jump to navigation

Tan Malaka, Sejak Agustus Itu Agustus 11, 2008

Posted by anick in All Posts, Indonesia, Sejarah, Tokoh.
trackback

SAYA bisa bayangkan pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di halaman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: menjelang pukul 09:00, semua yang hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa.

Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh. Yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk sebuah wacana.

Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang kekuasaan itu. Ia mencengkeram. Kita takluk dan bahkan takzim kepadanya. Sebelum 17 Agustus 1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri dengan suara penuh, ”kami, bangsa Indonesia”–apalagi sebuah ”kami” yang bisa ”menyatakan kemerdekaan”.

Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung Karno, adalah ”menjebol dan membangun”. Wacana kolonial yang menguasai penghuni wilayah yang disebut ”Hindia Belanda” jebol, berantakan. Dan ”kami, bangsa Indonesia” kian menegaskan diri.

Sebulan kemudian, 19 September 1945, dari pelbagai penjuru orang mara berduyun menghendaki satu rapat akbar untuk menegaskan ”kemerdekaan” mereka, ”Indonesia” mereka. Bahkan penguasa militer Jepang tak berdaya menahan pernyataan politik orang ramai di Lapangan Ikada itu.

Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat, sengit, dan penuh korban, ketika ratusan pemuda melawan kekuatan militer Belanda yang hendak membuat negeri ini ”Hindia Belanda” kembali. Dari medan perang itu Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam Di Tepi Kali Bekasi: sebuah revolusi besar sedang terjadi, ”revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka….”.

Walhasil, sebuah subyek (”jiwa merdeka”) lahir. Agaknya itulah makna dari mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi ”tulang yang berserakan, antara Krawang dan Bekasi”, seperti disebut dalam sajak Chairil Anwar yang semua kita hafal. Subyek lahir sebagai sebuah laku yang ”sekali berarti/sudah itu mati”, untuk memakai kata-kata Chairil lagi dari sajak yang lain. Sebab subyek dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik, bukan seorang hero.

Dalam hal ini Tan Malaka benar: ”Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa.”

Tan Malaka menulis kalimat itu dalam Aksi Massa yang terbit pada 1926. Dua puluh tahun kemudian memang terbukti bahwa, seperti dikatakannya pula, ”Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan.”

Itulah Revolusi Agustus.

Tapi kemudian tampak betapa tak mudahnya memisahkan perbuatan yang heroik dari sang X yang berbuat, yang terkadang disambut sebagai ”hero” atau ”pelopor”. Sebab tiap revolusi digerakkan oleh sebuah atau sederet pilihan + keputusan, dan tiap keputusan selalu diambil oleh satu orang atau lebih. Dan ketika revolusi hendak jadi perubahan yang berkelanjutan, ia butuh ditentukan oleh satu agenda. Ia juga akan dibentuk oleh satu pusat yang mengarahkan proses untuk melaksanakan agenda itu.

Sekitar seperempat abad setelah 1945, Bung Karno, yang ingin menegaskan bahwa Revolusi Agustus ”belum selesai”, mengutarakan sebuah rumus. Ia sebut ”Re-So-Pim”: Revolusi-Sosialisme-Pimpinan. Bagi Bung Karno, revolusi Indonesia mesti punya arah, punya ”teori”, yakni sosialisme, dan arah itu ditentukan oleh pimpinan, yakni ”Pemimpin Besar Revolusi”.

Tan Malaka tak punya rumus seperti itu. Tapi ia tetap seorang Marxis-Leninis yang yakin akan perlunya ”satu partai yang revolusioner”, yang bila berhubungan baik dengan rakyat banyak akan punya peran ”pimpinan”.

Bahwa ia percaya kepada revolusi yang ”timbul dengan sendirinya”, hasil dari ”berbagai keadaan”, menunjukkan bagaimana ia, seperti hampir tiap Marxis-Leninis, berada di antara dua sisi dialektika: di satu sisi, perlunya ”teori” atau ”kesadaran” tentang revolusi sosialis; di sisi lain, perlunya (dalam kata-kata Tan Malaka) ”pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia”.

