, yg memakai fasilitas jalan juga serakah. yg tidak serakah merasa harus serakah supaya tidak jadi korban yg serakah.

kota ini sepertinya lupa bahwa ia dibangun oleh orang-orang yg sungguh-sungguh berkerja, dan dihancurkan diam-diam oleh orang-orang yg serakah.

3. ivanzzzz - November 13, 2007

macet membuat orang-orang jakarta menjadi orang yang paling tidak berbahagia di dunia dan akhirat. Betapa tidak waktu yang terbuang di jalan sebegitu lama dipakai untuk mengumpat dan berbuat jahat. Dalam hal ini secara tidak langsung pemerintah ikut andil dalam pembentukan masyarakat pengumpat.

4. bumisegoro - November 13, 2007

yang merasa berkepentingan dengan jalan raya amat banyak. mulai dari pejabat republik, orang-orang di departemen terkait, pejabat pemda dan dinas terkait, polisi, pengusaha terkait, pak ogah, sopir angkutan umum, pengguna jalan raya dll. lantas siapa sebenarnya penguasa jalan raya? bagaimana struktur organisasi dan kesistemannya? apakah macetnya jalan sama dengan macetnya tatanan kekuasaan di jalan raya?

5. qyai.rock - November 14, 2007

Tidak ada penguasa jalan raya,apalagi struktur kekuasaannya. yang ada ada cuma setanjalan raya,itupun juga gak jelas strukturnya.

6. neen - November 14, 2007

sebentar lagi, di Jalan Raya Bakrie Group akan meraup untung besar di tengah penderitaan rakyat Porong. Mereka kan menang tender jalan tol. 😀

7. bambang - November 15, 2007

orang jakarta sebagian besar usianya dihabiskan di jalanan.
yang di pinggir kali, dihabiskan umurnya untuk bersihin rumah setelah banjir.

dan bencana itu mulai menular kekota2 lain.

8. w.n.padjar - November 15, 2007

kita2 juga sih yg gampang tergoda beli kendaraan pribadi keluaran baru ikut andil bikin macet.

9. zaki - November 15, 2007

Banjir dan macet di jakarta sebenarnya patut disyukuri. Karena dua hal ini adalah efek yang paling minimal dari sebuah faktor yang sangat tragis. Akar permasalah dari semua ini adalah sebuah kesalahan politis dan yuridis yang sangat besar, yaitu ketidakadilan, keserakahan, dan arogansi. Artinya, banjir dan macet yang melanda jakarta tak seberapa jika dibandingkan dengan dosa dari perilaku yang menyebabkannya.

Konsekwensi yang paling pantas dari ketidakadilan, keserakahan, dan arogansi adalah runtuhnya lembaga dan individu yang merupakan pelakunya itu.

Atau, macet dan banjir hanya semacam alarm peringatan akan datangnya konsekwensi yang lebih pantas. Dan para korban dari kesalahan itu, yang jumlahnya jauh lebih besar dari kursi kosong dalam mobil2 pribadi yang bikin kemacetan itu, pasti sedang mendoakan datangnya konsekwensi yang lebih pantas itu. Karena, ditengah2 kemacetan sosial, hanya dengan datangnya konsekwensi itulah merupakan jalan keluar dari penderitaan mereka menuju kehidupan dan masa depan yang lebih pasti dan cerah.

10. Macet Komentar pada Macet oleh zaki | Freeads Power - November 16, 2007

[…] Macet Banjir dan macet di jakarta sebenarnya patut disyukuri. Karena dua hal ini adalah efek yang paling minimal dari sebuah faktor yang sangat tragis. Akar permasalah dari semua ini adalah sebuah kesalahan politis dan yuridis yang sangat … Read more about Komentar pada Macet oleh zaki […]

11. sonn - November 19, 2007

daripada ke jalan, lebih baik bersembunyi di balik gedung-gedung ber AC, bukan?

jadi buta, jadi tuli…

12. )x( - November 21, 2007

mau dibilang apa lagi
macet adalah ‘sesuatu’ yang menghentikan yang berada tepat didepan kendaraan


Tinggalkan komentar