jump to navigation

El Cambio Agustus 4, 2008

Posted by anick in All Posts, Amerika, Demokrasi, Politik, Tokoh.
trackback

Akhirnya, Obama kembali ke dalam kisah yang biasa: sejarah politik adalah sejarah kembang api.

Pada suatu hari yang gelap, sebuah partai atau seorang tokoh politik dengan cepat terlontar bercahaya ke angkasa, bak bintang luncur dengan suara riuh. Tapi tak lama kemudian, ia tak tampak. Ia malah mungkin jatuh sebagai arang yang getas.

Ketika Obama masuk ke gelanggang persaingan untuk jadi calon presiden, ia seperti kembang api. Ia berseru, Change!—dan sebagai orang kulit berwarna pertama dalam posisi itu sejak Amerika berdiri pada abad ke-18, ia seakan-akan pengejawantahan ”perubahan” itu sendiri.

Tapi benarkah? Waktunya memang tepat. Amerika Serikat kini dalam titik terburuk. Presiden Bush hanya bisa mengulang kata-kata klise untuk kebijakan yang kuno dan keliru: jingoisme ala Perang Dingin, paranoia politik ala tahun 1950-an, dan ekonomi pasar yang memproduksi pengangguran seakan-akan John Maynard Keynes belum lahir. Perang ”antiterorisme”-nya gagal menyetop bom yang diledakkan dengan pekik ”anti-Amerika”. Perang Irak-nya berangkat dengan kebohong­an besar dan berlanjut tanpa diketahui kapan selesai. Amerika tak lagi punya wibawa moral dalam perjuangan demokrasi: ia melanggar hak asasi manusia tanpa malu-malu bertahun-tahun di Guantanamo.

Dengan latar seperti itu, Obama menggugah. Tapi benar dahsyatkah ”perubahan” yang disuarakannya?

Demokrasi adalah sistem dengan rem tersendiri—juga ketika keadaan buruk dan harus dijebol. Pemilihan umum adalah mesin yang mengikuti statistik. Tiap pemungutan suara terkurung dalam ”kurva lonceng”: sebagian besar orang tak menghendaki perubahan yang ”ekstrem”. Statistik menunjukkan ada semacam tendensi bersama untuk tak memilih hal yang mengguncang-guncang. Terutama di masyarakat yang melihat diri sen­diri dengan puas dan menyanyi God Bless America tanpa jemu. Statistik itu status quo.

Dalam haribaan ”kurva lonceng”, Obama jinak. Ia tak akan bersedia mengubah politik Amerika dengan yang baru yang menggebrak. Akan sulit kita menemukan perbedaan pandangannya tentang Palestina dari posisi Bush. Ia, yang harus mencari dukungan lobi Israel di Amerika, tak akan nekat bilang akan mengajak Hamas ke meja perundingan. Ia tak akan berani menampik sepenuhnya hak orang Amerika memiliki senjata api pribadi, meskipun korban kekerasan di negeri itu tak kunjung reda. Ia tak akan bertekad mengubah sikap orang Amerika yang cenderung memandang perang sebagai kegagahan pa­triotik, bukan kekejaman.

Seraya bersaing ketat dengan McCain, ia—yang memproklamasikan diri sebagai pemersatu Amerika, negarawan yang akan menyembuhkan negeri yang terbelah antara ”biru” dan ”merah”—akan tampil sebagai si pembangun konsensus.

Tapi konsensus tak akan mudah jadi wadah bagi the audacity of hope. Saya teringat Spanyol pada 1982, ketika kediktatoran Franco sedang digantikan dengan demokrasi yang gandrung perubahan. Felipe Gonzáles Márquez, waktu itu 40 tahun, memikat seluruh negeri. Partai Sosialisnya menawarkan lambang kepalan tangan yang yakin dan mawar merah yang segar. Semboyannya: Por El Cambio. Ia menang. Ia bahkan memimpin Spa­nyol sampai empat masa jabatan. Tapi berangsur-angsur, partai yang berangkat dari semangat kelas buruh yang radikal itu kian dekat dengan kalangan uang dan modal. Di bawah kepemimpinan Gonzáles, Spanyol jadi anggota NATO dan mendukung Amerika dalam Perang Teluk 1991. Politik jadi biasa-biasa saja. Sebagai tanda bagaimana demokrasi tak menginginkan yang luar biasa, Partai Sosialis menang berturut-turut. Kini orang melucu dengan mengatakan, kata cambio (”perubahan”) berakhir di kios Cambio, penukaran mata uang.