Di situ, ada ambiguitas. Tapi ambiguitas itu agaknya selalu menghantui agenda perubahan yang radikal ke arah pembebasan Indonesia.

l l l

TAK begitu jelas, apa yang dikerjakan Tan Malaka pada Agustus 1945. Yang bisa saya ikuti adalah yang terjadi sejak proklamasi kemerdekaan bergaung.

Beberapa pekan setelah 17 Agustus 1945, di Serang, wilayah Banten, Tan Malaka bertemu dengan Sjahrir. Mungkin itulah buat pertama kalinya tokoh kiri radikal di bawah tanah itu berembug dengan sang tokoh sosial demokrat. Tan Malaka dan Sjahrir secara ideologis berseberangan; seperti halnya tiap Marxis-Leninis, Tan Malaka menganggap seorang sosial-demokrat sejenis Yudas.

Tapi seperti dituturkan kembali oleh Abu Bakar Lubis —orang yang menyatakan pernah dapat perintah Presiden Soekarno untuk menangkap Tan Malaka—dalam pertemuan di Serang itu Tan Malaka mengajak Sjahrir untuk bersama-sama menyingkirkan Soekarno sebagai pemimpin revolusi. Menurut cerita yang diperoleh A.B. Lubis pula, Sjahrir menjawab: jika Tan Malaka bisa menunjukkan pengaruhnya sebesar 5 persen saja dari pengaruh Soekarno di kalangan rakyat, Sjahrir akan ikut bersekutu.

Ada sikap meremehkan dalam kata-kata Sjahrir itu. Konon ia juga menasihati agar Tan Malaka berkeliling Jawa untuk melihat keadaan lebih dulu sebelum ambil sikap.

Jika benar penuturan A.B. Lubis (saya baca dalam versi Inggris, dalam jurnal Indonesia, April 1992), pertemuan di Serang itu lebih berupa sebuah perselisihan: sang ”radikal” tak cocok dengan sang ”pragmatis”.

Tan Malaka tampaknya hendak menjalankan tesis Trotsky tentang ”revolusi terus-menerus”. Bagi Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan Indonesia—yang tak punya kelas borjuasi yang kuat—revolusi sosialis harus berlangsung tanpa jeda. Trotsky tak setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap ”borjuis” dan ”demokratis”; kedua, baru setelah itu, ”tahap sosialis”.

Bagi Trotsky, di negeri yang ”setengah-feodal dan setengah-kolonial”, kaum borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan agenda revolusi tahap pertama: membangun demokrasi, mereformasi pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum proletarlah yang harus melaksanakan revolusi itu. Begitu tercapai tujuannya, kelas buruh melanjutkan revolusi tahap kedua, ”tahap sosialis”.

Ini tentu sebuah pandangan yang terlampau radikal—bahkan bagi Rusia pada tahun 1920-an, di suatu masa ketika Lenin terpaksa harus melonggarkan kendali Negara atas kegiatan ekonomi, dan kelas borjuis muncul bersama pertumbuhan yang lebih pesat. Di Indonesia agenda Trotskyis itu bisa seperti garis yang setia kepada gairah 1945. Dilihat dari sini, niat Tan Malaka tak salah: ia, yang melihat dirinya wakil proletariat, harus menggantikan Soekarno, wakil kelas borjuis yang lemah.

Tapi Sjahrir, sang ”pragmatis”, juga benar: pengaruh Tan Malaka di kalangan rakyat tak sebanding dengan pengaruh Bung Karno. Dunia memang alot. Di sini ”pragmatisme” Sjahrir (yang juga seorang Marxis), sebenarnya tak jauh dari tesis Tan Malaka sendiri. Kita ingat tesis pengarang Madilog ini: revolusi lahir karena ”berbagai keadaan”, bukan karena adanya pemimpin dengan ”otak yang luar biasa”.

