jump to navigation

Tiga Nenek Sihir April 27, 2009

Posted by anick in All Posts, Kisah, Pepeling, Politik, Tokoh.
trackback

Tiga nenek sihir muncul di tepi jalan, ketika Jendral Macbeth dan Jendral Banquo melewati hutan yang gelap berkabut itu. Cuaca didera hujan dan guntur. Mereka dalam perjalanan pulang dari sebuah pertempuran yang berhasil. Setengah ketakutan setengah ingin tahu, mereka terpacak di depan ketiga makhluk aneh itu – tiga sosok yang mengelu-elukan Macbeth dengan gelar kebangsawanan yang tinggi, seperti bagian dari sebuah ramalan yang dahsyat: bahwa Macbeth kelak bahkan akan disebut sebagai sebagai raja.

Pada detik itu, bagi perwira tinggi Skotlandia itu, masa depan tiba-tiba tampak berubah. Raja? Tahta? Benarkah puncak itu akan tercapai, jika mengingat, bahwa Duncan, raja yang diabdinya dan dibelanya dalam perang yang baru saja usai, masih kukuh berkuasa? Sahkah keinginan mencapai posisi itu, berada di kedudukan milik baginda?

Bagi saya, penting buat dicatat bahwa Macbeth, lakon Shakespare yang termashur ini dimulai dengan adegan tiga nenek sihir itu. Tiga perempuan yang ganjil, yang hidup disisihkan dari tata sosial dan percaturan kekuasaan, ternyata tak bisa diabaikan.

Justru mereka itulah yang pada akhirnya mengharu-biru tertib yang ada – dan tanpa melalui kekerasan. Di Skotlandia waktu itu tertib yang ada tak akan memungkinkan Macbeth bisa jadi raja. Adat yang berlaku tak membuka peluang bagi Macbeth untuk mengambil-alih tampuk. Tapi malam itu, di hutan berkabut itu, di bawah cuaca buruk itu, tertib, adat dan lambangnya guncang.

Tapi bukan salah para nenek sihir itu jika tertib itu akhirnya jadi keadaan yang dibangun dengan pembunuhan. Sebab Macbeth, begitu ia merasa nasib akan menjadikannya seorang raja, ia pun segera menyisihkan sang takdir. Ia tak sekedar pasif menunggu sampai keberuntungan itu datang.

Ia bertindak menyingkirkan Duncan. Bukan karena petunjuk ketiga perempuan misterius di hutan itu bila ia membunuh sang Raja. Itu sepenuhnya inisiatifnya. Itu dorongan kehendaknya yang kian kuat. Ia bahkan tak perlu lagi dihasut isterinya untuk merebut kekuasaan. Ketika nujum mengatakan bahwa kelak yang akan menggantikannya sebagai penguasa adalah anak-cucu Jendral Banquo, Macbeth pun diam-diam (bahkan tanpa memberi tahu isterinya) menyuruh agar sahabatnya dalam perang itu dibunuh. Banquo mati. Dengan itu Macbeth berharap nujum, atau “takdir”, bisa dikalahkannya.

Tapi dengan itu semua terungkap bahwa manusia dan perbuatannya-lah yang akhirnya menentukan. Takdir tak ada artinya. Tertib yang semula ditaati oleh seluruh Skotlandia terbukti bukan tertib yang datang secara alamiah, bukan tatanan yang ditentukan oleh langit. Kedudukan raja bukanlah sesuatu yang secara a priori ditetapkan. Ia seperti kursi kosong yang bisa diisi siapa saja yang bisa merebutnya. Tertib dan adat itu pada akhirnya dibentuk oleh ambisi, akal, dan antagonisme manusia.

Apalagi yang diucapkan nenek sihir itu bukan nubuat: mereka tak pernah dihormati sebagai para nabi. Wibawa mereka praktis tak ada. Ucapan mereka tak berdiri di atas (dan terlepas dari) tafsir subyektif Macbeth sendiri. Dalam adegan ke-3 Babak I sang jenderal secara tak langsung menunjukkan hal itu. Ia menyebut ketiga makhluk itu “imperfect speakers” yang cuma sebentar bicara dan kemudian menghilang ke udara malam yang basah.

