jump to navigation

Rakus September 22, 2008

Posted by anick in All Posts, Ekonomi, Kapitalisme, Kebebasan, Marxisme.
trackback

Tiap kali ”kapitalisme” tampak guncang dan buruk, tiap kali Wall Street terbentur, orang jadi Oliver Stone. Dalam Wall Street, sutradara yang bakat utamanya membuat protes sosial dengan cara menyederhanakan soal, menampilkan dahsyatnya keserakahan manusia. Di sana Gekko, diperankan Michael Douglas, menegaskan dalilnya: rakus itu bagus. ”Rakus itu benar. Rakus itu membawa hasil. Rakus itu… menandai gerak maju manusia.”

Tapi rakus adalah fiil pribadi-pribadi, sementara ”kapitalisme” tak cukup bisa dikoreksi dengan membuat orang insaf. Rakus juga bisa lahir di luar Wall Street. Ia tak hanya melahirkan ”kapitalisme”.

Memang ada sesuatu yang amat rumit hari-hari ini.

Seperti mantra, seperti makian, kata ”kapitalisme” kini meyakinkan hanya karena dampaknya bagi pendengar, bukan karena definisinya yang persis. Juga kata ”sosialisme”. Juga kata ”pasar”, ”Negara”, dan lain-lain yang tak berseliweran di antara kita.

Kita sering tak menyimak, pengertian itu sekarang pada retak, nyaris rontok. Setidaknya sejak Juli yang lalu. Majalah The Economist melukiskan adegan dramatik yang terjadi di pusat kekuasaan Amerika Serikat, negara kapitalis papan atas itu: ”Pada 13 Juli, Hank Paulson, Menteri Keuangan Amerika, berdiri di tangga departemennya seakan-akan ia menteri sebuah negara dengan ekonomi pasar yang baru timbul….”

Hari itu Paulson, pembantu Presiden Bush, mengungkapkan rencana daruratnya buat menyelamatkan Fannie Mae dan Freddie Mac, dua bisnis raksasa dalam bidang pendanaan hipotek yang tak mampu lagi membayar kewajibannya US$ 5,2 triliun. Pemerintah memakai kata ”conservatorship”. Artinya, dewan direksi dicopot, pemegang saham praktis disingkirkan, tapi perusahaan itu akan terus bekerja dengan Pemerintah jadi penyangga utangnya. Pendek kata: Pemerintah AS mengambil alih perusahaan itu—kata lain dari ”nasionalisasi”, sebuah langkah yang mirip apa yang pernah dilakukan di Indonesia dan akhir-akhir ini di Venezuela.

Tapi ini terjadi di suatu masa, di suatu tempat, di mana ”pasar” dianggap punya daya memecahkan persoalannya sendiri. Ini terjadi di sebuah era yang masih meneruskan fatwa Milton Friedman bahwa ”penyelesaian oleh Pemerintah terhadap satu soal biasanya sama buruk dengan soal itu sendiri”. Ini terjadi di sebuah perekonomian—disebut ”kapitalisme”—yang prinsipnya adalah siapa yang mau ambil untung harus berani menerima kemungkinan jatuh. Jika para direksi dan pemegang saham siap menyepak ke sana-kemari meraih laba di pasar, kenapa kini mereka harus dilindungi ketika tangan itu patah?

Di situlah ”kapitalisme” meninggalkan prinsipnya sendiri. Tapi tak berarti ”kapitalisme” di Amerika berhenti sejenak. Memang tindakan nasionalisasi di sana—terakhir dilakukan terhadap perusahaan asuransi raksasa AIG (American International Group)—menunjukkan kian besarnya peran ”Negara” dalam perekonomian Bush.

Namun kita perlu lebih saksama. Sebab yang terjadi sebenarnya sebuah simbiosis yang tak selamanya diakui antara ”Negara” dan ”pasar”. ”Nasionalisasi” terhadap Fannie dan Freddie berarti sebuah langkah menyelamatkan sejumlah pemain pasar dengan dana yang dipungut dari pajak rakyat. Dengan kata lain: yang dilakukan Pemerintah Bush adalah sebuah ”pemerataan” kerugian, bukan ”pemerataan” hak.