Tapi haruskah seorang revolusioner hanya mengikuti ”berbagai keadaan” di luar dirinya? György Lukács, pemikir Marxis yang oleh Partai Komunis pernah dianggap menyeleweng itu, membela dirinya dalam sebuah risalah yang dalam versi Jerman disebut Chvostismus und Dialektik, dan baru diterbitkan di Hungaria pada 1996, setelah 70 tahun dipendam.

Dari sana kita tahu, Lukács pada dasarnya dengan setia mengikuti Lenin. Ia mengecam ”chvostismus”. Kata ini pernah dipakai Lenin untuk menunjukkan salahnya mereka yang hanya ”mengekor” keadaan obyektif untuk menggerakkan revolusi. Bagi Lenin dan bagi Lukács, revolusi harus punya komponen subyektif.

Tentu, ada baku pengaruh antara dunia subyektif dan dunia obyektif; ada interaksi antara niat dan kesadaran seorang revolusioner dan ”berbagai keadaan” di luar dirinya. Tapi, kata Lukács, di saat krisis, kesadaran revolusioner itulah yang memberi arah. Penubuhannya adalah Partai Komunis.

Tapi seberapa bebaskah ”kesadaran revolusioner” itu dari wacana yang dibangun Partai itu sendiri? Saktikah Partai Komunis hingga bisa jadi subyek yang tanpa cela, sesosok hero?

Ternyata, sejarah Indonesia menunjukkan PKI juga punya batas. Partai ini harus mengakui kenyataan bahwa ia hidup di tengah ”lautan borjuis kecil”. Agar revolusi menang, ia harus bekerja sama dengan partai yang mewakili ”borjuis kecil” itu. Ia tak akan berangan-angan seperti Tan Malaka yang hendak merebut kepemimpinan Bung Karno. Di bawah Aidit, PKI bahkan akhirnya meletakkan diri di bawah wibawa Presiden itu.

Pada 1965 terbukti strategi ini gagal. PKI begitu besar tapi kehilangan kemandirian dan militansinya. Ia tak melawan pada saat yang menentukan, tatkala militer dan partai ”borjuasi kecil” yang selama ini jadi sekutunya menghantamnya. PKI terbawa patuh mengikuti jalan Bung Karno, sang Pemimpin Besar Revolusi, yang mementingkan persatuan nasional.

Terkurung di bawah wacana ”persatuan nasional”, agenda radikal tersisih dan sunyi. Terutama dari sebuah Partai yang mewakili sebuah minoritas—yakni proletariat di sebuah negeri yang tak punya mayoritas kaum buruh. Tan Malaka sendiri mencoba mengelakkan ketersisihan itu dengan tak hendak mengikuti garis Moskow, ketika pada 1922 ia menganjurkan perlunya Partai Komunis menerima kaum ”Pan-Islamis”—yang bagi kaum komunis adalah bagian dari ”borjuasi”—guna mengalahkan imperialisme.

Tapi ia juga akhirnya sendirian. Sang radikal, yang ingin mengubah dunia tanpa jeda tanpa kompromi, bergerak antara tampak dan tidak. Ia muncul menghilang bagaikan titisan dewa. Sejak Agustus 1945, Tan Malaka adalah makhluk legenda.

Sebuah legenda memang memikat. Tapi dalam pembebasan mereka yang terhina dan lapar, sang pahlawan sebaiknya mati. Revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna.

Jakarta, 7 Agustus 2008.

~Majalah Tempo Edisi. 25/XXXVII/11 – 17 Agustus 2008~

Komentar»

1. arkenz - Agustus 15, 2008

Sebuah legenda memang memikat. Tapi dalam pembebasan mereka yang terhina dan lapar, sang pahlawan sebaiknya mati. Revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna….

atau jangan-jangan begini: justru dalam ketidaksempurnaan itulah revolusi menemukan maknanya… hmm..