Itu sebabnya Macbeth bukan hanya sebuah cerita tentang ambisi. Drama ini juga bercerita tentang kekuasaan yang tak tahu di mana mesti berhenti – dalam arti berhenti menaklukkan yang lain. Kekuasaan itu jadi lingkaran setan karena ia dimulai dengan kekerasan.

Sebelum akhirnya kekerasan itu membinasakan manusia, pada mulanya ia berupa kekerasan terhadap misteri. Macbeth mencampakkan nujum tiga nenek sihir yang sebenarnya diutarakan dalam bentuk puisi yang remang-remang dan belum selesai; ia menggantikannya dengan tafsir dan rencana yang tegar; ia mengertikan kata-kata para nenek sihir dengan harfiah. Ketika ketiga perempuan setengah gaib itu meramal bahwa Macbeth hanya bisa dikalahkan oleh seseorang yang “tak dilahirkan oleh perempuan,” jenderal itu yakin tak akan ada manusia akan bisa merubuhkannya. Padahal ternyata ada kemungkinan arti lain dari kalimat itu: Macduff, orang yang akhirnya berhasil membunuh Macbeth, dulu tak dilahirkan dengan cara normal. Ia bayi yang direnggutkan keluar setelah perut ibunya dibedah.

Betapa malangnya Macbeth: ia ambisi yang lempang seperti tombak yang keras dan menakutkan. Ia tak tahu bahwa selalu ada lapis yang tak akan tertembus olehnya. Ketiga nenek sihir itu misalnya, yang tak pernah bisa diperintahkannya dan tak pernah bisa penuh dimaknainya. Juga hutan yang gelap itu. Juga guruh dan cuaca buruk itu.

Juga rasa bersalah yang tak bisa dilenyapkan. Isterinya merasa tangannya selalu berlumur darah; tak ada minyak yang bisa membersihkannya. Macbeth sendiri melihat hantu Banquo yang dibunuhnya datang malam-malam. Kian mengusik rasa bersalah itu, kian paranoid pula ia jadinya, dan makin buas.

Lakon Macbeth akhirnya menunjukkan: betapa destruktifnya ambisi kekuasaan politik ketika ia berkali-kali ingin menembus apa yang tak tertembus, menaklukkan apa yang tak akan tertaklukkan, menghapuskan apa yang tak bisa terhapuskan, ketika ia menyangka dunia bisa dikuasai seperti dalam markas militer.

Maka biarlah di sini saya memperingatkan: Tuan bisa menculik, menyiksa, menggertak – atau, sebaliknya membeli manusia dengan uang – tapi di balik kehidupan selalu tersembunyi nenek-nenek sihir. Kalau Tuan tak tahu kapan harus berhenti, Tuan akan bertaut dengan mala – yang buruk, yang busuk, yang keji, yang akhirnya akan mengenai Tuan sendiri.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 27 April 2009~

Komentar»

1. widatdo - April 30, 2009

Mudah-mudahan saja di negaa kita tidak terjadi peristiwa seperti macbeth. walau sebenarnya ada peluang dan kemungkinan terjadi peristiwa macbeth itu sekarang ini.

2. Zul Azmi Sibuea - April 30, 2009

peruntungan tentu tidak datang begitu saja dengan sendirinya, tetapi mesti dijemput, dijelang dan dihampiri dengan pegorbanan harta, perasaan, kehormatan, dan bahkan harga diri.
walaupun peruntungan hanya bisa didapat secara untung-untungan, macbeth dengan tekun, runtut, dengan khusu dan penuh takjim melakukannya, lepas dari berapa kuantitas dan kualitas pesakitan yang diakibatkannya untuk sebuah ambisi kekuasaan.
kekuasaan memang memukau dan menyihir siapa saja, saya, aku, hamba, ane, loon,…….. anda bisa menambahkan bahasa apa saja untuk menyebut “diriku”.
salam
zul azmi sibuea

3. Moro W - April 30, 2009

ketika para caleg melakukan politik uang, aku berharap tuah nenek-nenek sihir itu akan bertaut kepada mereka. dan bagaimana bung dengan mereka yang menerima uang dan melakukan apa yang diminta para caleg busuk itu? dan bagaimana orang-orang yang tahu dan hanya berdiam diri? akankah tuah nenek-nenek sihir itu akan bertaut juga? ah, betapa ngerinya …….

