jump to navigation

B.O. Mei 19, 2008

Posted by anick in All Posts, Sejarah, Tokoh.
trackback

POTRET yang tertinggal dari awal abad ke-20 itu menggambarkan Mas Wahidin Sudirohusodo seakan-akan bagian dari Jawa yang lembek. Atau jinak. Ia tak tampak cakrak, dengan kepala bangga. Ia malah terkesan mengambil postur seorang yang sopan sekali. Tak ada kumis yang perkasa. Blangkon di kepalanya tampak ditimpa waktu.

Saya terkadang tak paham kenapa ”dokter Jawa” ini jadi tokoh utama Hari Kebangkitan Nasional. Saya tak pernah membaca teks pidatonya yang berapi-api. Saya tak pernah melihat sehelai foto pun yang menunjukkan ia berdiri dengan tangan mengepal. Bagaimana mungkin dengan itu ada ”kebangkitan nasional”? Apanya yang ”bangkit”? Mana yang ”nasional”?

Saya lupa: ketika ia merintis jalan yang akhirnya melahirkan organisasi ”Boedi Oetomo” pada tanggal 20 Mei 1908 itu, Wahidin sudah seorang pensiunan. Tapi ia pensiunan yang tak hendak mandeg. Sejak 1906, Wahidin berkeliling dari kota ke kota untuk menjajakan idenya: membentuk dana buat beasiswa bagi anak-anak Jawa. Selama dua tahun ia gagal terus. Baru ketika ia bertemu dengan para siswa STOVIA gayungnya disambut.

Sekolah itu seperti sudah menantikannya. Sejak awal abad ke-20, STOVIA diperbaiki agar jadi tempat untuk para pemuda—terutama mereka yang datang dari kalangan yang disebut ”bumiputra”—dilatih jadi tenaga kesehatan. Para lulusannya disebut ”dokter”, tapi dengan tambahan: ”dokter Jawa”.

Dari nama ini saja dapat dilihat bagaimana struktur sosial dan ideologi kolonial Belanda waktu itu. Dari sini pula dapat dimengerti kenapa STOVIA jadi tempat di mana ada api dalam sekam, hingga ide Wahidin berkembang di sini.

Para mahasiswa STOVIA bukan dari keluarga petinggi daerah, melainkan dari kalangan priayi rendah. Wahidin sendiri, misalnya, bukan seorang ”raden”. Demikian pula Cipto Mangunkusumo dan adiknya, Gunawan: mereka anak guru. Bahkan pernah tercatat anak pembantu rumah tangga di sekolah kedokteran itu. Seperti dikemukakan Robert van Niel dalam The Emergence of the Modern Indonesian Elite, status sosial para ”dokter Jawa” tak dipandang tinggi di masyarakat kolonial. Bahkan tak banyak yang tertarik masuk ke sana. Untuk mempromosikannya, sejak 1891 pemerintah memberi pelbagai kemudahan bagi murid yang ingin masuk STOVIA.

Dalam sejarahnya, STOVIA disiapkan melayani kepentingan pemilik perkebunan di Sumatera Timur: para buruh yang didatangkan dari Jawa perlu dijaga kesehatannya agar tak membebani perusahaan. Untuk itu perlu dokter. Pendidikan yang disiapkan cukup serius. Sejak 1904, diploma STOVIA dapat mengantar seorang lulusan ke sebuah sekolah kedokteran di Belanda di tingkat lanjut, hingga ia bisa mendapatkan gelar dokter tingkat Eropa hanya dalam waktu setahun.

Tapi lulusan itu akhirnya toh hanya dijuluki ”dokter Jawa”. Gajinya di perkebunan tak sebanding dengan ”dokter Eropa”. Kolonialisme selamanya ingin mengukuhkan diri dengan membedakan sang penjajah dari si terjajah. Kalaupun si inlander diberi kesempatan meniru, peniruan itu harus dijaga agar ”hampir sama, tapi tak benar-benar sama”, untuk memakai kata-kata Homi Bhabha tentang bagaimana masyarakat kolonial disusun. Demikianlah semasa kuliah para calon dokter itu—kecuali mereka yang beragama Nasrani—tak boleh mengenakan pakaian Eropa.