2. Bait Al Hikam - Agustus 15, 2008

Mengapa tan malaka lebih kelihatan legenda daripada real. Ada apa di balik semua itu

3. alexcandra - Agustus 15, 2008

Ia meninggalkan pemikiran yang visioner, melampau jamannya sendiri. Karenanya pemikirannya itu terus hidup, ia jadi legenda. Iapun harus lenyap karena dengan begitu orang-orang melihat sosoknya, baru melihat pemikirannya. Barangkali ia menyadari hal itu.

Diskusi tentang ‘majalah tempo edisi khusus Tan Malaka’ akan diselenggarakan oleh teman2 Gelanggang UGM. Akan diselenggarakan dalam bulan agustus ini, baru dalam tahap inkubasi.

4. indra - Agustus 16, 2008

nama dan sepak terjangnya patut dimunculkan kembali di buku2 sejarah!

5. ariefdj™ - Agustus 17, 2008

ah, jadi inget sesuatu.. Reformasi lahir karena ”berbagai keadaan”, bukan karena adanya pemimpin (apalagi katanya hasil pergerakan mahasiswa) dengan ”otak yang luar biasa”…

6. pitusiji - Agustus 18, 2008

revolusi pasti akan terjadi, sebagai jawaban atas keadaan.

7. aroel - Agustus 20, 2008

seorang kiri nasionalis itulah tan malaka.
yang ironisnya, tan malaka lebih dipandang diluar negeri dari pada di negeri sendiri.seorang tokoh revolusioner dengan pemikiran2 orisinil beliau yang tertuang disejumlah buku SI Semarang, Naar de Republik Indonesia, Massa actie, dan masih banyak lagi. termasuk sebuah karya masterpiece beliau yang tertulis rapih di Madilog. itulah salah satu founding father Republik ini yang mirisnya dibunuh oleh sesama bangsa sendiri.

“Suara saya akan lebih terdengar di dalam kubur,dari pada diatas bumi”
TAN MALAKA.

salam….
Aroel

8. ibnusina - Agustus 25, 2008

salma kenal..

9. Gobel - Agustus 28, 2008

Seorang komunis yang berjuang demi kemaslahatan bangsa lebih berharga daripada seorang beragama tetapi berjuang demi kepentingan dirinya sendiri dan menghancurkan bangsa.
Saya, malu ketika saya lebih dahulu membaca riwayat El Che daripada riwayat Tan Malaka. Inilah bangsa ini, ada begitu banyak sejarah yang telah diputar balikkan faktanya dan ditutup-tutupi. Dan akibatnya, anak-anak bangsa yang lahir setelah jaman kemerdekaan melek akan tokoh-tokoh perjuangan yang dahulu berjasa mendirikan bangsa ini.

10. HendrasaTan - Agustus 30, 2008

Seorang yang sangat dekat dengan Allah SWT tidaklah akan menjadi seorang komunis. Tan Malaka adalah Bapak Republik dan sangatlah penting serta perlu dilakukan rehabilitasi oleh bangsa ini. Adakan seminar-seminar yang mengkaji dan menelaah karangan-karangan Beliau.Dari karangan/buku Beliau tersebut akan terlihat betapa maju dan canggihnya cara Beliau berpikir. Cara berpikir dan bertindak yang semata-mata hanya mementingkan kehidupan rakyat, membuat Indonesia sebagai bangsa yang benar-benar bisa mandiri, mengajak masyarakat Indonesia untuk menghilangkan kepercayaan anisme/mitos/tahyul.

R. Matindas - Februari 8, 2014

Seorang yang menerima Tuhan bisa saja seorang Komunis. Yang tak mungkin, dia jadi atheis. Di Indonesia, komunisme sering sekali disamakan dengan atheisme, padahal dua hal ini jelas berbeda. Inti Atheisme adalah: Tuhan itu tidak ada, dan juga tidak ada neraka. Dilain pihak, komunisme adalah paham mengenai bagaimana seharusnya kehidupan bermasyarakat. Memang ada beberapa komunis yang juga atheis, tapi saya kenal banyak orang beragama yang mendukung komunisme

11. Anon - September 3, 2008

Fellow Indonesians,

Sorang pembaca bulis begini: “Seorang komunis yang berjuang demi kemaslahatan bangsa lebih berharga daripada seorang beragama tetapi berjuang demi kepentingan dirinya sendiri dan menghancurkan bangsa.”