4. demis - Mei 1, 2009

Semoga orang-oranag seperti Macbeth di Indonesia cepat MATI!

5. isoelaiman - Mei 1, 2009

Rupanya terusik juga GM dengan saudara-saudaranya. “Maka biarlah di sini saya memperingatkan: Tuan bisa menculik, menyiksa, menggertak …” Tuan akan bertaut dengan mala – yang buruk, yang busuk, yang keji, yang akhirnya akan mengenai Tuan sendiri.”
Meski GM tahu, mereka bakal mencampakkan caping Tempo, usai membaca capingnya. Tapi, GM ingin –bak Mama Lauren–mengingatkan bakal terjadinya peristiwa berdarah di republik ini. Waspadalahhhh!
Al-kisah, merasa di deretan 10 partai pemenang, isyarat singgasana kepresidenan demikian menghentak tiap malam. Bal geduwal, pokoknya “aku” harus “disitu”, yah, nenek sihir, “aku di barisan-mu”. Saksikan para penulis sejarah, kubelum menyerah.
Persetan, setan. Persetan diriku. Persetan kalian semua. Bilang apa pun, terserah. Tokh nanti bilaku sudah di panggung kuasa, kalian pasti tunduk padaku jua.
Jangan nyinyir, jangan usil. Minggir bila tak suka! Lupakan masa laluku, lupakan calonmu. Hayo koalisiku, mari nobatkan aku jadi raja negeri ini. Mari, hantar “nafsu kuasaku”.
Ini hasil pendidikan nasional kita, ini hasil pendidikan politik kita, ini hasil . . .

6. neno - Mei 4, 2009

selalu ada dan akan selalu ada analogi nenek sihir di kehidupan manusia, mereka selalu akan melihat ke depan, berbicara dan berbisik. namun apakah maksud laku mereka?siapa yang tahu, mungkinkah ke tiga nenek sihir diatas sedang bermain peran, sesuai keinginan mereka, sehingga akhirnya cucu mereka sendiri yang menjadi raja? ataukah chaos yang akan tercipta dari bisikan mereka kepada Macbeth, akan memberikan peluang kepada mereka menjual alat perang, racun ataupun obat2an. tidak tertulis ataupun tidak tersirat mungkin di lakon tersebut. tapi berjuta kemungkinan terbuka di dunia yang sedang bergejolak ini. bisa saja berjuta nenek sihir sedang menghembuskan nujum ke penjuru dunia, menggali hasrat kotor manusia tentang kekuasaan, kemudian mereka mendulang hasilnya bagi keberlangsungan hidup mereka. semua terus berlanjut, dan tuan, saya tidak bisa membedakan manakah mereka diantara mereka? dan kemudian siapakah yang mampu merubah ini semua? karena kita manusia dengan segala isinya hanya mampu menciptakan kemungkinan, tanpa memberikan titik.

7. Bayu Probo - Mei 4, 2009

Saya sendiri pun harus menyadari keberadaan tiga nenek sihir dalam hidup saya.

8. ibra - Mei 4, 2009

Saya kira “ambisi, akal, dan antagonisme manusia” adalah alamiah. Dan sebagaimana semua yang alamiah, ia tak akan berdiri selama-lamanya. Selalu ada sisi lain yang menjadi penyeimbangnya, juga sesuatu yang lain yang akan menggantikannya.

“tertib” adalah pergulatan. Bukan akhir.

Caping di atas gagal menangkap itu.

9. ochidov - Mei 4, 2009

aku miris tiap hari disodori lelucon para politisi “kacangan”, mereka bermain lebih jelek dan jijik dari pada kerbau yang merendam diri di kubangan lumpur, berjuta-juta rakyat yang makin hari makin cerdas dipertontonkan sesuatu hal yang jauh dari harapan rakyat banyak.
ini fakta bahwa mereka (caleg,capres,cawapres,cayud dan orang-orang yang rakus kekuasaan) balik belakang dari amanat demokrasi yang ideal, memang, negara kita masih belajar, tapi mereka belajar ala playgroup yang autis sekaligus yatimpiatu.
bahkan realita politik sekarang lebih buruk, busuk, dan keji dari “Tiga nenek sihir” milik GM.
bukan sok pesimis dengan mereka, tapi, lihatlah kawan; pada mereka yang ada di pedalaman hutan, di pinggir kali dan pantai, dan mereka yang ada dalam pinggir bentangan harapan hidup, yang lebih
survive untuk kehidupan, aku masih beriman pada mereka yang dilupakan, dipinggirkan, dinistakan oleh kekuasaan.