Hubungan simbiosis antara kedua perusahaan itu dan ”Negara” juga bisa dilihat dari segi lain: menurut laporan CNN, selama 10 tahun, Fannie dan Freddie mengeluarkan US$ 174 juta untuk melobi para politikus, untuk membangun ”iklim politik” yang ramah kepada mereka—termasuk ketika tanda-tanda keambrukan sudah terasa.

Tapi jika ”Negara” dan ”kapital”, ”pemerintah” dan ”pasar” ternyata tak sepenuhnya lagi bisa dipisahkan dengan jelas, apa yang luar biasa? Bukankah sejak abad ke-19 Marx menunjukkan bahwa ”Negara” selamanya adalah sebuah kekuasaan yang memihak kelas yang berkuasa? Dikatakan secara lain, bukankah ”Negara” tak hanya terdiri atas ”apa”, melainkan ”siapa”?

Tapi persoalan tak selesai hanya dengan satu tesis Marx. Sejarah politik makin tak mudah menentukan bagaimana sebuah kelas sosial merumuskan identitasnya—terutama ketika kaum pekerja bisa tampil lebih ”kolot” ketimbang kelompok sosial yang lain, dan ”ketidakadilan” tak hanya menyangkut ketimpangan dalam memiliki alat produksi. Mau tak mau, para analis dan pakar teori harus berhenti seperti beo yang pintar, dan berhenti memakai mantra dan makian ketika ”kapitalisme” dan ”sosialisme” begitu gampang dikatakan.

Itu tak berarti api awal yang dulu membakar perang purba itu, perang yang melahirkan mantra dan makian itu, telah sirna. Selama ketidakadilan menandai rasa sakit sejarah, api itu masih akan membakar dan perang masih akan berlangsung. Selama sejarah belum berakhir dalam mengisi pengertian yang disebut Etienne Balibar sebagai égaliberté, paduan antara ”keadilan” dan ”kebebasan”, perang tak akan padam.

Perang itu, tak selamanya dengan darah dan besi, adalah perjuangan politik. Ketidakadilan tak bisa hanya bisa diselesaikan dengan administrasi, karena administrasi ”Negara” selamanya akan terbatas dan terdorong ke arah pola yang cepat jadi aus. Ketidakadilan juga tak akan bisa diselesaikan dengan perbaikan budi pekerti, dengan mengubah atau mengalahkan orang macam Gekko.

Apalagi pergulatan ke arah keadilan dan kebebasan tak hanya terbatas dengan mengutuk Wall Street. Kita tak cukup jadi Oliver Stone.
~Majalah Tempo Edisi 31/XXXVII 22 September 2008~

Komentar»

1. Ibra - September 23, 2008

Oliver Stone, Friedman, Bush…nama2 itu spt payung dan mesin jahit di atas meja bedah…bisa sangat menarik tapi juga sering mengecoh..dalam hal ini, yg mengecoh adalah tidak disertakannya penjelasan waktu. Mana yg untuk short run mana yg long run.

2. RYONO - September 23, 2008

semua idelogi punya cacatnya sendiri-sendiri-bahkan apa yang dinamakan “islamisme” sekalipun…makanya dalam ” Free market idea” akan terlihat mana ideologi yang survive, mana ideologi yang masih mapan dan masih jadi favorit dunia, mana ideologi yang aus, usang dan mulai ditinggalkan penganutnya di dunia. Makanya saya tantang apakah ide–macam Khilafah masih laku dijual dalam “Pasar Bebas ide”..-dan apakah Kapitalisme sudah kehilangan “kecantikannya”…

Bahkan China–dalam “beijing Konsensus”–terang-terangan menganut Privatisasi dan deregulasi–mantra sakti kapitalisme, walhasil ekonominya tumbuh alang kepalang…

Anda lihat Blok Cepu setelah di “swastanisasi” justru mulai efektif untuk diberdayakan sebagai pemasok terbesar minyak mentah nasional…

anda lihat Garuda Indonesia yang rugi tiap tahun, dan Negara harus menanggungnya dari APBN, tanpa perbaikan pelayanan berarti, malah masih dapat “rapot merah” dari Uni Eropa..

anda pun bisa menikmati Tarif SMS dan telpon bervariasi di sektor telekomunikasi, dengan berbagai operator seluler yang kompetitif, tidak harus selalu Telkomsel atau indosat…

sayangnya ide nasionalisasi–seperti dipraktekan negara sosialisme baru Amerika latin banyak digembar-gemborkan disini..tanpa mau melihat resiko politik yang akan menghancurkan demokrasi kelak..

seperti Hugo Chaves yang terus menerus memaksa amandemen Konstitusi untuk menisbatkannya sebagai presiden Seumur Hidup..atau mebreidel Pers oposisi..mau ?