Buat saya, ini pernyataan terbodoh. Penulisnya tidak tahu apa-apa tentang doktrin komunisme. Apa yang dapat terjadi kalau Tan Malaka berhasil mewujudkan perjuangannya?

Saya mau bilang sama pemuda-pemudi Indonesia. Itu kalau punya otak coba pakai yah. Pelajari di mana berbahayanya doktrin komunisme. Baca!

Kalau yey benar-benar memahami kepalsuan komunisme, Anda niscaya akan mengecamnya sebagai doktrin yang bukan saja salah, melainkan juga evil. Dan apa yang dapat yey katakan tentang mereka para pendukung doktrin yang evil ini?

Penulis GM yang renta ini, misalnya, memang penulis kondang.
Tapi asal tahu saja, ia menuliskan tentang dunia yang dilihatnya dari kacamata komunisnya dan terus menerus dilanda kebingungan terselubung. Tentu ia tidak boleh memperlihatkan kebingungannya terhadap jalannya peristiwa–atau ia akan kehilangan carte blanche-nya seketika di mata pembacanya.

Esei bodoh ini menunjukkan simpatinya yang besar terhadap perjuangan orang yang mau menegakkan komunisme di Indonesia. Orang yang dengan santainya mengutip Trotsky tanpa terbayang kekejamannya adalah buta hati.

Dengan kata lain, dengan bertambahnya usia dan pengalaman, GM tidak semakin bijaksana; ia terus bingung kayak anak baru gede… Patetik. Yey mau jadi kayak dia?

–K

12. jaka - September 4, 2008

Halah Pak Anonim, sampeyan ini kok jadi berkesimpulan begitu? Kok saya tidak tuh. Saya yg sudah kehilangan sikap kritis, atau situ yg terlalu sensi? Biasa saja atuh. Saya juga bukan penggemar TM, tapi tulisan GM gak memberi simpulan spt yg situ kemukakan.

Tan Malaka, bagi saya, bukan tokoh apa2. Betul spt kata GM: jadi legenda, nyata dalam angan pengagum2nya. Virtual hero. Salah satu fakta: dialah “pendosa” bagi tumbangnya kedaulatan Surakarta. Gara2 dia, Surakarta kehilangan otonominya. Sampai sekarang. His name should be written with blood-red ink in Surakarta’s history. Namanya harus diangkat sebagai antagonis dalam sejarah wilayah itu.

13. gobel - September 4, 2008

Apa yang dapat terjadi kalau Tan Malaka berhasil mewujudkan perjuangannya?
Pada waktu itu perjuangan kemerdekaan hanya bisa diwujudkan dengan bergabung dengan komunis. Islam pada saat itu telah lemah. Pada siapa lagi harus bersandar ???
Lihat Indonesia pada saat ini, ketika tokoh yang sangat2 beragama menjadi pencoleng. Lebih baik dia seorang komunis.

14. andreas - September 5, 2008

momentum yang tepat mengangkat salah satu sosok pekerja dan pejuang revolusioner. tidakkah indonesia harus berubah secara radikal dan revolusioner sebelum negeri mencapai collapse, entah itu dari sisi sosial maupun ekologis.

kita kehilangan ‘pemimpin’ berkarakter dan kebanjiran politikus busuk.

buku apa yang baik dibaca oleh kalangan muda untuk membentuk karakter diri sebagai pemimpin kelak, biografi tan malaka bisa dijadikan satu referensi. tapi bagi saya yang terbaik adalah tetralogi pram, yang kaya nuansa rasa, hati dan pikir.