Dalam latar yang panas itu, ide Wahidin akhirnya berkembang melampaui soal beasiswa. ”Budi Utomo” dibentuk oleh para mahasiswa kedokteran itu—dan peran dr Wahidin segera berakhir. Para pemuda mengambil alih. Bagi mereka, ikhtiar akhirnya mesti bersifat politik, sebab ketidakadilan yang mereka alami adalah bagian dari kekuatan struktural.

Jika politik adalah penggalangan kekuatan alternatif untuk mengubah keadaan, mau tak mau sebuah aksi masuk ke dalam sebuah paradoks. Di satu sisi, aksi itu harus menegaskan identitas tersendiri. Tapi di sisi lain, ia harus menjangkau yang bukan dirinya, hingga identitas itu tak seperti baju besi yang terkunci rapat. Dan itulah yang terjadi pada ”Budi Utomo”.

Organisasi ini pada awalnya bertumpu pada segala sesuatu yang ”Jawa”. Tapi ketentuan organisatorisnya sepenuhnya ”Barat”. Bahkan dengan segera ”Jawa” tak hanya berarti sekitar Yogya dan Surakarta, tapi juga mereka yang biasa disebut ”Sunda”, ”Madura”, dan ”Bali”. Akhirnya identitas pun terbongkar: semuanya tak jelas batasannya. Salah satu yang menarik pada ”Budi Utomo”: untuk berkomunikasi, organisasi ini tak menggunakan bahasa Jawa, melainkan Melayu.

Bukankah gerakan politik ke arah keadilan akan selalu terdorong menjangkau yang universal?

Tapi sejumlah orang tua, para aristokrat Jawa, menampik. Bagi mereka, ”Budi Utomo” harus tetap ”Jawa”. ”Berpolitik” harus dihentikan. Pada Oktober 1908, orang-orang konservatif itu mengambil alih pimpinan ”B.O.”.

Bentrokan terjadi. Dari sinilah muncul dua nama yang kekal dalam sejarah kebangkitan Indonesia—dua orang yang tak sesopan Mas Wahidin: Cipto Mangunkusumo, dokter; ia dengan sengaja memasang bintang penghargaan dari Ratu Belanda di pantat sebagai protes. Suwardi Suryoningrat, pemuda bangsawan keturunan Paku Alam; ia akhirnya meninggalkan STOVIA dan menulis sebuah pamflet cemooh. Ia gugat pemerintah Hindia Belanda ketika berencana membuat pesta besar ulang tahun ke-100 kemerdekaan Belanda dari penjajahan Prancis—pesta yang diadakan di tanah yang tak punya kemerdekaan.

Als ik eens Nederlander was, tulis Suwardi. Seandainya aku seorang Belanda…. ”Aku juga patriot, dan sebagaimana seorang Belanda yang dengan semangat nasionalis mencintai tanah airnya, juga aku mencintai tanah airku….”

Kalimat itu betapa menggigit: seorang hamba menyatakan diri bisa sama dengan si tuan—bukan dalam kuasa, tapi dalam menghargai kemerdekaan.

Hal itu mungkin tak diduga Mas Wahidin: yang ”Jawa” bisa dan seyogianya lebur dalam sesama. Nasionalisme bukan suara igauan sendiri.

~ Majalah Tempo Edisi. 13/XXXVII/19 – 25 Mei 2008~

Komentar»

1. euh, well - Mei 23, 2008

saya juga beberapa waktu lalu membaca artikel (payah otak ini, penulis dan nama medianya lupa:)) yang bahkan menggugat Kebangkitan nasional itu bukan milik Boedi Oetomo. Tapi sebelum itu ada Sarikat Islam yang pada tahun 1905 sudah mengikrarkan dan memulai gerakan serupa. yang mana yang benar dan lebih dahsyat untuk seharusnya diperingati? catatan sejarahny kurang,.. ada yang bisa bantu dimana ada yang membahas? saya penasaran betul..
regards..:)

2. jaka - Mei 23, 2008

idem dengan sang pertamax! Artikel ini mencolek sedikit makna “nasionalis” BO (=arti “Jawa”, bhs Melayu), tapi tdk pernah saya baca argumen kuat yg menampik kritik bhw BO terbatas utk Jawa shg tidak pantas menyandang “pembangkit nasional” (kritik ini kalo ngga salah digaungkan Pramoedya). Ada yg bisa menjelaskan ?