10. isoelaiman - Mei 5, 2009

Betatapun jahatnya mereka, betapa pun kasar dan kejinya mereka adalah anak bangsa juga. Bagian dari diri kita juga. Cermin diri bangsa. Saudara kita juga.
Silahkan dimaki, dinasehati, yakinkan ke amanat rakyat, asal jangan membuat diri kita berputus asa dan frustasi sahabat. Jalan masih panjang, Anda bakal dapat giliran, tenang.
Kita harus tetap berharap menyajikan yang terbaik buat masa depan bangsa, sok tua nich!
Saya punya usul, bagaimana kalau GM mengadakan dialog terbuka dengan mereka yang mencalonkan diri sebagai capres dan atau cawapres. Untuk memberi sentuhan “kemanusiaan” yang dikhawatirkannya. Mungkin, dengan begitu, sejarah akan berbelok ke lain arah.
Sehingga, akan bisa menuliskan caping yang ber-perspektif dari “dalam diri” para calon. Jadi, perspektif “from within”. Dari situ, GM sedikit demi demi sedikit bisa “membelokkan arah kemudi”.
Tak hanya dari luar melulu. Bagaimana sahabat?

11. podolisasi prima - Mei 5, 2009

Kalau masalah moral saya lebih suka sentuhan Isoelaiman deh yg langsung turun gunung. Bener deh, ga ada sinisme di kata-kata saya.
Bagaimana mas?

12. ibra - Mei 6, 2009

Saya berpendapat,
Bila kita gagal menangkap “order” nya Hobbesian, maka dapat dipastikan akan gagal juga menangkap “equilibrium”nya Smithian.

Pertanyaan filsuf zaman itu ada di sekitar fisikanya Newton.

Kegagalan ini hampir dialami semua ekonom negri ini. Kecuali beberapa yang tersingkirkan.

13. Algazel - Mei 6, 2009

Kecuali yang tersingkirkan itu siapa?
Epigonis mafia berkley?
Bila kita gagal menangkap order, akan gagal juga menangkap equilibrium.Itu antitesis lipatan Platonik, saya pikir.Circle of life.
Point anda?

14. ibra - Mei 7, 2009

Mafia berkeley itu siapa sih?
Lulusan berkeley taun jebot itu? Saya kira sekarang tinggal pak Emil Salim, dan mereka ngga cocok dipanggil mafia, yg notabene berlumur darah.

Yg tersingkirkan maksud saya adalah mereka yg gak percaya free trade, yg gak percaya bahwa pasar dapat menyembuhkan dirinya sendiri, yg menentang kenaikan BBM taun 2005 itu ( GM termasuk menanda tangani setuju? ) , yang menentang “pasar”, yang nasibnya akhirnya tidak dipakai dalam pemerintahan. Mereka ini kadang teman satu atap juga dengan yang mengatakan bahwa pasar adalah “sunatullah”.

Saya ngga gitu ngerti plato atau lipatan platonik (mohon penjelasannya), tapi saya cukup ngerti tulisannya tentang Sokrates.
Tentang antitesis ini: pun bila saya hanya mengandalkan kecurigaan saya, kecurigaan saya adalah antitesis saya.

Tapi marilah kita tidak hanya saling curiga-mencurigai. Marilah kita renungkan pertanyaan2 ini :

Bila politik dan kekuasaan bisa memberikan kemakmuran tinggi pada segelintir orang, bisakah ia memeratakannya pada semua orang?
Bila politik dan kekuasaan adalah sebuah pasar tersendiri, dari manakah ia menemukan sumberdaya/dananya? Dan apakah equilibrium itu? Pernahkah ia terjadi? Pernahkah kekuasaan2 bisa sedemikian imbang sehingga satu sama lain tidak mengganggu kepentingan masing2?