15. anjing jalanan - Oktober 17, 2008

revolusi dengan kepentingan dari pihak elite politik atau calon elite politik. menjadikan rakyat kecil sebagai judul dalam pergerakan. tapi apa? mereka terbuai dengan jabatan, berlomba-lomba memberi upeti kepada penguasa agar nama mereka diingat. demi jabatan mereka menghisap darah orang kecil, darah saudara sendiri. saat ini banyak tangan-tangan mungil yang bertengger di samping kaca mobil mewah, berlumur debu dengan kulit memerah tebakar sinar matahari. mereka hanya bisa meminta, memohon belas kasihan, semoga saja ada yang berbaik hati terhadap kami. kain usang mengikat seorang bayi di dada seorang wanita -entah itu ibunya atau bukan- terlalu lelah tampaknya anak itu, dia menutup matanya, sementara wanita itu berjalan menyusuri ‘gang mobil’ di lampu merah. dengan wajah memelas satu persatu dihampiri mobil-mobil itu. ada yang merasa risih dan hanya melambaikan tangan, ada yang tidak peduli dan pura-pura tidak melihat, ada juga yang tergerak hatinya dan memberikan sekeping uang logam lima ratus rupiah.
dimana kalian orang-orang makmur? orang-orang yang berlimpah?
merah putih ada di dada, tanamkan dan perjuangkan, dalam merah dan putih kita bersaudara. jangan biarkan semangat idealis anak-anak muda luntur oleh kekuasaan dan jabatan. lihat ‘mereka’, bantu ‘mereka’, ‘mereka’ saudara.
pemimpin dan penguasa dengarkan anjing-anjing jalanan melolong, menggongong dalam hening malam dengan perut yang kosong.

16. obas - November 18, 2008

bagi saya, Tan Malaka, adalah seorang tokoh revolusi dan guru bangsa, yang mesti bagi generasi muda Tan Malaka patut di jadikan sebagi spirit perjuangan kaum muda untuk mengusung perubahan yang tertatih-tatih di negeri ini.

17. been laden - November 28, 2008

sedikit untuk Anon

anda katakan apa bahayanya komunisme? dan anda suruh pahami.ok apa kah anda memahami komunisme? apa kah anda hanya mengenal komunisme sebagai satu ajaran yang mengenyahkan kepentingan individu? kalau anda memahaminya begitu saya hanya bisa katakan ” silahkan pelajari lagi !” anda bilang evil? apa kah anda bisa memberikan satu contoh saja di dunia ini yang tidak evil? kalau anda seorang yg bertuhan anda harus jujur juga,apa kah agama tidak evil? secara tidak langsung? kalau kaitannya dengan destruksi yg di dapat dari ajarannya? tapi jika mau di banding-banding kan dalam sejarah nya ide ttg komunisme tetap yg paling minimal efect”evil” nya.anda lihat cina,anda tahu penduduk nya melebihi satu milyar,jika mao tze tung tidak pernah mengambil kepemimpinan pkc atau singkat nya jika cina yang berpenduduk seperti pasir di pantai itu tidak mengenal komunisme dan hanya mengenal sistem2 seperti yang leluhur mereka wariskan-TERLEPAS DARI SEBAGIAN FILSAFAT BANGSA CINA YANG MEMANG AGUNG-apa kah mereka akan bisa seperti sekarang? ok katakan lah ada kejadian atau banyak kejadian anti demokrasi di sana,karna memang itu lah komunisme,ada nya korban itu memang harus ada karna semua yg baik di dunia ini pasti ada effect nya.dan jika anda mau jujur pasti anda akan melihat bahwa effect ” evil ” yg terjadi karna ajaran komunisme yang “pas” adalah yang paling kecil diantara effect ” evil ” yg di sebabkan oleh ” agama” atau ” kapitalime”.anda bilang ” lihat rusia dgn stalin nya ” rusia di jaman stalin tak ubah seperti indonesia di era suharto.kalau anda mau tahu ttg stalin dan komunisme yg dia terapkan di rusia? BACA! jangan anda hanya bisa mengetik dan mengecam orang dengan kata sifat.tapi kemuka kan lah tangkisan dengan cara yg sedikit berbudi.kalau tidak ada orang2 seperti tan malaka di indonesia ini-yang jumlah nya cukup banyak- maka indonesia tidak akan pernah merdeka.saya hargai kemauan anda menulis di kolom komentar ini saudara anon.tapi tolong tulis yang sedikit saintifik! ok