3. bambang - Mei 24, 2008

ada yang lucu memang jika menyematkan Wahidin sbgai tokoh utama kebangkitan nasional. apalagi jika sudah baca 4 novel pulau buru pram. terutama jejak langkah.

jika isi novel itu merupakan cermin dari kenyataan maka sepantasnya tokoh utama kebangkitan nasional itu di sematkan untuk sosok Minke. pendiri Syarikat Islam organisasi pertama berwawasan kebangsaan, jauh sebelum B.O.

sekolah di STOVIA namun diberhentikan (tepatnya memilih berhenti) untuk melanjutkan perjuangan di jurnalistik dengan mengorganisasi untuk melawan bangsa yang berlabel kolonial.
profilnyapun terasa cocok : profil perlawanan. dengan kumis perkasa dan tulisan dan semangat menggebu-gebu. pendiri koran pertamanya yang terkenal “Medan prijayi”
(ilustrasi fotonya kalau ga salah ada di buku yg judulnya100 tokoh jurnalistik Indonesia)

pun dijelaskan bahwa B.O hanya menerima anggota terbatas orang Jawa prijayi (orang yang bekerja padapemerintahan belanda) bahkan -beberapa artikel menyebutkan- AD/ART nyapun berbahasa Jawa.

dari pada saya berbusa-busa menjelaskan mendingan baca aza bukunya. mungkin nanti tau apa maksud saya.

4. ibra - Mei 24, 2008

tidak ada yg lucu dg menempatkan “pensiunan dokter” itu sebagai tokoh kebangkitan. “Jejak Langkah” pun masih menunjuknya sebagai tokoh. Yang lucu adl bila anda menarik garis singgung yg serius antara kumis dan kebangkitan, Perang Dunia dan kumis Hitler? 🙂

5. ibra - Mei 24, 2008

atau kumis JK dg BBM? 😀 (mirip2 tu kumisnya) atau hubungan antara ekonom yg “asyik” ngomongin kemiskinan dengan pemulung Bantar Gebang?

6. bambang - Mei 25, 2008

ah…enggak ko!
saya ikut2an nulis kumis…cuman karena komentarin tulisan GM yg jg komentarin kumisnya mas Wahidin.

sekalian ralat.
ga ada yg lucu emang. Mas Wahidin memang pantas menerima penghormatan tersebut….

7. jaka - Mei 26, 2008

Problemnya Pram: orang kiri, berpotensi ngga obyektif sama kalangan priyayi. Terpaksa kita harus menganggap dia menulis opini dan bukan tulisan sejarah obyektif. SDI berwawasan kebangsaan? bukannya dia dibuat utk menandingi kongsi Cina? Kebangsaan apanya? Lagian terbatas buat muslim. Kalau dilihat dari konteks keindonesiaan, masih primordialistik.

8. Dedy - Mei 27, 2008

Ha…ha..ha…iya iya ngerti kok maksudnya bung Bambang…..Bung Ibra cuma lagi ‘iseng’ aja soal kumis…:P