Ini adalah pertanyaan2 ketika manusia ternyata tidak bisa dirumuskan dengan dengan hukum fisika manapun. Ketika pengetahuan tentang manusia dan manusia itu sendiri adalah dua hal yang berbeda.

15. Algazel - Mei 7, 2009

wah anda mahir bermain makna ya teman.
Justru di paragraf terahir saya melihat lipatan platonik.setelah anda
bicara panjang lebar dari pertama.

Sory Epigonis mafia berkley, bukan seperti yang anda sebut diatas.
o ya mereka bukan mafia? jelas bisa panjang lebar diskusi ini.
tapi sudahlah,. kita tunggu angle lainnya, dr pengunjung site ini.

16. ibra - Mei 7, 2009

Argumen saya memang bolong2. Baru bangun bobo. Hehehehehhe
The point is : aku suka mereka yang menemui malam, kata Om Chairil
hehehehehe

Salam
PS. Cobalah sekali kali anda menikmati musik dari turntable, biasanya mereka mengkalkulasikan sound dengan sempurna, ditambah taburan cahaya dan wewangian yang menyesakkan dada, saya kira itu cukup menarik. Hehehehe

17. Zul Azmi Sibuea - Mei 7, 2009

@ibra,
suhrawardi yang menjelaskan pada hoza, katanya :
“bukan, bukan bulan yang lebih manfa’at dari matahari, jangan pula kau samakan siang sama dengan matahari”.
Bukankah illuminasi suhrawardi itu yang ingin dijelaskan pada leviatannya hobbes, dan ditimbang-timbang sisi etika dan moralnya oleh smith, pensiunan dini guru etika itu.
siapa mestinya nangkap siapa.

18. ibra - Mei 7, 2009

Suhrawardi itu sopo?
Ya kalo cuman metafor siang-malem gituan, tukang kebon juga tau….
Hehehehehe

19. ibra - Mei 7, 2009

Sihabuddin yahya suhrawardi?
Wah, baru kali ini ada yg ngomongin doi disini….
Metafor itu juga terlalu luas tafsirnya….
Btw, Division of labour nya adam smith juga nyontek ibnu khaldun…

arah saya bukan ke situ, sebetulnya. Tapi ngga apa2.

Silahkan lagi

20. Zul Azmi Sibuea - Mei 8, 2009

karena luasnya itu , maka akan mencakup teori ilmu atau epistemologi dalam ekonomi – Dia (yang maha esa) mengilluminasi alam fana ini, karena nya setiap tindak baik ekonomi, sosial , politik musti tunduk pada etika dan moral yang bersesuaian dengan hobbes.
ini yang kemudian dijelaskan oleh smith, dalam equillibrium nilai ekonomis, tapi kehilangan nilai etika dan moral. jadilah ilmu ekonomi kemudian tanpa mengikut sertakan etika pada epistemologinya, yang menyuburkan pendekatan newton.

awal dari liberalism adalah pemisahan atau sekularisasi lahir dan bathin

21. ibra - Mei 8, 2009

Menarik.

1. Tentang ekonomi tanpa moral.
Saya baca kesimpulan liberalisme begituan pada “an essay on economics and economist” dari Ronald Coase, bahwa dengan mengalihkan moral dari sandaran ekonomi, manusia menjadi rasional dalam artinya yang universal.

Moral di situ merujuk pada moral yang asimetri atau moral yang tidak menuntut timbal balik. Sedangkan ekonomi harus bertimbal balik. Tak ada kata “ikhlas” dalam kamus ekonomi.

Dengan sangat sederhana, saya akan menggugat argumen itu dengan kasus ini :
Asumsikan ada 2 orang yang akan anda ajak untuk menjadi rekan bisnis, si A dan si B. Anda tahu bahwa si A punya moral, sedangkan si B bajingan. dua-duanya akan menguntungkan anda dengan nilai yang sama.
Mana yang akan anda ajak untuk menjadi rekan bisnis? Si A atau si B?
Saya perjelas pertanyaan saya, mana yang akan membuat anda merasa aman dalam berbisnis, si A atau si B?
Tentu si A, bukan?

