Obama, 2008 November 10, 2008
Posted by anick in All Posts, Amerika, Politik, Tokoh.trackback
Weep no more, my lady,
Oh weep no more today
Kau kembali ke pojok yang agak diterangi matahari di kerimbunan hutan itu. Kau kembali dengan mesin waktu yang tak sempurna, tapi masih kau dengar kor itu, My Old Kentucky Home, lagu murung yang bertahun-tahun terdengar sampai jauh lepas dari Sungai Mississippi, sejak Stephen Foster menulisnya. Itu tahun 1853. Budak belian hitam yang mencoba jeda dari terik dan jerih ladang tembakau. Sebuah selingan sederhana dari rutin panjang yang tak pernah dinamai “Penghisapan”. Sebuah sudut hutan yang jadi majelis tersembunyi. Sebuah ruang buat orang-orang yang dirantai dan dinista untuk berkumpul dan bertanya: apa sebenarnya semua ini?
Kau tak tahu kapan kau datang. Tapi dengan mesin waktu yang tak sempurna kau lihat seorang perempuan tua berbicara di depan majelis itu, di depan jemaat yang takut menyebut nama Tuhan. Ia mengingatkan kamu kepada Baby Suggs dalam Beloved Toni Morrison. Kau dengar ia berbicara tentang sesuatu yang menakjubkan tapi diabaikan, sesuatu yang biasa tapi tak terduga-duga: daging, jangat, tulang, sendi yang sanggup menanggung pukulan dan dera perbudakan, kelenjar yang menitikkan air mata, jantung yang sesak sebelum tangis, tubuh yang menyembuhkan lukanya sendiri, badan yang dari kepedihan bisa menyanyi, menari, menyanyi.
Saudara-saudaraku, tubuh kita bisa mengejutkan kita. Kadang-kadang dengan kegagahan. Kadang-kadang dengan keindahan. Semuanya terbatas, tapi dengan itu kita menggapai yang tak terhingga. Semuanya fana, tapi tiap kali memberi arti yang kekal. Maka jangan menangis lagi.
Kau lihat orang-orang terpekur. Kau mungkin tak tahu kenapa: mereka ingin percaya. Tapi mereka juga mendengar, konon di atas tubuh bertahta Takdir. Yang tetap. Yang tegar. Yang lurus dan terang-benderang. Yang tangan-tangannya menebarkan daya tersendiri, merasuki ke otak, setitik demi setitik.
Otak itulah yang kemudian memproduksi alasan. Telah lahir penjelasan yang gamblang, bahwa ada nasib yang memasang pigmen dalam kulit. Pigmen kita membuat hakikat kita. Ada orang hitam, ada kulit “negro”, ada juga yang “putih”. Warna-warna itulah yang mengarahkan sejarah. Identitas adalah nujum. Ada esensi sebelum eksistensi.
Tapi benarkah Takdir merancang semuanya? Di majelis hutan Mississipi itu, suara perempuan tua itu merendah: “Saudara-saudaraku, kegelapan menyertai kita.”
“Kegelapan di balik pori-pori, di ceruk sel darah merah dan getah bening. Kegelapan dalam suara serak, dalam lagu Old Black Joe yang memberat menjelang ajal. Kegelapan Maut, kegelapan kata-kata Tuhan yang tak selamanya kita mengerti, kegelapan yang mengelak dari Takdir yang makin lama makin putih.
“Kegelapan yang membiarkan kita tak punya nama, yang menampik nama bila nama adalah daftar milik yang jelas dari tuan-tuan kita. Kegelapan hutan ini yang teduh. Kegelapan yang melindungi kita dari Kebengisan.”
Blood on the leaves
And blood at the root
Black bodies swinging
In the southern breeze
Strange fruits hanging
From the poplar trees
Kebengisan itu tak pernah kau lihat. Mesin-waktumu yang tak sempurna hanya menemukan potret tubuh George Hughes yang digantung di dahan pohon. Tak hanya digantung. Ia dibakar. Ini Sherman, Texas, 1930.