3. Ibra - September 23, 2008

Brgkali maksud GM adlh isme-isme itu skrg udah tercampur aduk dan udah pragmatiskan untuk kepentingan ttt..sdgkan, katanya, kita masih repot ngurusin isme-isme itu..tp yg jd masalah, dalam contoh Amerika di atas, GM keliatan ga cuneng bedain Keynesian-nya Paulson dan Neoklasiknya Friedman…itu yg saya maksud concern ttg “long run dan short run”

4. Pembaca Setia - September 23, 2008

Intinya: apapun isme-nya, kalau “rakus” merasuk, rusaklah semuanya.

5. Ibra - September 23, 2008

Maksud saya “dipragmatiskan”, kurang “di”…
Yg sangat menarik dr artikel ini adalah bahwa memang para ekonom, terutama, maaf, yg ada di “makara”, keliatan ga bisa berdiri di atas isme-isme yg ada…meski kualifikasi akademisnya bikin saya gentar…tp meski demikian, saya ga mau ikut2an ke politik, penipu semua! Mening jadi Oliver Stone atau Bruce Springsten, lebih stylish 😉

6. the beautiful sarimatondang - September 24, 2008

Caping wrote: “Perang itu, tak selamanya dengan darah dan besi, adalah perjuangan politik. Ketidakadilan tak bisa hanya bisa diselesaikan dengan administrasi, karena administrasi ”Negara” selamanya akan terbatas dan terdorong ke arah pola yang cepat jadi aus. Ketidakadilan juga tak akan bisa diselesaikan dengan perbaikan budi pekerti, dengan mengubah atau mengalahkan orang macam Gekko.

Apalagi pergulatan ke arah keadilan dan kebebasan tak hanya terbatas dengan mengutuk Wall Street. Kita tak cukup jadi Oliver Stone.”

….kalau ditambah dengan e.f. schumacher…. gimana?
(sambil garuk-garuk kepala, karena asal njeplak aja nyebutin nama terakhir ini….)

7. Ibnu Hasyim - September 30, 2008

SAYA mengucapkan Selamat Hari Raya Aidul Fitri kepada anda, pelayar-pelayar blog ini. Maaf zahir batin, jika ada salah silap..

Untuk lanjutnya sila layari tulisan-tulisan yang ada kaitan mengenai ibadah sejak dari puasa hingga ke Hari Raya dalam blog saya http://www.ibnuhasyim.com

Tajuk:

1…Surah Yusuf Mengubah Superstar Jadi Pendakwah.
2… Hirose Junko: Temui Jawapan Melalui Al-Qur’an.
3… Frida Maramis: Natal/Aidul Fitri, Aku Pilih Islam….
4…Hari Raya & Bahaya Binatang Dari Perut Bumi..
5… Francis Netto : Tarawih Merubah Gaya Hidupku..
6…Turunnya Al-Qur’an, Napoleon Bonaparte Pilih Islam…
7…Lailatulqadar Sebuah Kem Motivasi..
8.. Imbasan Ramadzan: Di Mana Kesan Puasa Dalam Politi…
9…Zakat Fitrah Orang Kaya Sepatutnya RM13.50 Seorang…
10..Menyambut Hari Raya Dengan Album ‘Fikirkanlah’ Dari …
11..Hati-hati Baca Al-Qur’an Dalam Internet.. Group Un…
12..Selamat Hari Raya: Jangan Lupa Cat Rumah Baru! Okt.11,2007

Selamat Hari Raya.
Ada sembang
Ada bincang
Ada harapan
Ada ketetapan.
Ada doa
Ada zikir
Ada takbir
Ada selawat
Assalamu ‘alaikum..
Selamat Hari Raya
Dan salam sejahtera.

Dari Ibnu Hasyim
ibnuhasyim.com
(e-mail: ibnuhasyim@ gmail.com)
Sept30, 2008

8. wildan - Oktober 6, 2008

Assalamualaikum , halloooooo bang mohon maaf lahir dan batin dabn salam persaudaraann!!!