9. husni - Mei 28, 2008

saya jadi ingat diskusi beberapa waktu lalu di Freedom Institute dengan pak Taufik Abdullah. dia katakan bahwa dalam sejarah, fakta bisa sama. tapi bertolak dari pertanyaan mana, terserah sang sejarawan. jadi, sejarah itu sebenarnya adalah discourse. jadi, bila B.O adalah titik tolak kebangkitan, dan Anda tidak percaya dan menemukan discourse yang berbeda karena beda sudut padangan, itu sah. mislanya, pak Syafii Maarif dalam resonansi di Republika menyatakan bahwa kebangkitan seharusnya dimulai dari sumpah pemuda karena baru saat itulah istilah Indonesia dikumandangkan. dan, ini mencirikan nasional. pandangan pak Syafii ini sah. tapi tidak serta merta menganggap bahwa pandangan sebelumnya salah. sejarah adalah discourse dengan fakta yang sama. 🙂

10. ibra - Mei 28, 2008

kayaknya iya. Semua penilaian mestinya kembali pada nilai itu sendiri, dan itu berarti dengan diskursus yg digunakan. Tapi bagaimana bila diskursus satu dg yg lain bergesekan? Dengan diskursus apa lagi mereka mesti “diadili”? Apa itu “might is right”?

11. husni - Mei 28, 2008

bila pengadilan dilakukan pada wilayah diskursus, tak apa-apa. yang jadi masalah, diskursus tertentu digunakan pemerintah dan membungkam diskursus lainnya, tentu dengan moncong senjata. dan saya pun kini bisa mengerti kenapa koran Tempo dan Republika berbeda dalam pemberitaan Ahmadiyah. dan, catatan kedua koran tersebut, kelak akan menjadi catatan sejarah yang dirujuk para ilmuan.

12. ibra - Mei 28, 2008

hmm, menarik… tapi apa bisa sebuah diskursus terlepas dari “manusia”-nya? di mana, spt pembacaan lacan thdp freud, tiap geraknya lebih byk dimotori alam bawah sadar? dan bagaimana bila alam bawah sadar itu adalah budaya yg eksklusif dan penuh kekerasan?

13. yanuar - Mei 29, 2008

sepertinya memang tak mungkin terlepas dari “manusia”nya kalau kita membaca Derrida, dan penganut pasca strukturalis lainya. dan menjadi pertanyaan posmodern tentang legitimasi sebuah sejarah. Apa jadinya jika kita selalu memiliki keraguan besar terhadap sebuah sejarah? Sebuah kemajuankah? Lebih jauh, mungkinkah kita menjadi ahistoris?..(kayaknya kejauhan ya) 😛

14. bambang - Mei 29, 2008

sejarah kan emang tergantung siapa yang nulis. dan semua penulis sejarah berpotensi untuk tidak obyektif.
entah pernah membaca dimana…
“yang menang nulis sejarah dan yang kalah menulis konspirasi”

saya menulis SDI lebih berwawasan kebangsaan karena anggotanya tidak hanya terbatas pada salah satu suku, jawa misalnya. dan cabangnya tersebar dihampir sebagian besar wilayah Indonesia.
sehingga dalam AD/ART (disebutkan) berbahasa melayu.
dan SDI lebih awal berdiri dibanding BO.

ada terjemahan bebas lirik sawung jabo:
bukan pemberani orang yang berteriak saat yang lain berteriak.
pemberani ialah mereka yang berbisik saat yang lain diam.

dan tentu saja boleh tidak bersepakat.

15. bambang - Mei 29, 2008

untuk diskursus mengenai sejarah, saya pernah baca tulisannya Ignas Kleiden (lalu menuliskannya kembali)… mengenai hal tersebut. mungkin ada kaitannya dan membantu jalan diskusinya.

ada dua hal yang perlu dibedakan dalam melihat kedua kebenaran
tersebut Fakta sejarah disatu pihak, dan interprestasi terhadap fakta
tersebut dipihak lainnya. Terhadap setiap fakta sejarah setiap orang
dapat dan rupanya boleh memberikan interprestasi yang berbeda, karena interprestasi merupakan hasil tarik menarik antara kenyataan obyekti dan pemahaman subyektif.

Pada ini kita berbicara tentang dua jenis kebenaran yang amat berbeda hakikatnya. Yaitu kebenaran sejarah dan kebenaran moral.