Kau bisa baca di perpustakaan kota itu: “negro” buruh tani ini ditangkap dengan tuduhan membunuh majikannya dan memperkosa istri si tuan. Di kampung kecil yang jarang dihuni itu, bisik-bisik beredar: Hughes adalah “hewan yang tahu betul apa yang dimauinya”.
Para petani kulit-putih yang tinggal di dusun itu telah lama bringas, dan kini punya alasan buat lebih bringas. Mereka yang selamanya takut, curiga, dan benci kepada makhluk dengan pigmen berbeda itu kini punya dalih. Mereka serbu gedung pengadilan tempat Hughes ditahan. Mereka bakar. Hughes mereka seret ke luar dan mereka lemparkan ke atas truk. Polisi tak berbuat apa-apa – malah membantu mengatur lalulintas. Di sebuah lapangan dekat tempat tinggal orang hitam, Hughes diikat dan dikerek ke atas sebuah pohon. Api besar dinyalakan.
Dalam sebuah potret kau lihat: Hughes yang tinggal arang, terpentang, bergayut, pada pokok yang rendah.
Orosco mengabadikan adegan itu dalam sebuah litograf dari tahun 1934, Negros Colgados. Lihat, tak cuma satu “negro”. Tubuh-tubuh yang dibunuh itu begelantungan seperti puluhan buah yang aneh. Billie Holiday mengungkapkannya dalam Strange Fruits: suaranya setengah serak, dengan pilu yang seakan-akan telah jadi napas: Darah pada daun/ darah pada akar/ Jasad hitam yang terayun-ayun/di angin selatan/ buah ganjil yang tergantung/ di pohon poplar.
Ada sesuatu yang lain pada lagu itu, yang mula-mula tampak pada litograf Orosco: pohon dan dahan itu – tak dihiasi daun-daun — seakan-akan menegaskan kekuatan yang lurus, lugas, tegak. Juga ia tempat pameran yang meyakinkan. Tak sengaja Orosco mengingatkan kita bahwa sebuah negeri, sebuah tata, adalah bangunan yang kuat karena ia memamerkan sesuatu yang lurus dan sekaligus mengancam. Dengan kata lain: kebengisan.
Kebengisan itu sering ditutupi dengan kata-kata: “utuh”, “harmonis”, “mufakat”, seakan-akan sesuatu yang mulia telah diraih. Seakan-akan tak ada pergulatan politik di baliknya. Seakan-akan yang ada hanya arsitektur Tuhan. Tapi nyanyian Billie Holiday mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi yang disembunyikan: ia berbisik tentang daerah pedalaman Selatan Amerika yang punya sejarah yang gagah, the gallant South, tapi ia segera menyebut wajah kesakitan orang-orang hitam yang tercekik. Ia menyebut “harum segar manis kembang magnolia”, tapi di baris berikutnya “bau jangat terbakar yang terhidu tiba-tiba”.
Tiap tata dibentuk dengan taksonomi: “putih”, “hitam”, “borjuis”, “proletar”, “asli”, “tak-asli”, “mayoritas”, “minoritas”. Tiap taksonomi dimulai dengan kepalsuan dan pemaksaan.
Tapi itu berarti ini tak ada tangan Takdir yang merancang. Tak ada hakikat sebelum apa yang diperbuat. Tak ada esensi sebelum eksistensi. Pembagian, apalagi pemisahan rasial, sepenuhnya hasil sebuah proses politik. Si “hitam” bukan jadi “hitam” karena ia diciptakan “hitam”, melainkan karena ia distempel dan disensus dan dikelompokkan ke dalam kategori “hitam”. Sejarah “hitam” dan “putih” adalah riwayat pergelutan, terkadang dengan pertempuran, terkadang dengan teriak mengajak maju, serempak, berbaris, 1000 pekik dari pita suara yang panas.
Yes, we can
Yes, we can
Kau dengar suara itu di kerumunan manusia di Grant Park, Chicago, 4 November 2008 malam. Ya, kita dapat. Ya, kita sanggup. Kita – kata orang-orang itu — sanggup membuat seorang Amerika dengan nama yang aneh dipilih jadi presiden dengan dukungan yang meyakinkan. Kita sanggup mengubah warisan sejarah yang telah memicu Perang Saudara di abad ke-19. Kita sanggup mengguncang pohon tempat kebengisan dipajang seakan-akan sebuah struktur yang cantik.