Mungkin itu indikasi bahwa ”perubahan” pada ­akhirnya harus dibatasi oleh sinkronisasi ­pengalaman orang ramai dan diatur oleh logika toko serba ada. Tiap kampanye politik kian mirip dengan advertensi makanan-cepat saji: kita tak tahu persis apa beda isi daging McDo­nald’s dan Burger King; kita hanya menikmatinya karena melihat banyak orang merasa menikmatinya; dan kita pun merasa kenyang dan sedikit keren.

Itulah haribaan ”kurve lonceng”—di mana tiap Obama akhirnya akan turun dari ketinggian gemebyar kembang api. Dalam arti tertentu ia bintang. Tapi ia seperti planet mati: bercahaya, jika dilihat dari jauh. Dari dekat, ia bukan lagi sebuah otoritas. Kehidupan politik yang melahirkannya kehilangan greget yang subyektif. Keberanian disimpan dalam laci.

Dengan kata lain, kita hidup dalam masa ”pasca-politik”, seperti kata Agamben. Dengan tontonan yang digelar oleh dan lewat media massa, satu kenyataan telah disamarkan: tiap orang telah jadi obyek ”biopolitik”. ”Cacah jiwa” berubah jadi ”cacah badan”; dengan itu seorang warga dikemas dan dikelola administrasi negara, jadi satuan yang diperlakukan ”sekadar hidup”.

Tentu, ada yang dilebih-lebihkan dalam diagnosis so­sial ala Agamben. Tapi itu indikasi bahwa kita kini perlu memikirkan lagi bagaimana menghadapi demokrasi.

Kita bisa memilih bersikap pragmatis: kita terima cacat demokrasi sebagai yang tak terelakkan dan kita manfaatkan kelebihannya. Sikap pragmatis bisa menenangkan hati, tapi ia akan mudah menghalalkan penyumbatan darah dalam tubuh sosial. Artinya akan tertutup luka dan sakit, dan akan tersingkir hasrat, harapan, dan imajinasi yang berani menuntut sesuatu yang radikal.

Sebab sejarah politik sebenarnya tak selalu hanya sejarah kembang api. Kita bahkan bisa membacanya seba­gai perjalanan antariksa dalam kisah Star Trek yang belum pernah ditulis: penjelajahan mendapatkan Ratu Adil dalam ketak-berhinggaan semesta. Kita yakin kita akan menemuinya, seraya berusaha mengerti kenapa Kafka berkata: ”Sang Juru Selamat hanya akan datang ketika ia tak dibutuhkan lagi”.

~Majalah Tempo Edisi. 24/XXXVII/04 – 10 Agustus 2008~

Komentar»

1. ratu adil satriapinandhita - Agustus 5, 2008

Siapapun pemimpin Amerika…tetaplah pada akhirnya kami yang berkuasa didunia. Karena kami (agama Vayu, jelmaan dari gatot kaca dan power ranger) Hebat!!!!
Sadarlah anda semua jagan berkutat dengan kebodohan anda semua disini…di blog goblog ini… Kunjungi saya untuk dapat pencerahan yang sebenarnya!!!!Hidup agama Vayu dan saya sang Ratu Adil…bullshit semua agama yang ada sekarang didunia…menyesatkan.

2. zainal - Agustus 5, 2008

saking bebasnya, orang sinting pun leluasa nulis di blog ini.
hidup kebebasan….

3. edy - Agustus 5, 2008

@zaenal
hihi…saya udah baca blognya. Lumayan menghibur walaupun sinting mas Zaenal. Ahh…jadi gak ngomentarin tulisan GM jadinya …hahaha

4. Laler Istana - Agustus 6, 2008

Itupun kalau Obama bisa selamat dari serangan para hawkish radikal kulit putih, antara hari ini sampai pelantikan presiden AS yg baru, Januari nanti. Seorang Presiden, dimanapun, harus menyangga the weight of history yang jatuh dipundaknya. Suka atau tidak suka. Demokrasi bukanlah bentuk memerintah yang sempurna. Tapi yang terbaik dari yang terburuk. Salam …

5. soe_hady - Agustus 6, 2008

harapan untuk hidup lebih baik adalah sangat layak untuk dinanti serta diperjuangkan..saya pikir obama punya potensi ‘lebih’ dibandingkan mc cain..