Karena Bahasa Indonesia kurang impresif, Kedua jenis kebenaran tersebut dalam bahsa lain disebutkan dengan jelas: yang satu berbicara tentang apa yang bersifat historically true (or false), yaitu apa yang benar secara histories. Sedangkan yang lain berbicara tentang apa yang bersifat morally right (or wrong), yaitu apa yang benar secara moral.
Dalam diskursus modern terutama oleh habernas disebut wahreit
kebenaran pengetahuan) dan moralische wahrhaftiugkheit (kejujuran
sikap).

Kebenaran sejarah adalah kebenaran pengetahuan yang berhubungan dengan kejadian, peristiwa, atau fakta.
Kedua kebenaran ini sendirinya sulit dipertemukan, karena kebenaran sejarah berhubungan dengan pengetahuan mengenai fakta, kejadian dan perisriwa. Sedangkan kebenarn moral berhubungan dengan sikap terhadap
perangkat nilai yang dipilih. Kebenaran sejarah berhubungan dengan sein, sementara kebenaran moral berhubungan dengan sollen, dimana pelaksanaan moral secara politik ditentukan oleh wollen (kemauan politik).

16. Kanis Ehak Wain - Mei 31, 2008

Pertanyaan yang diajukan oleh GM dalam tulisan ini kini meluas dalam masyarakat, mulai dari golongan pemikir/intelektual terkenal seperti Daniel Dhaki Dae sampai golongan intelektual pinggiran. Dan, sejauh ini, saya sendiri belum membaca sebuah tulisan yang membahas secara kompherensif atau meyakinkan atas pertanyaan tersebut. Semua orang yang berbicara tentang masalah BO dan Nasionalisme berangkat dari opini personal yang dibumbuhi sedikit bukti sejarah yang pernah dibaca.
Sejarah itu discourse (diskursus), tidak ada yang bisa membantah itu. Nah, kalau kita ingin menguji, manakah discourse yang benar, kita bisa menggunakan skema pengujian validaitas wacana, C-D-W-B (Conclusion, Data, Warrant dan Becking) sebagaimana yang dianjurkan oleh Habermas. Siapa mau melakukannya? Siapa takut, kalau ternyata kelak BO tidak dipandang lagi sebagai pelopor kebangkitan nasional?
Masalahnya, masyarakat kita ini bukanlah masyarakat yang reflektif dalam pratik diskursus (discourse practice). Di negri ini, siapa yang memegang kekuasaan (negara), dialah yang berhak atas kebenaran. Dalam hal ini, kita tahu bahwa penetapan hari kelahiran BO sebagai hari kebangkitan nasional dilakukan secara sepihak oleh negara itu sendiri. Barangkali, kelahiran pertanyaan itu menandakan bahwa kita sedang bangkit sebagai bangsa yang reflektif dalam discourse practice. Mudah-mudahan kita serius mengerjakan ‘kebangkitan’ yang satu ini.
Kalau kita membayangkan bahwa istilah ‘kebangkitan nasional’ yang kita pakai sekarang ini merujuk pada sebuah sejarah kebangkitan seluruh anak bangsa ini dengan sebuah cita-cita tunggal mengenai keindonesiaan, kita akan menantikannya hingga langit ini runtuh. Tapi saya kira, kita harus merujuk istilah itu pada sebuah peristiwa sejarah di mana semangat dan cita-cita keindonesiaan kita dihidupkan. Peristiwa sejarah yang manakah itu?

17. aliefte - Mei 31, 2008

Wuih..asyik diskusinya men!!!.. jadi bisa lebih ngerti sejarah Kebangkitan Nasional.. 🙂 Thanks..

18. raspintar - Mei 31, 2008

Menemui jalan kebenaran itu memerlukan banyak instrumennya lalu dikumpulkan jadi satu.

Teori terbahagi dua samada untuk baik atau untuk jahat penuh konspirasi; sejarah Melayu di nusantara tertekan hingga ketara Melayu di Malaysia hilang pedoman masadepan.