Tapi ini bukan hanya cerita kemenangan seorang yang bisa melintasi taksonomi “hitam-putih”. Ini terutama cerita kemenangan dari pengertian lain tentang “politik”. Sebab yang datang bersama Obama bukanlah politik sebagai kiat untuk mendapatkan yang-mungkin. Di tahun 2008 ini, di Amerika Serikat kita justru menyaksikan “politik” sebagai hasrat, setengah nekad, untuk menggayuh yang-tak-mungkin.
Yang-tak-mungkin memang akan selamanya tak-mungkin. Tapi yang-mustahil itu jadi berarti karena ia memanggil terus menerus, dan ia membuat kita merasakan sesuatu yang tak terhingga – yang agaknya menyebabkan jutaan orang bersedia antri berjam-jam untuk memilih dan mengubah sejarah: mereka menyebutnya Keadilan, atau Kemerdekaan, atau nama lain yang menggugah hati. Seperti cinta yang terbata-bata tapi tulus. Seperti sajak yang hanya satu bait tapi menggetarkan.
Seperti tubuh-tubuh yang kau lihat menyanyi di hutan itu.
Weep no more, my lady,
Oh, weep no more today.
~Majalah Tempo Edisi 10 Nopember 2008~
Ini caping bisa jadi sebuah ode dari GM untuk BO.
Tapi GM tetap kesulitan untuk mengungkapkan tentang Obama, diskriminasi, kulit hitam, penindasan, keadilan, kemerdekaan, dan Amerika secara gamblang.
Obama, 2008
Justru mengungkapkan sebuah pesimisme tersembunyi dari GM terhadap kiprah dan idealisme Obama setelah 2008. Obama 2008 adalah sebuah ode yang dibatasi oleh waktu: GM tetap khawatir bahwa tak selamanya Obama akan seperti sekarang. Setelah 2008, setelah duduk di gedung putih, setelah lebih intens dengan politik yang lebih nyata, siapa yang bisa menjamin Obama akan tetap konsisten terhadap orasi2nya selama ini? Gedung putih adalah puncak piramid dari Amerika yang mana warna dan bau yang akan ditebarkannya sangat dipengaruhi oleh oleh keseluruhan piramid, sehingga Obama bisa jadi akan termetamorfosis atau kesepian sendiri di sana, meski Demokrat agak dominan dalam parlemen.
Tapi,
Bagaimanapun juga, Selamat Datang Perubahan. Dan saya tetap memegang kata2 Obama bahwa ia akan tetap berbicara tentang apa yang ia pikirkan tentang keadaan dunia saat ia sedang berkuasa.
Mudah2an aja pemikiran Obama tetap konsisten setelah ini. Menanggalkan warisan buruk pemerintahan yang sebelumnya ada..
Hari ini saya 28. Dugaan saya salah. Saya ngga mati di 27, ternyata. Dan saya ingin menangis sekali lagi sebentar saja…
Obama masuk kategorinya pendatang. Tidak terlibat konflik sejarah secara langsung.
Nick kamu lebih menarik dari komentar kamu. Tapi memang benar bahwa sebagai sebuah puisi yang sangat bagus, tulisan ini membuat saya tak mampu menahan amuk imajinasi
Justru karena aku lebih mengerti puisi dibanding kamu makanya aku pakai nick ini, filsuf amatir
😀
gw bukan filsuf. Tapi gw pikir kulit hitam amerika merasa terwakili secara ras.