Maka antitesisnya adalah : moralitas adalah upaya rasional dalam kegiatan ekonomi yang berkelanjutan!

2. Tentang equilibrium.
Semua tahu bahwa ini adalah istilah fisika tentang tarik menarik benda langit yang menciptakan “order” dalam arti tidak menyebabkan bertubrukan. Seimbang.
unsur paling penting dari kekuatan2 yang tidak-seimbangan yang kemudian menjadi seimbang adalah : jarak.

Tapi ketika konsep itu digunakan untuk menjelaskan kerumunan manusia, maka akan banyak sekali variabel2 yang harus diperhitungkan. Smith ngga sanggup. Lack of knowledge nya ada di situ : ketidak mampuan menangkap semua variable. Smith saya kira menyadari itu, dan ia akhirnya harus menggunakan istilah metafisika bernama “the invisible hand” !

Dan di situlah problemnya. Para ekonom sampai sekarang bersandar pada konsep itu untuk menjelaskan perilaku ekonomi manusia.

Mereka seakan akan tinggal, dengan meminjam istilah GM, dalam menara lempang dan tidak tahu kekalang-kabutan dalam “pasar”, kekalang kabutan dalam tarik menarik kekuatan-kekuatan yang tengah membentuk ” harga”.

Equilibrium tidak pernah terjadi. Trickle down effect tidak pernah terjadi.

22. ibra - Mei 8, 2009

Harus dijelaskan juga bahwa iluminasi itu membiarkan pembunuhan dan kesewenang-wenangan.

Harus dijelaskan juga bahwa pada akhirnya iluminasi (hikmah?) Meliputi yang kotor dan najis. Meliputi pergulatan kepentingan.

Harus dijelaskan juga bahwa Sang Khalik adalah ” laisa kamislihi syaian” Sang Maha Lain. Dan Dia mendatangi kita setiap waktu

23. Bang Del - Mei 10, 2009

Entah kenapa kalo aku menilai, ehem.. (maap ya pak) terkadang dan hingga saat ini tokoh penyeimbang selalu hadir termasuk Macbeth. Sehingga semuanya akan menjadi balance.

24. zul azmi sibuea - Mei 10, 2009

pembunuh versus penghidup, kesewenang-wenangan versus kepatuhan, yang kotor dan yang jorok versus yang bersih dan murni serta najis versus kehalalan akan dijelaskan dengan circular causation nya Myrdal, atau Shoemacher – ini menjelaskan penyebab berantai , beberapa sebab berurutan memberi akibat berurutan kemudian memberi akibat kepada sebab. (ketimbang semua lawan semua, semua membentuk semua). Jadi secara sederhana dijelaskan begini :
Harus ada kesadaran bahwa dunia fana ini diluminasi sang Maha Ada, kesadaran akan illuminasi inilah yang menyebabkan tiap insan saling berinteraksi (circular causation) diatas, interaksi circular causation menghendaki integrasi, artinya evaluasi terhadap hasil interaksi , dan hanya dengan integrasi pula dapat dicapai kemajuan dengan evolusi yang kreatif.
Ini dijelaskan oleh Masudul Alam Chudhury dalam ethico-economy nya, dan dia menyebutkannya dengan Epistemologi IIE, interaktif, integratif, dan evolusi kreatif, atau seringkali disebut dengan shuratic epistemology (shura- jadi musyawarah dlm bhs indonesia).

25. ibra - Mei 10, 2009

Aku kutipkan kata-kata Sokrates dalam Apologinya buat kamu, Zul Azmi :

Takkan ada suatu apapun yang dapat memberi keburukan pada orang baik, entah di dunia ini ataupun kematian, dan nasib mereka tidak akan diabaikan Allah…

26. Zul Azmi Sibuea - Mei 11, 2009

nampaknya ini adalah pesan dari sokrates untuk orang-orang atau society, yang ditandai oleh kata “mereka” – jadi masalahnya adalah soal penataan hidup bersama, masalah transaksi seorang dengan orang lain, masalah mu’amalah dalam khuriyat, masalah contractarianism dalam perdagangan, masalah ijab dalam jual beli biasa. apa kata sokrates mengenai hal ini ????