Untuk memulihkannya sesuai dengan pesanan Ibu Pertiwi, mungkin memerlukan beberapa generasi manusianya. Langkah awal ialah membetulkan minda supaya kembali subur dapat meneropong jauh ke hadapan dan sejarah silamnya yang waktu menjadi saksi bercerita mengenai kebenaran belaka.

Jika ini tidak mungkin, bangsa Indonesia akan hilang sahabat paling erat di nusantara ini.

19. zen - Juni 1, 2008

Saya link-kan ke blog saya ya..

20. dipo - Juni 1, 2008

sahabat paling erat?

apakah sahabat itu?

atau lebih ekstrem : perlukah sahabat?

21. ibra - Juni 2, 2008

agaknya selalu ada titik di mana satu diskursus harus terus mendekonstruksi dirinya sendiri..tetap rendah hati..dan sadar akan ironinya sendiri..sebab titik itu mungkin hidup, titik itu mungkin cinta, titik itu mungkin aku dan kamu..

22. ibra - Juni 2, 2008

saya turut bersimpati pada mas anik dkk atas insiden kemaren..mudah2an tetap diberi kelapangan dada..mudah2an ketulusan pada kemanusiaan menjadi jalan yg terang bagi semua..dan mudah2an itu bukan cuma perangnya gusdur dan fpi..amin

23. rumahteduh - Juni 3, 2008

mas anick… kami sebuah kelompok diskusi di sumatera. pengen ngundang GM..barangkali gak bisa. bisakah alamat atau email GM kami terima dari mas anick?
email kami: komunitasrumahteduh@gmail.com
terimakasih, mas

salam.
faiz

24. orang awam - Juni 3, 2008

Berani taruhan, umur NKRI gak akan lama lagi. Paling lama 70 tahun.

Banyak masalah yang tak terurus.

Semua terbengkalai. Negara dan seluruh atributnya hanya jadi beban rakyat.

Paling umur Indonesia tidak akan lama lagi……..
Dahulu saja majapahit hanya kuat kira2 sampai usia 65 tahun…..
Paling Indonesia juga tidak akan lama lagi…. pecah…..
Apa lagi orang Indonesia masih pada bodoh2….
Masih ada yang menyalahkan order baru, tapi masih juga ada yang menyalahkan reformasi….
Tanda perpecahan mulai timbul…
Ketidakpuasan di mana2…
Tanda2 runtuhnya Indonesia…..
Marilah kita bersiap-siap paling tidak membiasakan diri menjadi orang mandiri.
Karena harta anda semua rumah, mobil sudah tidak akan ada artinya……
Pemerintahan sudah akan bubar………
Indonesia sudah tidak ada uangnya lagi…..

Semua ini karena ketidakadilan dan pertengkaran antara anak bangsa sendiri. Semua saling menjelekkan dan menjatuhkan. Semua saling fitnah, hasud dan dengki. Katanya satu bangsa satu tanah air tapi giliran masalah harta dan kekuasaan semua mementingkan diri dan puaknya masing2. Kalau tidak percaya buka mata lebar2 dan lihat sekeliling anda,di partai, di parlemen, di kantor, di pabrik, di kampus dan di mana saja, primordialisme bagai jamur di musim hujan, tumbuh dan berkembang begitu pesat. Jangan pernah salahkan orang luar.

25. windede - Juni 4, 2008

sayangnya, banyak yang memplesetkan kebangkitan nasional jadi kebangkrutan nasional. lalu apa artinya peringatan 100 tahun itu?

26. ayahtaqi - Juni 7, 2008

Emang ada Jawa yg tidak Lembek mas? Semua lembek.. termasuk org2 seperti Pramudya, apalagi seperti Mas Goen.Semua Lembek…

Nah,, hebatnya Jawa, justru dgn kelembekannya bisa mendominasi Indonesia..

27. Nugi - Juni 23, 2008

sangkain B.O tu tulisan tentang Barrack Obama..:D

28. Jual Baju Pesta Anak - Maret 4, 2015

I have read so many posts regarding the blogger lovers but this paragraph is actually a pleasant post,
keep it up.


Tinggalkan komentar