Maksud saya, bila kualitas Bush lebih baik atau minimal tidak merugikan banyak pihak, kemungkinan besar kulit putih lebih menyukai kulit putih. Artinya, dalam derajat tertentu, identitas tetap dijadikan bahan pertimbangan. Dan dalam derajat itu esensi mendahului eksistensi. Sartre bisa salah sebab sudut pandangnya sebagai proletar saja, yg ngukur orang dari kinerja. Tapi bukan berarti pandangan borjuis yg ngukur orang dari apa yg dia punya juga harus tetap diperhatikan.
apapun yang terjadi, perubahan terjadi dan memang akan selalu terjadi, walau entah kapan. amerika sedang mengalami perubahan sekarang, walaupun kita belum tahu “perubahan” seperti apa nantinya.
namun kita juga harus sadar, ada bangsa yang harus berubah. bangsa yang banyak membutuhkan perubahan-terutama etika-sehingga mampu bergerak bersama dengan bangsa lain, dan bukan hanya sebagai penonton ataupun malah hanya menjadi “boneka”.
terpukau pada suatu perubahan, adalah hal yang bagus, karena mampu membuat kita banyak belajar. namun terpukau dan terjebak dalam euforia yang tak semestinya kita berada, adalah suatu kepicikan yang membunuh.
selamat datang perubahan, selamat datang bangsa baru.
_walau mungkin masih belum waktunya_
Maksud kamu “warisan” itu bagian dari takdir?
Kalau mas masukin survival instinct dalam kategori warisan, saya konsisten dgn pernyataan saya di atas. Psikologi menyebutnya re-enforcment behavior. Tak ada yg istimewa di situ.
Iya, tapi jangan pake nick aku! Kepikiran terus ya?
Sudahlah 🙂 basi berantem mulu!
Sori mas, saya banyak ceroboh hari hari ini
Maksudnya mungkin jadi eksistensialis itu bisa “merugikan” bisa “menguntungkan”. Tergantung perhitungan masing masing. Pertimbangan identitas dan kemampuan survive juga ikut mempengaruhi keputusan
Eksistensialis itu identitas atau bukan?
Obama itu campuran. Klo murni apa bisa menang ya?kita coba liat 5 tahun kedepan apa ada yg murni bisa maju dan menang.
saudaraku, jangan hanya karena OBAMA pernah SEKOLAH SD di JAKARTA lantas membuat kita ter gila-gila (gila)…biasa aja tuh 😛
for me: obama 4 world peace? forget it.
obama-kata orang-akan mati terbunuh, tunggu saja. tentu ada yang sedih dan menangis. tapi diam-diam, juga ada yang siap untuk bertindak.
Bagi saya, Obama nggak sekadar pemimpin Amerika. Dia adalah salah satu harapan dunia.
Obama – Change We Believe In!!!
weeks after his victory; what things, in the world (or even in usa itself), have been changed? why is it so slow to change? in fact, it is so fast for usa to kill civilians in iraq, afghanistan.
sejarah berevolusi atau di ‘evolusi’ oleh harapan di kelindang kemustahilan.
obama tidak sendiri dari proses evolusi tsb. sejarah adalah sumbangsih semua ras (taksonomi), dan meyakini bahwa ‘hitam’ bukanlah pigmen turunan. tapi hitam adalah produk marginalisasi dan ‘budak-isme’ dari manusia yang merasa ‘putih’.
Bravo Obama,
dilaut ini,
dimana akhirmu..
dan dimana sauh akan kau tandas..
Menurut gue, Obama kurang tegas soal masalah Israel dan Palestina. Emang sih, Israel sangat menekan Amerika agar menutup mata soal Human-Rights Violations di sana, namun Obama kan berjanji akan membawa Change? Harusnya dia nggak takut mengenai konsekuensi mencoba mengubah dunia, dong!
Gue waktu itu sempet liat ada political fashion company, namanya shirTalks, yang dengan kerennya menyindir masalah ini. Ada desainnya, Obama tampangnya bego dan bingung banget. Konyol, tapi bermakna! Ada di blog gue: http://shirtalks.wordpress.com/2009/02/20/amerika-pilih-obama-tapi-siapa-yang-akan-obama-pilih/
terpilihnya obama sbg next president USA, langsung di uji mengenai sikap dan kebijakannya terhadap muslim socity,, dan keberpihakannya antara israel dan palestina.. itu akan menunjukkan siapa dia sebenarnya.. mari kita lihat siapa obama sbenarnya !!
Issue obama ini udah pernah dibahas di http://www.shirtalks.com . . . liat aja di website itu.