18. Teguh Iman Prasetya - Desember 3, 2008

aku tak tahu lagi siapa tan malaka

19. sagas - Desember 9, 2008

dicari sutradara hebat yang bisa bikin film ttg Sang Datuk!!

20. Ramadhan Soebakat - Desember 27, 2008

Kakek saya Soebakat adalah teman dekat Tan Malaka

Ramadhan Soebakat

21. Anak Bangsa - Januari 3, 2009

Apa iya Tan Malaka Komunis?lantas kenpa mesti berhubungan dengan Syarikat Islam?kenapa mesti memutuskan hubungan dengan para kaum Komunis?kenapa mesti Musso menginginkannya mati digantung?kenapa mesti dia mendirikan PARI dan persatuan perjuangan bersama jenderal Soedirman?.Wajah Indonesia akan berbeda bila dipimpin oleh Tan Malaka dan Soedirman, bukan para playboy karbitan, pembantai, dan para pencuri yang pernah memimpin negeri ini. Berbicara tentang sejarah…disana harus ada kejujuran dan sikap menerima dengan lapang kenyataan sejarah yang telah terbentuk…membuka hati dan pikiran…..bukan lantas men-judge tanpa melihat kenyataan sejarah yang telah terjadi…..terlebih menuliskan komentar dengan kata-kata sedikit bergaya Belanda, seperti YEY yang dituliskan Anonim…keliatan banget mental inlandernya.Picik……tidak berani berkata jujur atau hati anda selama 32 tahun telah terlatih untuk tidak jujur dalam membaca fakta sejarah….terlebih lagi anda itu siapa?apa yang telah anda perbuat buat negeri ini selain hanya jualan kecap…….open minded bung!!!!!

22. ozhieth - Januari 6, 2009

Tan Malaka itu pemimpin, founding father, dan bapak Republik Indonesia sebenarnya, he’s really,really revolusioner. melebihi dan mendahului Soekarna-Hatta dan tokoh yang lainnya.

23. anak Indonesia - November 1, 2009

tan malaka adalah sosok yang membela tapi tak ingin dibilang pembela..
dia gak mau nunjukin sekedar eksistensi dia,,dia bener” bela karena ingin membela,bukan ingin dibilang pembela..
masih meragukan tan malaka komunis..??!!

24. Aufa - Juni 24, 2012

TAN MALAKA, anak bangsa yang namanya pun hanya dikenal beberapa kelompok anak bangsa masa kini. Begitu banyak karya-karyanya yang tercecer dan surat-suratnya yang tidak dibukukan dan ternyata dari beberapa artikel dan tulisan oleh pendiri bangsa lainnya terlihat kesamaan tulisan. Mungkinkah tulisan-tulisan pendiri bangsa ini juga mengambil tulisan-tulisan dan surat-surat TAN MALAKA yang tercecer? belum pernah ada jawaban pastinya. Ternyata, sejarah Negara Bangsa ini masih banyak yang belum tersibak dan terkuat dengan benar.

25. galib - Oktober 19, 2013

sang legendaris yg sengaja di tutup tutupi da dilupakan oleh sejara…
karna bentik pemikirang yg revolusioner……….

26. Punai - September 11, 2014

Ada yang mau memberi saya FN atau Baretta dengan 17 (tujuh belas) peluru? Akan ku tembak kepala si Anon dengan mulutnya yang berbusa itu, agar ia tahu apa arti perjuangan itu …
Anon, tunjukkan identitasmu.


Tinggalkan Balasan ke andreas Batalkan balasan