9. Brahmachari - Oktober 7, 2008

Inilah yang terjadi saat semua orang berasumsi seadanya (ceteris paribus), tanpa mempertimbangkan variabel lain

kelak dua kubu (sosialisme dan kapitalisme) aka bersatu dalam wadah “The Grand New Economy”

10. zetta172 - Oktober 9, 2008

memandang diri sendiri…

11. adminblogfsifeunand - Oktober 9, 2008

kapitalisme…when can we destroy “it” inside and outside?

12. andreas iswinarto - Oktober 13, 2008

Salam pembebasan,
Di tingkat global setelah kisah krisis air, krisis iklim, krisis minyak, krisis pangan, kini krisis finansial naik panggung, Paradoksnya jalan krisis itu terus ditempuh. Masih saja mekanisme pasar dan korporasi dianggap solusi yang menjanjikan. Ironi abad ini, rasionalitas yang irasional. Rasionalitas yang paling tidak masuk akal.

It’s the capitalism, stupid! (adaptasi dari frase politik yang populer digunakan Clinton ketika berkampanye melawan George Bush Senior, it’s the economic, stupid!)

Silah kunjung
Krisis Keuangan Global : Karl Marx di Aspal Jalan Dunia Datara
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/krisis-keuangan-global-karl-marx-di.html

13. zaval - Oktober 19, 2008

“nature selection !” desis darwin…haha…kita kembali kedunia purba…lupakan peradaban teman..lupakan..ayo jingkrak-jingkrak..haha…absurd

14. ozhieth - Januari 7, 2009

masih tertawa, bisnis SENJATA tetap jaya, terus dijaga..
dengan politik, ekonomi, apalagi agama, huh, tak akan bisa mengalahkan makhluk “SENJATA”.

15. Fani Satria - Juni 24, 2009

Untuk Ryono dimanapun kamu, anda terlalu naif melihat sejarah interaksi ideologi, seperti kata Deng apapun warna kucingnya yang penting bisa menangkap tikus. Bagi Indonesia ideologi kapitalisme yang diterapkan sama sekali tidak berbasis pada kepentingan nasional, seperti menonton MU melawan Persija, hasilnya sudah jelas mesti menang MU. Kita perlu meniru Jepang, Korea, Thailand, atau Malaysia perkuat basis industri lokal, proteksi seperlunya, baru ikuti agenda global. Lihatlah Amerika pemerintah menyiapkan miliaran dollar untuk menyelamatkan perusahaan yang terancam bangkrut, jadi mantra kapitalisme yang menggaungkan privatisasi dilanggar oleh guru besar kapitalisme sendiri. Kita tidak sedang bicara ideologi mana yang terbaik karena memang itu tidak penting, tapi yang lebih penting adalah menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang kuat, tidak diddikte oleh kepentingan asing, disegani di kawasan Asia, rakyatnya sejahtera, kekayaan alamnya tidak dijarah oleh bangsa asing, tidak ada lagi WNI yang dilecehkan di negeri jiran, dan demokrasi tetap jalan, kapitalisme dalam skala tertentu okelah, tapi utamakan kepentingan nasional

16. pyan smpzan solehudin - September 8, 2009

pemeratan rugi,bkn pmrataan hak.kok ini yg tjd ya..?

17. kota salju - Oktober 29, 2011

masih belum cukupkah pemerintahan a.k.a negara terus-menerus memihak kelas yang berkuasa. kekuasaan yang memihak kelas yang berkuasa, seperti sebuah koloni serigala. dimanakah rakyat kecil dan mereka yang tertindas bisa mendapatkan perlindungan? keberpihakan kepada mereka yang dicap sebagai “kelas bawah”, tangan yang tak bersayap. bantulah mereka untuk terbang, meski tubuh mereka mungkin akan menusukmu.

isme-isme itu adalah jawaban jangka pendek, tidak perlu dikekalkan dan menjadi identitas. no wonder, pragmatis saja.

masuk akal juga kata @fani_satria, apa pun warna kucingnya yang penting bisa menangkap tikus.

18. Toko bunga di jakarta - Desember 4, 2013

berbicara soal kapitalisme, sejujurnya aku masih kurang paham dari definisi itu 😀


Tinggalkan komentar