27. ibra - Mei 11, 2009

Bukan kekayaan yang menghasilkan kebajikan. Tapi kebajikan yang menghasilkan kekayaan.

28. ibra - Mei 11, 2009

Dari kasus si A dan B di atas, sebetulnya saya sudah masuk dikotomi mikro dan makro. Kontrak sosial dan equilibrium itu sebetulnya masuk makro. Dan disitulah penegasan Sokrates : kita ngga bisa masuk makro tanpa menyertakan yang mikro. Penegasan ini adalah penegasan identitas. Kita tak dapat menyamakan semua yang di luar kita dengan diri kita.

29. ibra - Mei 11, 2009

Tentang Komentar no. 25 di atas, anda bisa membacanya sebagai sebuah pujian.

30. Loginataka - Mei 11, 2009

Setelah hampir 2 abad dijadikan pedoman, fisika Newtonian pun akhirnya ‘harus menyesuaikan’ dengan relativitas Einstein.
Ruang dan waktu, yang menurut Newton bersifat mutlak, ternyata tidak menurut Einstein. Dalam fisika Einstein, yang mutlak adalah kecepatan cahaya (c).

“.. Pada detik itu, bagi perwira tinggi Skotlandia itu, masa depan tiba-tiba tampak berubah…” . Ada tiga nenek sihir terlihat, ada takhta terlihat, ada puncak terlihat. Ada ‘cahaya silau’ yang membuat mata buta.

“.. di hutan berkabut itu, di bawah cuaca buruk itu, tertib, adat dan lambangnya guncang.” Tertib, adat, dan lambang terkungkung dalam ruang dan waktu.

31. Zul Azmi Sibuea - Mei 11, 2009

justru makro – mikro inilah yang ingin saya angkat kepermukaan, dimana mendudukkan etika dan moral, apakah dalam transaksi orang-perorang, atau punyakah ia tempat pada ekonomi masyarakat yang dianalisa sebagai aggregat ekonomi.

32. ibra - Mei 11, 2009

Justru kesenjangan antara yang mikro dan makro itu yang hendak saya angkat. Makanya saya mengajukan etika Levinas tentang Wajah Yang Maha Lain. Sebab fenomena, misalnya kehadiran anda, bagi saya adalah bagian dari wajah lain. Dan tiap saat wajah itu berubah. Wajah itu masuk dalam panel spasio-stempora. Yang tidak sama dengan kapanpun dan di manapun atau siapapun.

Di situlah segala ironi tentang kesatuan identitas dan kategori terkuak.

Dari awal saya sudah mengajukan tesis Foucauldian tentang terpisahnya manusia dengan pengetahuan tentang manusia itu sendiri ( yang oleh saudara algazel atau podol disebut lipatan platonik itu). Lebih jauh, Michel Foucault berani bertaruh bahwa pengetahuan tentang manusia akan mati, seperti terhapusnya wajah yang dilukis di atas pasir di tepi pantai.

Artinya, konsep apapun yang “mengaku” universal, maka ia akan dengan sendirinya runtuh menghadapi keaneka ragaman segala hal di dunia ini. Terutama manusia.

Belum lagi tesis Lacanian. Belum lagi transvaluation all the values nya Nietszche, belum lagi perjuangan kelasnya Marxian.

Illuminasi itu sudah tertinggal jauh !

Dan segala hal itu mempengaruhi tindak ekonomi manusia. Itulah kenapa saya bilang Smith ngga sanggup menangkap semua variable yang ada dalam kerumunan manusia.

Kalau saudara zul azmi mau sedikit mengikuti komentar2 saya di sini, mungkin saudara sedikit banyak akan melihat itu.

Dan karena GM datang dan selalu datang dengan suatu yang baru, saya pun berusaha datang dengan yang baru pula. Saya ngga mau ngulang2 apa yang saya katakan. Karena ia tertulis.
Bisa anda periksa dan anda gugat.

Silahkan.