6. Inprodic - Agustus 7, 2008

“Sang Juru Selamat hanya akan datang ketika ia tak dibutuhkan lagi.”

Sebenarnya kita ini butuh Juru Selamat gak ya..?

7. Inprodic - Agustus 7, 2008

@ Ratu Adil
Barusan saya mampir ke blog sampeyan. Lumayan ada pencerahan:
Kalau seandainya Sidharta Budha Gautama dilahirkan pada jaman Rasul Muhammad SAW, saya yakin beliau memeluk Islam.

@Laler Istana
Saya membaca beberapa literatur sejarah AS, ternyata benar, para hawkish radikal berada dibalik layar hampir semua kebijakan pemerintah federal AS. Siapapun presidennya.

8. Inas - Agustus 7, 2008

Akankah Obama benar-benar membawa perubahan kelak apabila dia terpilih?

9. ariefdj - Agustus 7, 2008

..kalo aq sih, gak peduli apa itu perubahan atau status quo.. aq hanya ingin kestabilan… Bukan ke-labilan yang stabil, ataupun kestabilan yang labil.. 🙂

10. revoltase - Agustus 9, 2008

Kadang, kisah yang tak biasa itu muncul karena hasrat dan rindu kita kepada Ratu Adil. Setiap melalui jalan yang penuh spanduk dan baliho pilkada, yang penuh dengan wajah itu, mungkinkah diantaranya wajah ratu adil? mungkinkah Ratu Adil akan menampakan diri lewat Mesin digital printing HEIDELBERG Develop ineo +6500 ?

11. rumahteduh - Agustus 9, 2008

komunitas rumahteduh mengucapkan selamat ulang tahun buat mas GM. (haha..udah telat) mas anick pa kabar?

(ha..basa basi boleh ya.
salam

12. El Locco - Agustus 12, 2008

Coblos Obama, loh koq….
Sayangnya saya nggak ikutan nyoblos Pilpres Amerika,

13. bambang - Agustus 28, 2008

Akhirnya, Obama kembali ke dalam kisah yang biasa: sejarah politik adalah sejarah kembang api.

amerika (sepertinya) memang akan tetap menjadi amerika. dengan siapapun ia dipimpin.

tapi menjadi arang yang getas kah Obama?
semoga saja tidak. jika iya, obama toh sudah menjadi kembang api yang men inspirasi banyak orang (mungkin termasuk tulisan GM diatas).

jika iya, berarti Obama telah menjadi kembang api, yang meledak dalam sekejapnya itu, telah memberi warna cahaya di langit (amerika) yang gelap tanpa harap. dan disetiap kembang api, ia selalu menjadi pelipur hati lara bagi siapa saja yang melihat. walaupun akhirnya menjadi arang yang getas.

ya. semoga saja tidak.

bukankah kita semua juga adalah kembang api yang siap meledak di udara. seperti kata puisi chairil anwar yang terkenal itu:
sekali berarti (se)sudah itu mati

14. Gobel - Agustus 28, 2008

Obama bukalah fenomena!!!!!! Tak ada kisah yang menarik dari dirinya. Seorang minoritas menjadi pemimpin bukanlah hal yang baru dalam peradaban dunia.
Selama kebijakan2 politik nya belum bisa menyentuh akar masalah konflik timur tengah antara Israel dan Palestina, maupun tentang Irak, Obama bukanlah siapa2. Dia sama saja dengan para pendahulunya.
Dan sekali lagi…..kisahnya tidak pantas untuk di beritakan di Indonesia.
Masih banyak lagi kisah heroisme pahlawan bangsa ini yang belum tuntas kita ceritakan.

15. ikq - Oktober 9, 2008

Hidup Obama……….tongkrong d ssssssni manNkz Asyikya/…….


Tinggalkan komentar