33. Zul Azmi Sibuea - Mei 12, 2009

saya hanya melihat potensi reaktualisasi illuminasi pada kajian ekonominya Masudul Alam Chudhury, dalam meng “introduce “, epistemology tauhidi melalui “paradigma universal”, sehingga merupakan antithesis dari pernyataan anda diatas ” konsep apapun yang “mengaku” universal, maka ia akan dengan sendirinya runtuh menghadapi keaneka ragaman segala hal di dunia ini.” – vulgarnya ia ingin sebaliknya

ibra - Mei 12, 2009

Suara itu, meski keluar dari pemuda yang belum mampu mengendalikan ledakan2 dalam dirinya :p , tapi juga merupakan rasa syukur dan pengakuan akan karunia ilahi yang tak terpermanai, dan juga kerendahan hati akan keterbatasan manusia.
Sebuah suara dari kondisi, dengan meminjam istilah Nurcholis Madjid, “nol” dalam artinya yang sangat serius.

34. Algazel - Mei 12, 2009

Selalu bersenang-senang dengan cara anda sendiri ya ibra?
Dan selalu Impressive.

Anda berdua bertutur sangat matang dan Rich..
Entah Ikarus entah Janus..

Tambahan data dr buku Black Swan jelas makin mantab.
mo dong imelnya. fesbuk tea, add gitulah.hahaha

35. Algazel - Mei 13, 2009

Beyond Einstein..
Koreksi ya jika ada data yg ter-update…

Para penggagas teori telah mencermati kembali konstanta kosmologi Einstein untuk menjelaskan penemuan baru yang mencengangkan.
Dan kini “kekeliruan terbesar” Einstein mulai muncul sebagai salah satu keberhasilannya yang terhebat. Para astronom memperkirakan
gravitasi perlahan-lahan memperlambat pengembangan alam semesta.

Einstein sendiri pernah mencoba membuktikan bahwa benda ini-lubang hitam, sebagaimana kelak disebut orang-tak mungkin dapat terjadi. Ia membenci apa yang mungkin terdapat di tengah lubang hitam: Bintik hampa dan kepadatan tak berahir yang mematahkan berbagai hukum fisika.

Singkat kata teory of everything.
Para ahli fisika mash berusaha menemukan teori seperti ini–penjelasan tunggal yang berlaku untuk kekuatan gravitasi skala
besar, maupun kekuatan jarak dekat di dalam atom.

Boleh jadi Einstein sama terkejutnya memandang alam semesta yang kita pahami saat ini. Dan boleh jadi juga: dalam skala mikro
Semesta berfikir kita akan terus ber-Evolusi.

Beyond Life.

36. Zul Azmi Sibuea - Mei 13, 2009

Saya kutip dari ToE – wiki “A small number of scientists claim that Gödel’s incompleteness theorem proves that any attempt to construct a Theory of Everything is bound to fail.”, saya jadi ingin tahu apa kata Jhon D.Barrow dalam bukunya “Theory of Everything” dan
Stephen Hawking, pada “A Brief History of Time”

Mungkin menjelaskan lengkung ruang pada black hole,atau gravitasi, lalu …. dunia,.. bumi, bintang dan matahari terus saja berlari (expand) ke tak berhingga – pertanyaannya , sudah sampe mana kita,
kemana kita mau pigi.

37. podolisasi prima - Mei 13, 2009

Sitok Srengenge’s Notes:

Dari mana kita datang, ke sana kita pulang.

Thats my fav..

38. ibra - Mei 13, 2009

Ngga ada salahnya juga aku taruh fesbukku di sini,
Tau aja ada cewe cakep nge add : D
:
Ibrahim badjre

39. podolisasi prima - Mei 13, 2009

hatur tengkiu um ibra reply nya..

40. ibra - Mei 13, 2009

Sami sami, kang
🙂

41. Filomena - Mei 26, 2014

An interesting discussion is definitely worth comment.
I do think that you need to publish more on this subject matter,
it may not be a taboo matter but usually people do not talk about these subjects.
To the next! Kind regards!!

42. visite el sitio hasta que viene - Juli 31, 2014

First off I would like to say awesome blog! I had a quick question which I’d like to ask if you do not mind.
I was curious to find out how you center yourself and clear your
mind before writing. I’ve had a tough time clearing my thoughts in getting
my ideas out there. I do enjoy writing however it just seems like the first 10 to
15 minutes tend to be wasted just trying to figure out how
to begin. Any suggestions or hints? Cheers!


Tinggalkan komentar